education.art.culture.book&media

Mengupas Pisang Batu dan Pisang Ayam Saat Hujan Turun Dari Bawah

Oleh Dimar

 

Judul                     : Hujan Turun dari Bawah
Penulis                  : Benny Arnas
Tebal                      : 75
Penerbit                : Gramedia Widiasarana Indonesia
ISBN                      : 9786020502113
Cetakan Pertama : Juli, 2018
Kata Pengantar    : Hasan Aspahani

 

Di tiga lembar pertama saat membaca “Hujan Turun Dari Bawah” karya Benny Arnas, saya berpikir bahwa buku ini adalah sebuah novel (karena langsung membaca isi) dengan gaya penceritaan yang hampir sama dengan novel Zhaenal Fanani dengan judul Sepenggal Bulan Untukmu yang pernah saya analisis. Namun ketika saya membaca halaman selanjutnya, baru saya tersadar bahwa ini adalah buku puisi dengan tebal 75 halaman (70 halaman untuk isi dan 5 halaman lagi untuk pengantar dan biografi). Saya curiga, Benny Arnas memang sengaja memberhentikan penanya di lembar ke-70. Apalagi buku puisi ini ia selesaikan dalam jangka waktu 7 tahun (2008-2015). Lalu ada apa dengan angka 7?

Angka ganjil merupakan angka yang baik dalam agama Islam. Rasulullah Saw juga pernah mengatakan kepada para sahabatnya bahwa Allah Swt. menyukai angka-angka ganjil. Angka 7 tampaknya punya daya pikat tersendiri bagi Benny Arnas. Dalam satu pekan kita melewati 7 hari, untuk tawaf mengelilingi ka’bah dilakukan sebanyak 7 kali, berulang disebutkan dalam Al-quran bahwa langit terdiri dari 7 tingkatan, Al-Fatihah yang dilantunkan setiap melaksanakan shalat juga terdiri dari 7 ayat, Ka’bah termasuk salah satu dari 7 keajaiban dunia, dan masih banyak keunikan lainnya tentang angka 7 ini.

Keluar dari angka 7, kini kita cermati judul buku puisi ini –Hujan Turun Dari Bawah–. Hujan itu keberkahan. Bahkan kita dilarang keras untuk mencela hujan. Kini hujan pun menjadi filosofi masing-masing dilingkar kepala para penulis. Saya berkeyakinan maksud “Hujan Turun dari Bawah” ini adalah tentang kelahiran seorang anak manusia yang akhirnya sangat berpengaruh bagi umat manusia. Tentang kelahiran itu disebutkan pengarang pada halaman 18, seperti ini bunyinya:

“Bagaimana kupu-kupu merobek kepompong yang selalu menghangatkan dalam kemuraman dan hujan yang turun dari bawah tidak dipandang sebagai tanda. Juga keperihan yang mengantarkan kesedihan untuk kemudian dengan telat memaklumatkan kabar gembira: sepuluh tahun lalu, telah turun seberkah keajaiban bernama jabang bayi.”

Keyakinan saya belum kuat tentang siapa sebenarnya jabang bayi yang dilahirkan itu, apakah “Ahmad” yang disebutkan pada halaman 69 adalah Nabi Muhammad Saw seperti yang dikatakan Hasan Aspahani dan didukung dengan pengantar dalam buku ini (Bersama salawat, untuk-Akhirul Anbiya) atau justru Ahmad ‘yang lain’? Mengapa saya katakan Ahmad ‘yang lain’? karena ada beberapa diksi yang saya ragukan jika dipautkan bahwa tulisan dalam buku ini sepenuhnya bercerita tentang nabi terakhir kita.

Saya teringat perkataan Damiri Mahmud, bahwa sebuah puisi selalu memiliki makna polyinterpretable, maksudnya bermakna ganda. Puisi yang terbungkus oleh bentuk dan gaya bahasa, selalu mempunyai jarak pemahaman antara pembaca dengan sebuah puisi begitu jauh sehingga memerlukan seorang perantara. Perantara itulah yang kita sebut-sebut kritikus. Akan tetapi, jumlah kritikus kita tak bisa menyaingi jumlah karya-karya sastra yang tersebar di seluruh pelosok negeri.

Kembali pada naskah. Saya beranggapan bahwa puisi-puisi yang ditulis oleh Benny Arnas mempunyai kekayaan diksi dan imaji yang luar biasa tapi tidak konsisten. Ketidak-konsistenan itulah yang membuat saya ragu menyimpulkan bahwa tulisan ini bercerita tentang Rasulullah Saw. Sebentar berbicara tentang kurma, selanjutnya berbicara tentang pisang. Apalagi pisang itu diklasifikasikan lagi menjadi pisang batu dan pisang ayam yang sangat terkenal di Indonesia. Bunyi puisinya seperti ini:

“Kadang kala, usia tak rela mematangkan kepala. Ia jua kerap membuat muka dan belakang daun memiiki hijau yang sama atau menuduh daun pisang batu dan pisang ayam telah bersekongkol membagi hijau daun nangka belanda untuk mereka berdua: separuh untuk ibu yang cinta, separuh lagi untuk anak yang kerap menusuk matanya.” (Halaman 2-3).

Seperti yang kita ketahui, tumbuhan pisang tumbuh subur pada iklim Indonesia. Kalaupun  tumbuh di negeri gurun, mungkin hanya beberapa batang, itupun biasanya karena bibit unggul yang didatangkan dari Indonesia atau Thailand. Mari kita lihat bunyi puisi yang lainnya:

“Tumbuhlah anak di kebun pisang, bersama rumpun tunas yang belum matang tapi merah bata berbatang-batang. Orang-orang pun alpa pada bentuk dan aroma tubuh namun kerap didera rasa was-was tanpa nama ketika melintas dalam rencana. Dan… ditebaslah mandau ke pinggang batang. Setandan pisang raja dibawa pulang. Tubuh pisang dibiarkan terluka, bergetah-getah!” (Halaman: 43).

Untuk ukuran puisi setebal 70 halaman ini, saya pikir Benny Arnas telah berhasil menyuguhkan bacaan yang ruwet tapi sangat dibutuhkan oleh pembaca. Sehingga pembaca tertarik untuk mencari makna per kata, lalu menyusunnya menjadi makna kata yang padu. Penyuguhan diksinya pun menggunakan kata-kata yang berkelas. Seperti: “Warnanya bukan lagi merah, tapi magenta yang taksa.” (Halaman: 54). Saya menemukan banyak kosa kata baru dalam puisi ini untuk menambah pembendaharaan kata. Banyak juga kata perbandingan dalam puisi ini, seperti: “orang tua dan orangtua”, “tanda koma atau titik tiga”, “ketakziman dan kelaziman” yang memang membantu menghidupkan kata. Tapi harus saya akui masih banyak repetisi (kata ulang) bahkan hampir seluruh lembar isi dalam buku ini, yang jika kita salah menempatkannya maka akan terjadi pemubaziran kata-kata. Akan tetapi, saya rasa penulis “Hujan Turun Dari Bawah” ini telah berhasil mengeksekusinya. Pengayaan kosa kata ini sangat diperlukan bagi pembaca, apalagi dalam karya sastra. Seperti kata Remy Sylado, “Sebab di antara semua karya tulis yang paling punya napas panjang, yang artinya dapat dibaca khalayak dalam semua waktu, adalah karya sastra.”

 

Medan, 23-01-2019

 

Tentang penulis:

Dimar. Lahir di Medan, 11 Januari 1996. Mendalami sastra sejak bergabung dalam komunitas menulis Fokus UMSU pada 2015. Pernah menulis naskah “Kombur” (2016) yang dipentaskan di Taman Budaya Sumatera Utara. Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga pengajar, ia pernah terlibat dalam garapan “Repro-diksi Tanda” pada Pekan Teater Nasional 2018 di Taman Ismail Marzuki. Menampilkan monolog “Nyonya Kasih” di TBSU (2019). Beberapa tulisannya telah dimuat di media serta puisinya termaktub dalam Antologi Puisi Penyair ASEAN “Kunanti di Kampar Kiri” pada HPI Riau 2018.

Comments
Loading...