MENGUKUR SESEORANG DARI PERTANYAANNYA
Oleh BENNY ARNAS
Klab Buku petang kemarin (27-1-19), Yuhesti Mora, pendiri sekaligus pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Hesti Mora, diamanahi menjadi pemantik diskusi. Di salah satu bagian tanah berumput di Taman Olahraga Silampari itu, ia membawakan esai berjudul “Adik-adikku, Bertanyalah (Mengukur Seseorang dari Pertanyaan, bukan Jawabannya)”.
Judul besar esai Hesti sengaja menggunakan kata “Adik-adikku” sebab ia memang menuliskannya untuk memotivasi dan membuka pikiran anak-anak di TBM-nya agar tidak kehilangan keberanian untuk menunjukkan keingintahuan dan kepenasaran. Namun sejatinya, paparannya petang itu sungguh berfaedah bagi orang dewasa agar mereka dikuatkan untuk menjemput kembali “kekayaan yang hilang”, yang pernah dirayakan dengan kegembiraan yang menumbuhkan dan merimbunkan ilmu pengetahuan di dalam cakra dirinya yang baru saja membuka ladang kehidupan.
“Saya menerapkan ini, selain penasaran dengan anjuran pada ilmuwan dan tokoh besar dunia tentang pentingnya bertanya, disebabkan karena saya juga percaya bahwa aktivitas bertanya yang mendarah daging dalam diri tiap anak akan membuat mereka menemukan diri mereka sendiri, membuat mereka tahu ke depan mereka akan mengalami dan jadi apa, membuat mereka tahu kalau cita-cita bukan sebatas angan, melainkan bola terang yang sudah bisa diintip sinarnya sejak mereka belajar menggunakan pikiran,” ujar Hesti seraya mengutip pendapat Voltaire, Higgs Bosson, hingga Aan Mansyur.
Esai empat halaman itu mengetengahkan telaah tentang bagaimana “Bertanya” menjadi salah satu faktor penting untuk mengukur kualitas pembelajar(an). Bagi saya ini menarik, seperti membuka kran keingintahuan yang usang; mana lebih dulu: ayam atau telur?
Hesti mengajak kita mengenang masa kecil yang polos dan penuh kejutan. “Paling tidak, hal itu tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap kita lontarkan,” ujarnya bersemangat. Esainya lalu mengutip pendapat ilmuwan Carl Sagan yang mengatakan kalau pertanyaan-pertanyaan kanak-kanak kita seperti apakah mimpi itu, kapan Bumi berulang tahun, dan mengapa rumput berwarna hijau, adalah ledakan-ledakan yang hilang ketika kita tumbuh dewasa.
Lalu diskusi berkembang dengan menandai sejumlah persinggungan dengan isi esai. Bagaimana kedewasaan tidak membuat kita menjadi makin lepas dan bebas untuk mengutarakan sesuatu, melainkan makin sarat pertimbangan, sehingga yang lahir adalah pertanyaan yang penuh kosmetik atau bahkan memilih tidak bersuara sama sekali. Dalam urusan ini, ungkapan “Diam itu Emas” seakan menjadi versus dengan isi esai pemantik pertemuan kedua Klab Buku itu apabila kita tidak benar-bebar memahami posisi masing-masing sikap itu.
Meskipun begitu, kami semua menyepakati bahwa urusan Bertanya dan Menjawab terpisah dari perkara Mendengarkan atau Menganalisa atau bahkan Mengkritik, misalnya. Bertanya dan atau Menjawab adalah pilihan setelah melalui proses utama yaitu Mendengar atau Menyimak. Pendengar/penyimak yang baik akan memancing seseorang untuk memutuskan tindakan selanjutnya; “bertanya” untuk mencerahkan atau memilih “diam” untuk meredam kenyinyiran.
Dalam forum-forum—yang kebanyakan didesain sedemikian rupa, orang dewasa kerap berhati-hati dalam mengutarakan banyak hal. Ini tidak salah, tentu saja. Namun masalahnya adalah: kadang kala bukan karena memang ia “benar-benar berhati-hati”, melainkan karena ia memikirkan apakah “bertanya” akan membuatnya malah tampak bodoh, norak, atau cari perhatian semata. Orang dewasa terlalu ingin tampil tanpa cela sehingga sebagian memilih melihat keadaan untuk kemudian bermain seni peran sebagai penanya yang bermutu. Dalam kasus lain, sungguh menyebalkan ketika kita mendapati seorang penanya menjelma pembicara tambahan dengan pameran ilmu pengetahuan dan ulasan kritisnya atas sebuah topik. Model begini biasanya akan berbual dalam waktu yang cukup lama dan diakhiri dengan kesimpulan (atau jawaban) yang ia buat sendiri. Hasratnya hanya ingin “unjuk kekuatan”. Ujung-ujungnya, meski statusnya adalah penanya dalam sebuah forum, ia tidak akan mengajukan pertanyaan sebab ia memang tak ingin terlihat lebih rendah dari pembicara. Dalam kasus ini, kita bisa membayangkan: orang-orang dewasa sok pintar memilih “menjawab” tanpa didahului pertanyaan siapa pun, bahkan tidak oleh dirinya sendiri—oh alangkah mengenaskannya!
Dalam ranah kreatif, tak jarang, orang dewasa bertengkar dengan dirinya sendiri sebab ketakinginan (baca: ketakmampuan) mengutarakan pertanyaan di/ke hadapan banyak orang. Pekerja kreatif berdalih bahwa karya-karyanya adalah hasil pergumulannya dengan aktivitas menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dirinya sendiri. Ini sungguh potensial diperdebatkan. Meskipun, dalam esainya, Hesti menulis bahwa seorang novelis, Patrick Rothfuss, memberikan poin tegas tentang lebih pentingnya bertanya ketimbang menjawab pertanyaan—bahwa pertanyaan yang tidak bisa kita jawab itu paling membuat kita belajar banyak, tetap saja ini harus diawali oleh sikap dan pikiran terbuka untuk berbagi dan menyerap pertanyaan dari mana pun, bukan diawali oleh kengototan untuk “membereskan dan menyelesaikan” banyak urusan sendiri saja. Kenyataan bahwa ia tak mampu merampungkan pertanyaan-pertanyaannya sendiri pada akhirnya potensial menimbulkan stress, depresi, dan idapan kerapuhan psikologis lainnya, kecuali ia adalah pribadi yang sudi berlelah-lelah mencari jawabannya dengan basis keilmuan yang kuat. Ketekunan seperti ini menyilakan “pertanyaan-pertanyaan tersebut di—carikan—jawab(an)-nya sendiri”, meskipun dalam risetnya ia akan menghimpun-timbang pendapat-pendapat orang lain atau menelaah penelitian-penelitian sebelumnya.
Di sinilah, “Bertanya” yang jadi “ukuran” sebaiknya tidak dimaknai sebagai “bertanya secara lisan”, tapi juga “bertanya secara lisan”. Dalam urusan tulisan, orang-orang dewasa relatif bisa lebih terbuka. Selain karena ia bisa leluasa mengungkapkan apa pun tanpa dibaca terlebih dahulu oleh orang lain, ia juga bisa mengemas-sunting pertanyaan-pertanyaannya sedemikian rupa dalam bentuk yang secara eksplisit tak orang lihat sebagai pertanyaan, bisa saja ia adalah sebuah narasi atau dialog antartokoh yang berhasil menyinggung isu-isu krusial, deskripsi keadaan yang dicemaskan, atau mengulas permasalahan global yang jadi sorotan.
Lisan atau pun tertulis, pertanyaan-pertanyaan menjelma parameter mutu pembelajar(an) sesuai dengan lingkungan tempat pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan berkembang. Misal di lingkungan anak-anak, seorang fasilitator disarankan mengukur kualitas pembelajar(an) bukan semata dari apa dan bagaimana sebuah isu disuarakan, tapi juga intensitas mereka dalam mengutarakannya. Biasanya, kegirangan mereka dalam bertanya akan melahirkan banyak sekali kejutan yang mungkin bagi mereka biasa saja, tapi bagi orang dewasa yang mau berpikir (kritis), pertanyaan-pertanyaan mereka adalah harta karun yang bikin iri! Jadi, tentulah relevan menghadiahi bintang kepada anak yang gemar bertanya. Namun, materi tentang “Bertanya” ini seharusnya tidak berhenti sampai di situ. “Bertanya” yang bernilai lebih dari “Menjawab” seyogyanya diterapkan, misalnya anak yang mengajukan pertanyaan akan mendapatkan bintang lebih banyak (atau bintang yang warnanya menunjukkan nilai “lebih besar”) daripada anak yang menjawab. Di sini, alam bawah sadar anak juga diajak memikirkan “apa”, bukan sekadar banyak bersuara.
Lain anak, lain pula orang dewasa. Sayang sekali, kita kerap memukul rata dalam menerapkan konsep “Bertanya” lebih baik ini (ke)pada pembelajar(an) orang dewasa. Kita masih kerap mengukurnya dengan jumlah pertanyaan sebagaimana dalam lingkungan anak-anak, padahal ia sudah harus naik tingkat. Lalu, bagaimana?
Lebih jauh, Hesti juga menuliskan pengalaman empiriknya mengikuti kuliah Filsafat yang diampu oleh dosen yang mampu mengukur jawaban mahasiswanya dengan kata-kata kunci yang disesuaikan dengan pertanyaan yang diajukan. Konsep demikian, tak ada salahnya untuk dicoba-terapkan dalam mengukur pertanyaan—untuk kemudian mengukur seseorang lewat pertanyaannya. Menarik dan baru, paling tidak bagi saya. Meskipun ada catatan yang harus menyertainya, bahwa apabila metode yang dipakai adalah “relasi kata kunci dengan isu”, seorang penanya “diharamkan” menggunakan kata-kata tanpa kekuatan, tanpa motif, apalagi tanpa “kebaruan”. Penanya yang baik, pada akhirnya, bukan saja siapa yang bisa mengutarakan persoalan dengan baik, tapi juga yang bisa menemukan (dan menggunakan) kata kunci dengan khas dan langsung menohok jantung permasalahan. Artinya pula, ukuran ini sejatinya sangat bersahabat dengan mereka yang terus membaca dan menganalisa, yang terus meneliti dan merumuskan, yang terus berbuat untuk kemudian meneruskan yang baik dan berfaedah semata. Namun, apakah metode ini relevan dan disukai pasar (baca: masyarakat awam yang lebih besar populasinya), tentu prosesnya masih panjang dan mungkin saja jawabannya “tidak (disukai)” apabila dibenturkan dengan kultur zaman yang makin ke sini, makin menuhankan kepraktisan.
Untuk menutup ulasan ini, saya menjadikan dua kutipan dalam esai pemantik hari itu—“Judge a man by his questions rather than his answers” (Voltaire, filsuf) dan “It is easier to judge the mind of a man by his question rather than his answer” (Pierre Marc Gaston, politikus)—untuk membuat kita, paling tidak bagi saya sebagai orang dewasa, mulai sekarang tidak lagi menganggap “bertanya” sebagai bagian dari budaya ketololan, apalagi memamerkannya dengan “menjawab” pertanyaan-pertanyaan yang tidak datang dari mana pun dan (si)apa pun, sebab, seperti gelas, kepala harus senantiasa dalam keadaan setengah isi-setengah kosong agar naluri berbagi diimbangi dengan kegembiraan menerima.(*)
Lubuklinggau, 28-1-2019
Catatan:
– Esai pemantik diskusi di atas sedang dalam perbaikan oleh penulisnya Hesti Mora dan akan ditampilkan di www.bennyinstitute.com begitu selesai.
– Telaah atas pertemuan pertama “Sastra dan Revolusi 4.0” bisa dilihat di www.bennyinstitute.com
– Klab Buku adalah majelis luring berbasis esai pemantik yang diinisiasi oleh bennyinstitute dan terbuka bagi siapa pun yang ingin mengasah nalar dan berpikir bernas. Mulai pertemuan ketiga (3-2-19), Klab Buku ini resmi berganti nama menjadi Klab Buku Lingkaran.