education.art.culture.book&media

Apabila Mitos Ditarikan

Menyimak karya-karya koreografer muda Lubuklinggau di SAF 2018

Oleh M. Yazir, M. A.

 

Menikmati seni dari suatu kebudayaan tertentu, tentu saja membuat rasa memiliki akan suatu budaya semakin tinggi. Keadaan semacam ini dikarenakan budaya dapat direpresentasikan melalui perhelatan-perhelatan seni. Seni dan budaya merupakan suatu kesatuan yang tak bisa dipisahkan layaknya seperti koin dengan dua sisi yang terhubung dan saling mendukung. Keadaan ini ternyata juga berlaku bagi masyarakat yang ada di Lubuklinggau. Mereka tidak dapat dipisahkan dari aktivitas-aktivitas seni yang memuat kearifan budaya lokal. Hal ini bisa dilihat dari peristiwa beberapa hari yang lalu: masyarakat Lubuklinggau menyelenggarakan, menikmati, dan mendukung suatu perhelatan seni budaya: Silampari Arts Fair (SAF) 2018.

SAF 2018 ialah suatu perhelatan seni akbar yang diadakan oleh bennyinstitute dan Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau (DKLG) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai sponsor utamanya, di Gedung Teater Kecil Lubuklinggau di akhir pekan, 9-11 November 2018.

Parade karya seni dalam SAF 2018 diperuntukkan bagi semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang tua. Kegiatan ini juga menarik perhatian beberapa kalangan seperti pelaku seni sendiri, penikmat seni, akademisi, pelajar dan sebagainya. SAF 2018 mengambil tema Alihrupa: Kata ke Visual. Rangkaian kegiatan ini dibuka dengan pementasan teater Bila Mencintai Dayang Tari (9 November), dilanjutkan dengan para pertunjukan tari Dari Mitologi ke Liukan Tubuh (10 November), dan diakhiri dengan pemutaran film-film pendek terpilih 11 November). Karena hanya kebagian tiket dua hari terakhir, saya tidak akan mengulas pementasan teater. Tulisan kali ini hanya akan membahas mengenai perhelatan pada malam kedua, yakni  pertunjukan tari (Tulisan tentang hari ke-3 saya buat terpisah).

Tari-tari yang ditampilkan pada SAF 2018 kali ini merupakan karya-karya dari koreografer lokal asli Lubuklinggau. Di samping melalui tahapan kurasi, tarian-tarian tersebut juga pernah meraih beberapa penghargaan di beberapa kontes. Ada tiga tarian yang ditampilkan pada malam tersebut yakni tarian Kere nan Ditue, Tulah, dan Lelayang. Masing-masing tarian menceritakan mitos yang berkembang dalam kebudayaan mayarakat Lubuklinggau.

Mari kita lihat tarian pertama yang dipentaskan: Kere nan Ditue karya penata muda Sapda Priajaya. Dalam balutan kostum kere (monyet), penonton disuguhkan pemandangan dan liukan tari yang tidak biasa; seperti sekumpulan kera biru yang menari di atas panggung. Jay Lingga, begitu nama populer koreografer ini, memilih warna biru sebagai warna (kostum) kera-kera ini. Dalam sesi diskusi, koreografer Sanggar Seni Studio Lingga ini, mengungkapkan bahwa karyanya kali menggambarkan tentang aktivitas salah satu hewan yang di ada di Bukit Sulap: Kere (monyet). Dengan bersandar pada kepercayaan masyarakat yang dikaitkan dengan aktivitas kere-kere di bukit tersebut, membuatnya tergelitik untuk melahirkan karya tari yang bercerita tentang mitologi fauna. Sebuah eksplorasi yang menarik. Sayangnya tak ada yang bertanya mengapa ‘monyet-monyet’ itu berwarna biru.

Karya selanjutnya adalah tarian yang digarap oleh penata cantik yang juga berasal dari Lubuklinggau, yakni Chintia Gustiani Putri. Penata muda ini menampilkan karya berjudul Tulah. Chintia menuturkan bahwa Tulah adalah keadaan buruk yang diakibatkan semacam kutukan. Tarian ini bercerita tentang seorang Ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya yang masing-masing mempunyai karakter berbeda. Karakter anak-anak yang berbeda ini ditunjukkan oleh perbedaan motif pada kain panjang yang dikenakan oleh para penari. Kasih sayang seorang ibu yang tulus mendidik dan mengajarkan anaknya ternyata dibalas keburukan oleh anaknya.  Akhirnya, tulah-lah yang didapat oleh anak-anaknya. Hanya sesal dan ampunan yang diharapkan anak-anak tersebut pada akhirnya. Penyampaian pesan melalui tarian penari-penarinya yang memukau membuat ruangan sesak dengan apresiasi untuk penata ini.

Karya terakhir yang pentas malam itu adalah lelayang karya penata tari muda yang lahir di Lubuklinggau pada 24 tahun silam yakni R.W Sartika. Melalui karya yang dibawakan Sanggar Seni Tepak Cindo ini, Ayu—demikian koreografer ini biasa disapa, ingin menceritakan bahwa Wang Coel atau Suku Lebak pada zaman dahulu kala percaya bahwa penampakan burung layang-layang yang hendak turun mandi adalah pertanda baik, bahwa  (musim) hujan akan segera turun. Penanda tersebut membuat masyarakat mengetukkan cincinnya ke bagian bawah piring. Ini adalah panggilan bagi anak-anak agar segera pulang, meskipyun dalam sesi diskusi, Ayu menerangkan bahwa ia menggunakannya sebagai simbol lain; bunyi kepakan sayap burung layang-layang. Kepercayaan dan aktivitas inilah yang menjadi dasar pemikiran Ayu untuk menghasilkan gerakan-gerakan indah yang mampu memukau banyak penonton.

Selain apresiasi melalui dukungan penuh yakni dari para penonton, ada juga bentuk dukungan yang diberikan melalui kritikan dan saran yang dilayangkan kepada para penata tari. Kritikan dan saran tersebut datang dari beberapa kalangan baik dari pelaku seni maupun penikmat seni yang hadir pada malam tersebut. Beberapa kritikan yang dilontarkan malam itu, di antaranya adalah, bahwa tarian-tarian tersebut hendaklah lebih banyak lagi memuat unsur-unsur budaya yang ada di Lubuklinggau. Hal ini bukan berarti bahwa karya tersebut tidak menampilkan unsur budaya masyarakat lokal Lubuklinggau. Namun, pengkritik tersebut melontarkan bahwa judul tarian lebih epiknya lagi jika menggunakan judul dengan bahasa asli Lubuklinggau, ini terkhusus pada tarian yang berjudul Tulah. Pengkritik ini percaya judul tarian yang menggunakan bahasa lokal akan lebih menarik perhatian penikmat tari, keadaan ini disebabkan para penikmat seni tersebut bisa mengetahui dan mendapati hal yang baru dan khas dari tarian tersebut. Selain itu, penari hendaknya menggunakan kostum yang juga merepresentsikan budaya masyarakat lokal yang dipadukan dengan konten atau pesan yang akan disampaikan melalui karya-karya tersebut. Pandangan-pandangang positif tersebut yang disampaikan penonton juga dapat menjadi sesuatu pembelajaran penting bagi para penata, yang harapannya kedepan nanti karya-karyanya akan menjadi lebih baik lagi.(*)

 

  1. Yasir, M. A. meraih gelar Master of Arts di bidang linguistik di Universitas Gadjah Mada. Ia adalah peserta Kelas Aksara Ulu Bennyinstitute (2018).
Comments
Loading...