education.art.culture.book&media

ORANG-ORANG BARU DARI REALITAS

Realita memang tak seperti fiksi yang mengharuskan logika bekerja dengan sangat teknis. Realita mengepung kita dengan sifat yang kerap tak kita sadari keberadaannya: tak terduga. Salah satu ketakterdugaan yang saya temui baru-baru ini adalah pertemuan saya dengan dua orang di Yogyakarta; seorang penulis yang selama ini hanya saya dengar namanya dari teman saya atawa teman kami yang juga penulis, dan seorang pemuda Aceh yang memiliki banyak kesibukan, tapi lebih suka menyebut dirinya pedagang kopi (ketika saya menawarkan istilah “pengusaha” atau “saudagar” untuk mengganti kata “pedagang (kopi)” dia menggeleng seraya tertawa kecil.

Yang pertama bernama Fanny Chotimah. Perkenalan kami dibuka dengan percakapan tentang “jembatan ‘pertemuan’” kami selama ini. “Aku sering mendengar namamu dari Yudhi (Herwibowo), Benn,” ujarnya antuasias. “Kebetulan kami sama-sama di Pawon,” lanjutnya dengan penuh kehangatan. Saya pun menyampaikan hal yang kurang lebih sama, perihal Yudhi yang jadi “jembatan” kami. Bahwa saya juga mendengar namanya dari Yudhi atau dari kegiatan-kegiatan Pawon yang secara sengaja atau tidak Yudhi ceritakan atau informasi perihal Pawon yang berlintasan di beranda media sosial saya. “Bennyinstitute kerap mencetak buku di tempatnya Yudhi,” ujar saya untuk memberikan informasi kedekatan yang sepadan dengan “jembatan” kami itu.

*

Dari Fanny, saya tahu kalau akhir-akhir ini perempuan yang selintas lalu mirip aktris Cut Mini itu lebih banyak beraktivitas di Jakarta. “Suamiku seorang filmmaker,” katanya seraya menyebut nama suaminya—dan gagal saya ingat—ketika menjelaskan kesibukannya di ranah kreatif yang baru itu, ranah kreatif nonsastra. Pembawaannya yang percaya diri, antusias, friendly, dan berpenampilan menarik (ehm) membuat saya sangat gembira. Pertama, saya membayangkan orang lain yang bertemu dengannya juga akan merasakan kegembiraan sebagaimana yang saya rasakan. Kedua, saya pikir, pembawaannya seperti yang saya ungkapkan di atas sejatinya tidak jauh berbeda dengan pembawaan saya (apakah “berpenampilan menarik” juga masih berlaku bagi laki-laki beranak tiga seperti saya, ehmm, saya tiba-tiba ingin menertawakan diri sendiri). Artinya, asumsi narsis saya adalah, orang-orang yang berbicara dengan saya tentu akan merasakan kegembiraan sebagaimana mereka berbicara dengan Fanny. Lagi, tiba-tiba saya ingin menutup muka sendiri ketika menulis ini.

Agung—ah saya lupa nama lengkapnya—adalah pemuda kelahiran dan tinggal di Banda Aceh. Dalam percakapan kami yang serta-merta, ia begitu semangat menceritakan Aceh dalam sudut pandangnya, dalam sudut pandang yang ia anggap sebagai realitas. Saya sempat bertanya pada pemuda yang saya taksir belum berusia 30 tahun itu, mengapa ia begitu bersemangat menjelaskan Aceh, seakan-akan saya memiliki persepsi yang “salah atau keliru” tentang tanah kelahirannya itu, dan seperti tersadar dari keberapi-apiannya, ia berdalih kalau ia tak bermaksud begitu. “Tapi sebagian besar memiliki anggapan sayang keliru tentang Aceh,” ujarnya. Ah, pemuda ini gemar sekali mengulur tali kelambu. Tapi … ah, sudahlah, saya tak ingin ikut arus percakapannya yang acak itu. Di sebuah acara yang sebagian besarnya diikuti oleh orang-orang yang tak saya kenal, menemukan “ketidaksingkronan muatan percakapan” tentu sangat sulit dihindari, dan … bagi penulis seperti saya, hal itu sangat potensial menjadi pemantik kedekatan.

“Mi aceh di Aceh sangat berbeda dengan yang ada di tempat lain,” responsnya ketika saya mengungkapkan kalau makanan pertama yang saya cari ketika saya sedang bepergian ke Bengkulu, Medan, Pekanbaru, dan Bandung, adalah makanan yang berasal dari daerahnya itu. Ya, sangat sangat menyukai mi aceh basah, apalagi dicampur udang atau kepiting. Sayang sekali, saya tak bisa menemukannya di Lubuklinggau. Atau … kalaupun ada (dulu setahuku pernah ada), rasanya tidak seenak di kedai atau restoran tempat saya biasa makan mi aceh di kota-kota di atas. “Tentu saja berbeda, Gung!” Meskipun selintas llau terdengar protes, sebenarnya saya hanya ingin mengoreksi konteks kalimatnya. “Lain tangan, lain racikan, tentu saja lain rasa!” Lalu saya nyengir kuda. “Antarkedai di Aceh pun, mi aceh tidak akan (benar-benar) sama rasanya, ‘kan?”

“Sebentar,” ujarnya seperti hendak menyanggah. “Pernah makan mi aceh bumbu ganja?” Belum sempat saya menggeleng, ia melanjutkan, “Mi-nya lain. Mi-nya berwarna kuning matahari.”

Jleb! Saya terdiam. Terenyak-gembira. Bukan, bukan karena materi percakapan Agung yang melompat ke sana-kemari. Ya, apakah ia hendak mengatakan kalau mi aceh yang dicampur ganja itu akan menghasilkan mi yang berwarna warna kuning matahari, atau semua mi aceh di daerah asalnya berwarna kuning matahari, ini yang tidak jelas. Ah, apa pun itu! “Kuning matahari”, ya “Kuning matahari”, alangkah puitiknya perumpamaan itu, Gung!

*

Ketika makan malam, saya dan Fanny sempat berpapasan dan ia nyeletuk perihal kekesalannya pada panitia acara kepada saya—meskipun ia menggerutu (ya, celetukanya berisi gerutuan!) sambil menuangkan kolak ke dalam mangkuk. Pagi ini, ketika saya sudah di Bandara Adisucipto, Agung mengirimkan pesan WhatsApp perihal jadwal penerbangan saya yang terlalu pagi. Celetukan Fanny adalah sebagaimana pesan WhatsApp Agung; intim tapi refleks. Sebenarnya, saya bisa saja tidak menggunakan kata “tapi” di antara “intim dan “refleks”. Saya bisa saja menggunakan kata “dan” untuk membuat “intim” dan “refleks” saling melengkapi, menghasilkan makna ketakterdugaan yang positif: bertambahnya saudara baru, bukan (sebatas) kenalan baru … tapi, ya tapi … saya tak ingin membuat simpulan terlalu dini. Saya tak ingin berharap terlalu jauh. Lagipula, saya sedang tidak bermaksud menulis hal yang melakolik pagi ini. Saya tak ingin melipir ke sana.

Ketakterdugaan, sebagaimana dua kata dasar yang membentuknya, bisa saja menguar makna yang tak bergerak jauh dari artinya secara harfiah: tak terduga! Kami bisa saja akan terus saling berkabar, atau sebuah keadaan tanpa aba-aba akan kembali mempertemukan kami, atau … setelah kembali ke daerah masing-masing dan rutinitas yang tak kuasa dihindari akan membuat segalanya menguap—termasuk interaksi tak terduga yang baru saja kami alami.

Pada titik ini, saya tak bisa mengaminkan petikan puisi Sapardi Djoko Damono yang sangat popular itu—Waktu itu fana, kita abadi. Saya tak ingin membuat versusnya dengan mengimani “Waktu itu abadi, kita fana”, tidak. Saya lebih tertarik memiuhkannya: Waktu itu abadi, dan kita selalu berusaha menyamainya.” *

Langit Selat Sunda, 15-8-2019

BENNY ARNAS mengarang 22 buku lintas genre. Procoffeenated, penyuka warna sekunder, dan menulis di tengah kehirukpikukan. Saat ini tengah mempersiapkan kelahiran “Hayya”, versi novel atas film berjudul sama yang akan tayang September 2019. Instagram @bennyarnas.

Comments
Loading...