education.art.culture.book&media

Belajar Psikologi Bisa Membaca Pikiran? (Tugas BWC #3)

“Keep talking, I’m diagnosing you.”

Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia psikologi, tentunya saya sangat akrab dengan kalimat di atas. Sejak jaman saya masih menjadi mahasiswa Psikologi di Universitas Andalas, tidak jarang saya juga suka menggunakan atribut seperti pin yang bertuliskan kalimat di atas. Bukannya apa-apa, karena atribut yang bertuliskan kalimat seperti itu banyak sekali bertebaran di kampus. Maka jangan heran, ketika masuk ke jurusan psikologi akan banyak sekali kita temukan mahasiswa psikologi yang menggunakan atribut yang mungkin jika masyarakat awam atau mahasiswa lain baca akan berpikir seribu kali untuk mengajaknya berbicara. Dan entah kenapa, banyak yang menjadi percaya kalau mahasiswa psikologi itu benar-benar punya kemampuan membaca pikiran. Ada juga yang meyakini bahwa mahasiswa psikologi itu mampu menebak kepribadian seseorang dengan tepat. Jadi, berhati-hatilah jika sedang berinteraksi bersama mereka. Kalau sedang berbohong, bisa ketahuan loh, katanya..

Saya, yang notabene pernah menjadi mahasiswa psikologi tentu sangat sering menerima pernyataan seperti diatas. Tidak jarang, justru mendapat todongan pertanyaan seperti; “Mita anak psikologi, kan? Bisa baca pikiran dong! Bacain kepribadian saya ya..” Wah, bingung juga ya kalau tiba-tiba ditanya sama orang yang baru dikenal, dijawab ataupun tidak sama-sama beresiko memberikan pemahaman yang salah. Apalagi, saat itu ketika masih menjadi mahasiswa psikologi tentu keilmuan yang didapat masih sangat sedikit. Tidak jarang justru yang dilakukan mahasiswa psikologi adalah early judgment; yaitu penilaian terhadap seseorang yang dilakukan secara instan dan hanya berdasarkan informasi yang sangat sedikit. Dalam hal ini tentu sangat tidak dibenarkan, karena akan beresiko tinggi melakukan kesalahan dalam memberikan interpretasi (penilaian). Seperti yang banyak kita sepakati, bahwa manusia adalah produk yang kompleks. Tidak bisa benar-benar kita ketahui sebelum mengetahuinya secara holistik atau keseluruhan. Yup, don’t judge a book by its cover, rite?

Artinya, untuk mengetahui kepribadian seseorang itu tidak bisa dilakukan secara instan atau dalam waktu yang singkat. Tentu banyak prosedur yang harus dilewati dalam proses memberikan interpretasi. Dan tidak semua tenaga ahli psikologi mempunyai kompetensi untuk melakukannya. Hanya tenaga ahli psikologi yang mengambil konsentrasi psikologi klinis yang boleh melakukannya. Adapun dalam proses memberikan interpretasi tenaga ahli psikologi juga tidak lantas mampu memberikan interpretasi dalam sekali pertemuan. Ada anamnesa yang harus dilakukan dalam beberapa pertemuan, seperti pemberian alat tes kepribadian dan kecerdasan, bahkan sesi observasi dan wawancara mengenai peristiwa-peristiwa penting sepanjang rentang kehidupannya, baik dengan individunya langsung maupun dengan orang-orang terdekatnya (significant others). Sehingga, informasi yang diterima benar-benar mencukupi untuk dilakukan interpretasi.

Saat ini, setelah mengamati pemahaman masyarakat terhadap mahasiswa psikologi. Saya pikir, wajar saja jika banyak mahasiswa psikologi yang menjadi keliru dalam menanggapi pemahaman yang mungkin juga keliru. Seperti pernyataan-pernyataan di awal tulisan, misalnya. Tingginya ekspektasi masyarakat terhadap mahasiswa psikologi. Dipadukan dengan sedikitnya keilmuan dan pengalaman yang didapat selama proses perkuliahan. Membuat mahasiswa psikologi merasa sudah mengetahui semua hal terkait kondisi psikologis seseorang, sehingga memunculkan perasaan “sok tahu” bahkan sengaja menunjukkan sikap “sok-sok tahu” dengan cara memproduksi atribut yang mencantumkan kalimat kebanggaan seperti di awal tulisan. Biasanya hal-hal seperti ini disebabkan karena mahasiswa psikologi terlalu antusias dengan keilmuan yang sedang dipelajarinya. Sederhananya, dengan setengah pengetahuannya tentang keilmuan psikologi, membuat mahasiswa psikologi merasa sudah bisa melakukan interpretasi berdasarkan teori-teori dan praktik-praktik yang didapat dalam proses perkuliahan. Padahal, sudah sangat jelas dijelaskan selama proses perkuliahan bahwa yang berhak memberikan interpretasi adalah psikolog yang sudah menyelesaikan program magister profesi psikologi klinis. Tentu, juga harus dibuktikan dengan puluhan kasus serta jam kerja yang sudah mumpuni sehingga memiliki kompetensi untuk melakukan interpretasi.

Meskipun mengetahui hal tersebut, ketika saya masih menjadi mahasiswa psikologi. Entah karena dipaksa dan terpaksa harus menjelaskan, atau karena perasaan “sok tahu” yang cukup tinggi waktu itu, untuk permintaan kasus-kasus sederhana seringkali saya akhirnya terlibat dalam perbincangan “baca-membaca” ini. Hal yang awalnya hanya ingin dijadikan bahan candaan dan seru-seruan, karena bagaimanapun saya sendiri seringkali terkejut ketika asumsi yang saya gunakan dalam perbincangan “baca-membaca” ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini pula yang pada akhirnya adalah hal paling saya sesali hingga saat ini. Kenapa? Karena, ketika saya benar-benar memasuki dunia kerja khususnya Psikologi Klinis, sebagai sarjana psikologi yang mengambil profesi menjadi Asisten Psikolog di Klinik Psikologi Terpadu Inspirasi Consulting, dalam melakukan intervensi kasus klinis saya justru tidak pernah melakukan interpretasi, memberikan asumsi, bahkan melakukan early judgment pun sama sekali tidak pernah. Karena kembali lagi saya ingatkan, bahwa yang berhak memberikan interpretasi adalah psikolog yang sudah menyelesaikan program magister profesi psikologi klinis. Bukan sarjana psikologi apalagi mahasiswa psikologi, baik mahasiswa strata 1, mahasiswa magister, maupun mahasiswa magister profesi sekalipun.

Nah dalam hal ini, ketika menjalani profesi sebagai tenaga ahli psikologi tentu jauh berbeda ketika masih menjadi mahasiswa psikologi. Ketika masih menjadi mahasiswa psikologi, kasus yang diterima dan dimintai untuk “dibaca” adalah curhatan permasalahan yang bersifat non-klinis. Sekalipun tidak berdampak serius, seharusnya tindakan memberikan early judgment tetap tidak boleh dilakukan karena termasuk tindakan yang kurang tepat. Berbeda ketika menjadi tenaga ahli psikologi, saat benar-benar menangani kasus psikologi yang bersifat klinis, bertemu dan berinteraksi langsung dengan orang-orang yang mengalami permasalahan psikologis membuat saya menyadari satu hal, bahwa berhati-hati dalam berkata-kata adalah hal utama yang harus dipegang oleh tenaga ahli psikologi. Oleh sebab itu, sangat dianjurkan untuk tidak memberikan asumsi apapun terkait permasalahan psikologis yang sedang dihadapi. Tingginya ekspektasi masyarakat tentang keberadaan tenaga ahli psikologi tidak jarang membuat masyarakat menggadang-gadangkan profesi tersebut. Seperti terlalu berharap akan segera dimengerti hanya karena sekali bertatap muka di pertemuan pertama, misalnya. Padahal, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, prosesnya tidak sesederhana itu loh.

Psikologi bukanlah ilmu yang dipelajari untuk menjadi pembaca pikiran. Bukan pula ilmu untuk menjadi seorang peramal yang bisa mengetahui permasalahan dan kebohongan seseorang, sehingga bisa kalian mintai untuk dibaca isi pikirannya atau sebagainya. Terkadang, prediksi-prediksi perilaku yang kebetulan tepat─yang dilakukan oleh mahasiswa psikologi─adalah gambaran dari pengalaman-pengalaman yang pernah ada dalam teori yang dipelajari sebelumnya. Atau bisa juga dari pengalaman selama menangani beberapa kasus psikologis dalam praktik perkuliahan. Jadi, disini saya akan meluruskan bahwa mahasiswa psikologi sama sekali tidak dibekali ilmu untuk membaca pikiran, baik membaca kepribadian atau apapun itu. Yes, I am studying psychology. But, doesn’t mean I can read your mind.

Memang, menjadi orang yang mendalami ilmu psikologi artinya harus siap menerima ekspektasi masyarakat dengan keilmuan yang sedang dipelajari. Dalam hal ini, tentu dituntut sikap yang bijak dalam menanggapi pemahaman-pemahaman keliru dari masyarakat yang sudah terlanjur berkembang. Kalau dulu waktu masih menjadi mahasiswa saya suka terpancing dan menggunakannya sebagai bahan candaan hingga kebanggaan, saat ini saya sadar bahwa memberikan interpretasi (penilaian) terhadap seseorang itu bukanlah hak saya sebagai tenaga ahli psikologi. Karena mau bagaimanapun, menanggapi ekspektasi masyarakat dengan sok-sok memberikan asumsi adalah tindakan yang kurang bijak. Dan yang perlu diingat lagi, bahwa tidak ada yang lebih kenal dengan dirinya selain dirinya sendiri. Oleh sebab itu, mulailah untuk mengenal dan memahami diri sendiri. Jadi, mulai sekarang berhentilah berkata; “bacain diri aku dong, Ta!”

 

Lubuklinggau, 27 November 2018

Yulia Armita

Comments
Loading...