education.art.culture.book&media

Menemukan Wajah dalam Puisi Benny Arnas

Oleh Ayu Harahap

 

Judul                     : Hujan Turun dari Bawah
Penulis                  : Benny Arnas
Tebal                      : 75
Penerbit                : Gramedia Widiasarana Indonesia
ISBN                      : 9786020502113
Cetakan Pertama : Juli, 2018
Kata Pengantar    : Hasan Aspahani

 

            Setiap orang memiliki tujuan masing-masing saat menghasilkan sebuah karya berupa tulisan. Entah itu sebagai bahan bacaan yang bersifat memberikan informasi, hiburan atau bacaan yang justru membingungkan. Pertama kali diminta untuk membicarakan buku Benny Arnas, saya langsung berpikir pastilah sebuah antologi cerpen. Akhirnya setelah menerima bukunya, oke, saya terkecoh dan saya tidak sendiri. Kedua teman saya yang diminta turut membicarakan buku ini, juga terkecoh. Membuka lembaran pertama bagian isi, dia berpikir bahwa buku terbaru Benny Arnas adalah sebuah novel. Lebih parah lagi, teman yang lain larut dari halaman awal sampai halaman lima yang justru dia pikir, itu adalah bagian dari kata pengantar.

            Cerpen dan novel memang sangat lekat dalam diri Benny Arnas, menurut saya. Jadi saya pikir, rasa cinta terhadap cerpen dan novel membuat Benny Arnas memilih menyajikan puisinya dalam bentuk puisi naratif. Setelah membaca buku setebal 70 halaman, saya tertarik untuk mencari wajah tokoh yang ada dalam puisi Benny Arnas. Alasan ini saya pilih karena setelah selesai membacanya, saya teringat oleh puisi Iyut Fitra “Lelaki dan Tangkai Sapu.” Buku puisi “Hujan Turun dari Bawah,” karya Benny Arnas memiliki penyajian yang sama dengan buku puisi Iyut Fitra. Membuka halaman pertama bagian isi, pembaca langsung disuguhkan puisi naratif dengan satu tema dari awal sampai akhir.

            Membaca buku puisi karya Iyut Fitra, saya bisa langsung berpendapat bahwa buku itu bercerita tentang perjalanan satu tokoh yang ditulis dengan menggunakan alur maju. Lain hal dengan puisi karya Benny Arnas. Selesai membacanya, saya berpikir bahwa buku puisi ini bercerita tentang dua wajah tokoh yang lahir dengan kondisi yang berbeda. Baik itu secara sosial maupun karakter pribadinya. Setiap lembar dalam puisi ini juga bercerita tentang setiap peristiwa yang dialami masing-masing tokoh, seperti penggalan puisi halaman 6:

Sejak itu, tangan dan selangkangan menjadi pasangan bermainyang kuasa mengantarkan pikiran ke seluk rahasia, bukit paling mewah, dan aroma rambut terlarang. Dinding beton, gemericik air, dan kecakapan membungkam desah, adalah benda-benda yang melunaskan keinginan anak muda yang menolak disebut purba.

            Saya berpikir, penggalan puisi di atas bercerita tentang kodisi salah satu tokoh yang ada di dalam cerita. Selanjutnya saya membaca penggalan puisi yang ada di halaman 8 dan sekali lagi saya berpikir, pada penggalan ini pembaca dibawa pada cerita berikutnya mengenai kondisi pada tokoh kedua.

Anak yang tumbuh adalah yang selalu menyirami hati ibunya kala kemarau panjang selalu gagal menanduskan kemurahan sebab dapur masih mengepul oleh bawang merah dan cabai merah yang ia masak oleh puisi-puisi kasih sayang yang ia lagukan dengan penuh pengertian. Usai menghidangkan hujan di atas piring dan anak melahapnya dengan cara makan dan mantera pembuka yang baru, cacing tanah dibaluri garam menjelma dirinya. Semua benda pun bagai menjauh dan ia menjadi asing. O, betapa.

            Peristiwa demi peristiwa yang Benny Arnas tulis dalam buku kumpulan puisi “ Hujan Turun dari Bawah,” terasa diceritakan melompat-lompat. Sesekali pembaca dipaksa mengernyitkan dahi agar benar-benar bisa masuk dan memahami setiap bait dalam puisi Benny Arnas. Untuk semua kebingungan yang saya rasakan sebagai pembaca, paling tidak saya tetap merasa ingin bertahan dan menyelesaikan membaca buku Benny Arnas. Hal ini tentu karena saya sebagai pembaca tetap dibuat larut oleh gaya penulisan dan pilihan diksi yang terlihat baru pun memukau. Keahlian Benny Arnas meracik cerita sehingga menyatu dan lebur, sudah  meninggalkan rasa yang lemak dalam pikiran saya sebagai pembaca.

 

Medan, 23-01-2019

 

Tentang penulis: 

Ayu Harahap. Lahir di Medan, 8 Oktober. Mulai menekuni dunia sastra sejak kuliah di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Tulisan-tulisannya seperti puisi, cerpen dan esai dimuat di berbagai media cetak lokal maupun nasional serta termaktub dalam antologi bersama. Pada tahun 2017 menerbitkan buku puisi tunggalnya berjudul Masa Silam Rahimmu . Saat ini Ayu aktif sebagai pendiri komunitas menulis “Fokus.”

Comments
Loading...