education.art.culture.book&media

TRAUMA YANG MENDALAM

Karya: Feni Yunita

Mobil truk merah itu tiba-tiba saja datang dari arah berlawanan, seketika motor hitam yang sedang ayah kendarai ditabrak dengan sangat keras. Suara benturan dua kendaraan itu terdengar jelas di telingaku, bahkan mataku yang menyaksikan langsung berlinangan tanpa kusadari. Ayahku terpental dari motornya. Aku berlari sekencang mungkin ke arahnya. Teriakan dan isak tangis tak henti keluar dari mulutku. Seragam putih yang kukenakan nyaris merah semuanya, berlumuran darah. Hujan dan badai seakan datang tiba-tiba menghantuiku seketika itu.

Namaku Gea, saat ini aku berusia 20 tahun dan sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di Kota Lubuklinggau. Aku seorang gadis yatim sejak masih kecil. Ayahku meninggal pada tahun 2009 karena kecelakaan setelah mengantarku ke sekolah TK. Aku merupakan anak tunggal dari pernikahan ayah dan ibuku namun aku memiliki tiga saudara tiri dari pernikahan kedua ibuku.

Sedari kecil, aku selalu dihina, diolok-olok serta dilecehkan oleh orang-orang di sekitarku, mungkin karena aku tidak memiliki ayah, atau mungkin karena aku tak layak di lingkungan mereka. Aku bingung! Mengapa mereka melakukan itu semua? Bahkan, kadang, aku berpikir apa salah dan dosa yang telah aku lakukan sebagai anak kecil yang tidak memiliki ayah. 

Dulu … saat aku masih memiliki keluarga yang utuh di mana ibu dan ayahku masih lengkap, keberadaanku masih dianggap ada dan masih bisa berteman dengan semua orang. Tapi, kenapa ketika ayahku meninggal, aku tidak boleh berteman dengan orang-orang? Apakah tanpa ayah, aku dianggap hina seolah-olah melakukan dosa yang amat sangat besar? Hingga aku sepertinya layak dikucilkan di lingkunganku.

Aku selalu diolok-olok dan dituduh seorang pembunuh dari ayahku sendiri, bahkan sebenarnya aku sendiri merasa tidak pantas hidup karena rasa bersalah yang sangat dalam. Aku selalu berpikir, andai saja dulu ayahku tidak mengantarku ke sekolah pasti ayah masih ada hingga saat ini.

Aku pun ingin menemukan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupku, hingga seiring waktu berjalan pada akhirnya ibuku memberikan sosok ayah baru saat aku masih kelas 3 Sekolah Dasar (SD) dan aku menerima keberadaan ayah baruku dengan tiga anaknya karena aku berpikir mungkin jika aku memiliki ayah baru maka aku dapat menebus rasa bersalah kepada ibu.

Seiring waktu berjalan, tiba masanya aku sudah beranjak menjadi gadis remaja SMA. Aku melakukan semua aktivitas yang berhubungan dengan kesibukan di sekolah, aku mengikuti kelas menari, mengikuti organisasi, dan aku sering mengikuti lomba yang diadakan di sekolah. Semua itu kulakukan untuk menebus rasa baktiku kepada almarhum ayahku, karena pada saat aku masih kecil ayah selalu bilang bahwa putrinya hebat dan berbakat. Walaupun aku sudah bersusah payah untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, mulai belajar mengendalikan emosi, bahkan belajar mengikhlaskan semua kejadian dan keadaan yang aku lalui namun masih saja aku selalu dianggap sosok pembunuh dari ayahku sendiri.

Aku mulai memaklumi semua keadaan yang telah terjadi dan aku mulai mengoreksi diri apa yang salah dalam diriku hingga aku diperlakukan seperti ini. Apakah karena sikapku yang terlalu ingin tahu tentang semua hal? Apakah penampilanku yang tidak secantik dan selembut saudara tiriku? Apakah di masa lalu aku jadi penyebab atas kepergian ayahku? Aku tidak tahu semua tuduhanku benar atau tidak, namun aku belajar untuk menjadi lebih baik lagi dan belajar untuk lebih mendekatkan diri dengan Allah, serta menjalankan semua perintah dan tanggung jawabku sebagai seorang muslim.

Aku pun mulai mengikuti organisasi keagamaan di SMA dan mulai belajar mengikuti kajian-kajian yang dihadirkan oleh ustadz dan ustadzah untuk belajar dan memperbaiki diri. Jujur, sejauh ini aku masih memiliki trauma yang mendalam dalam diriku karena tindakan dan sikap serta perbuatan orang-orang di sekitarku, entah itu dari lingkunganku, saudara tiriku, bahkan ayah tiriku, dan ibuku. Mungkin aku yang kurang bersyukur walaupun mereka bersikap tidak selayaknya namun mereka masih mengizinkan aku untuk menempuh pendidikan dengan baik.

Hingga tiba pada masanya aku lulus SMA dan mulai beranjak dewasa. Banyak hal yang telah aku lalui hingga saat ini, banyak juga cara yang kulakukan untuk mendapatkan kebahagiaan. Aku mengikhlaskan kepergian ayahku, aku belajar memahami ibuku, dan aku belajar untuk mengendalikan diriku agar tidak terpuruk begitu jauh. Sudah cukup bagiku selama lima belas tahun ini aku merasa sedih, putus asa, dan aku kehilangan arah. Tiba masanya aku menjalankan amanah ayahku untuk menjadi sarjana agar nantinya ayahku dapat bangga memiliki anak sepertiku dan kepergian ayahku setelah mengantarkan aku ke sekolah dulu tidak sia-sia.

===

Feni Yunita, lahir di Kota Lubuklinggau pada 29 Juni 1997. Ia merupakan alumni Universitas Bina Insan Lubuklinggau. Hobi rebahan. Menulis merupakan alternatif untuk menjadi lebih giat lagi dalam proses kehidupan dan belajar untuk mengetahui ilmu dan wawasan baru.

Comments
Loading...