LITERASI YANG MENDEBARKAN HATI (Esai Lingkaran Kopdar #15)
Oleh: Mimi La Rose
ABSTRAK
Sebagai bangsa yang besar yang memiliki keanekaragaman budaya paling melimpah di banding negara lain, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup di abad ke -21 melalui pendidikan yang terintregasi mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Pengusaaan enam literasi dasar yang ditetapkan oleh World Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting.
Pintu masuk untuk mengembangkan literasi bangsa melalui penyedediaan bahan bacaan untuk meningkatkan minat baca anak. Karena sejarah peradaban manusia menunjukn bangsa yang maju tidak bisa dibangun hanya dengan mengandalkan kekayaan melimpah dan jumlah penduduk yang banyak, bangsa yang besar ditandai dengan masyarakat yang literat, memiliki peradaban yang tinggi. Literasi dalam konteks ini bukan hanya urusan suatu bangsa bebas dari buta aksara melainkan juga bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup agar mampu bersaing dan bersanding dengan negara lain untuk menciptakan kesejahteraaan dunia. Dengan kata lain bangsa dengan budaya literasi tinggi berbanding lurus dengan kemampuan bangsa tersebut berkolaborasi memenangi persaingan global.
Katakunci: literasi abad 21, literasi baca-tulis-literasi budaya dan kewargaan
A.Permasalahan
Literasi menurut undang– undang nomor 3 tahun 2017 tentang perbukuan menyatakan bahwa : “ Literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.”
Walaupun pengertian literasi sudah berkembang, aktivitas membaca dan menulis merupakan hal paling mendasar dalam literasi. Mengapa demikian? Karena memilih dan memilah informasi tentunya dilakukan dengan membaca, dan aktivitas membaca hanya dilakukan jika ada bacaan yang notabene karya penulis.
Ada 6 jenis literasi dasar, yaitu : 1. Literasi baca-tulis 2. Literasi numerasi 3. Literasi finansial 4. Literasi sains 5. Literasi budaya dan kewarganegaraan 6. Literasi informasi teknologi dan komunikasi atau digital.
Pada tema bahasan kali ini saya akan membahas tentang literasi baca tulis dan literasi budaya dan kewarganegaraan lebih dahulu.
Ada banyak faktor yang membuat rendahnya minat baca dan tingkat litersi di Indonesia baik di kalangan anak- anak maupun orang dewasa. Diantara sekian faktor itu misalnya Indonesia masih cenderung berbudaya dengar dan ngomong (lisan) itulah sebabnya kenapa masyarakat Indonesia suka sekali mendengarkan ceramah, pengajian, santapan rohani, orasi politik dan sebagainya. Selain itu masyarakat kita juga suka ngomong, ngomong apa saja , termasuk gosip merumpi hal- hal remeh temeh yang sangat tidak perlu.
Hal itu bisa dimaklumi karena tradisi membaca apalagi menulis dalam sejarah masyarakat Indonesia dan dimanapun pada umumnya adalah tergolong budaya elite yang sangat terbatas cakupanya.
Selain itu faktor berikutnya adalah orangtua tidak menjadi role model yang baik, tidak mengajari anak mereka tentang pentingnya membaca buku mencintai buku bagi masa depan peradaban manusia tapi malah memupuk mereka dengan aneka gajet teknologi dan berbagai acara tv.
Mereka juga bukan mengajak anak-anak pergi ketoko buku, perpustakaan, museum, atau festival buku tapi malah mengajak ke mall dan pusat perbelanjaan, anak diajari untuk konsumtif, mencintai harta benda bukan mencintai ilmu pengetahuan. Hal lain yang tak kalah penting adalah minimnya akses kefasilitas pendidikan yang belum merata yang bisa mendukung dan menunjang anak untuk membaca.
B . UPAYA MENINGKATKAN MASALAH LITERASI
Menyadari akan rendahnya minat baca dan tingkat literasi masyarakat, pemerintah Indonesia punsudah melakukan sejumlah terobosan mendasar baik alam bentuk program. Adanya gerakan literasi sekolah, kampung literasi, pemerintah juga mensponsori gerakan indonesia membaca serta pendirian taman baca masyarakat.
Peraturan Meneri pendidikan dan kebudayaan no 23/2015 antara lain memberikan klausul tentang kewajiban bagi siswa SD,SMP,SMU, untuk membaca sekitar 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Alwasilah (2012:177) mengemumukakan bahwa mengajar literasi pada intinya menjadi manusia yang secara fungsional mampu berbaca tulis , cerdas, terdidik, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra. Dikarenakan selama ini pendidikan di indonesia mampu mencetak lulusan yang terdidik namun kurang memiliki apresiasi terhadap sastra.
Menurut survei yang dilakuan situs CNN, mengambil sample acak 1000 orang dewasa, hanya ada sekitar 39% yang rutin membaca. Dari data yang dilansir UNESCO pernah melakukn penelitian pada tahun 2015 tingkat kemmpuan membaca, rata rata di Eropa dalam setahun anak- anaknya mampu membaca sekitar 25 buku, di Jepang- Singapura 17 -15, sementara anak-anak indonesia 0 buku. Dari 1000 orang Indonesia hanya 1 anak yang memiliki minat membaca. Satu orang saja!
Semua negara meajibkan siswa SMA mereka untuk membaca buku-buku sastra kecuali di Indonesia tidak ada kewajiban (ada pengecualian sedikit ada beberapa di sekolah swasta elit diwajibkan) Itu artinya diwajibkan tanpa membaca , kata Taufik Ismail ini tragedi, tagedi yang telah berlangsung lama, tragedi nol membaca. Sebuah bangsa besar tanpa tradisi literasi hanya akan menjadi bangsa kelas teri, perundung, pemaki , mudah di provokasi tanpa keluasan hati dan Imajinasi .
Saya beruntung karena sejak kecil sudah dikenalkan dengan budaya membaca buku, dimulai dari dibacakannya buku- buku oleh ibu saya saat saya belum bisa membaca dan saat sudah bisa membaca saya lebih senang membaca sendiri. Ada banyak buku- buku bagus yang saya baca, buku- buku terjemahan saya paling suka. Dulu ayah saya selalu membawakan ibu banyak sekali buku tiap kali beliau pulang bepergian dari pulau jawa . Ibu saya yang meminta dibawakan buku bukan barang- barang lain, dan karena di kapal harga buku murah ayah memborong sejumlah buku ynng telah dikarungi itu untuk dihadiahkan pada ibu saya.( dulu karena saya masih kecil saya belum tahu betapa romantisnya ayah saya ) Sampai detik ini saya belum menemukan pria yang memberikan saya sekarung buku, kalau cuma beberapa buah sih banyak ya haha.
Lalu ibu saya yang mengerti tentang peluang membuka jasa penyewaan buku- buku, dengan nama” Widuri” nama diambil dari judul lagu kesukaan ibu saya yang dinyanyikan oleh Broery Pesulima, (pernah mendengar lagu legendaris itu?) dan usaha penyewaaan itu berhasil banyak tetangga kami jauh maupun dekat ikut meminjam bahkan tak jarang saat kepasar ibu membawa be berapa buku dan menawarkan pedagang yng terkantuk-kantuk untuk menyewa buku yang dibawanya, ternyata taktik ibu berhasil banyak pedagang di pasar yang menyewa buku-buku ibu, ah kalau dulu sudah ada duta buku mungkin ibu saya bisa masuk menjadi salah satu kandidat duta baca ya walau kebanyakan buku yang di minati pedagang pasar sana bukan buku- buku sastra tapi ada juga yang tertarik membaca buku- buku terbitan balai pustaka, , dan dan hasil sebagian penyewaan itu bisa menambah uang ibu ibu untuk membeli piano idamanya. Pianonya masih ada iho.
Itu masa lalu yang indah sekali dan itulah mengapa saya selalu beharap menemukan pria seperti ayah yang memberi buku- buku terus kepada ibu, meskipun buku bukan barang mewah bagi yang tak menyukai buku tentunya.
Lubuklinggau, 25 april 2019
Mimi la rose
Esai ini bersambung,
DAFTAR PUSTAKA
Suwarno, H. 2017. Literasi Abad 21. http://guruinspiratif.com/literasi=abad-21/.
Parno. 2017. Mendorong gerakan literasi untuk masa depan pendidikan. https://seword.com./pendidikan/mendorong-gerakan-literasi-untuk-masa-depan-pendidikan/.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia . 2016. Gemar membaca wujud literasi kebudayaaan Indonesia. http://www.dpr.go.id/id/berita/detail/id/14956
Wicaksana, M. 2017. Simposium budaya kebansaan: strategi kebudayaan menuju indonesia hebat sebuah kisah baru strategi kebudayaaan. http://ivaa-online.org/2017/08/23//simposium-budaya-kebangsaan-strategi-kebudayaaan-menuju -indonesia-hebat-kisah-baru-stategi-kebudayaan/
*Esai pemantik diskusi di atas kemungkinan besar akan direvisi sesuai bentuk terbaiknya ketika akan dibukukan dalam Bunga Rampai Esai Lingkaran kelak.