education.art.culture.book&media

Bukan Pribumi (Tugas kelas menulis dari Flp Jambi)

Pribumi. Itu namaku. Dan entah apa maksudnya-orangtuaku menamaiku itu. Aku sungguh tidak tahu. Aku tak bisa menerka, pun bertanya sebab mereka yang harusnya menjawab tanyaku sudah tiada lagi menginjak bumi. Ya, mereka sudah mati.

Kutelusuri di kamus-kamus, di mesin pencarian-apa  artinya namaku, namun tak juga kutemukan titik terang mengapa mereka menamaiku, begitu. Haruskah aku menyisirnya ke masa lalu ? Hatiku bimbang. Lama tinggal di panti asuhan, terkadang membuatku lupa tempat asalku. Tempat dimana kedua orang tuaku dulu tinggal. Tepatnya di daratan seberang dari tempatku kini berdiri.

“Kau tidak akan menemukan apa-apa disana.” Pak Chan mengingatkan. Saat kupinta ia untuk ikut berlayar lusa, ke tanah seberang.

“Apa yang kau cari? Aku tak yakin orang tuamu mewariskan sesuatu. Tak ada yang bisa diharapkan. Semua orang disana miskin!” Jelas Wak Edo, pengasuhku dulu di panti asuhan.

Namun tanggapan Mbak Juriah membuat tekatku bulat.

“Pergilah boi, tuntaskan semua tanyamu disana. Lalu kembalilah pulang!”

Dan disinilah aku sekarang, di ombang ambing angin, diterjang ombak di tengah laut.

***

Berbekal foto hitam putih kusam aku memulai pencarian, mencari jejak-jejak tersisa dari orangtuaku dulu. Foto itu diberikan Wak edo, meski ia tak betul-betul merestui kepergianku.

Sayangnya tak ada satupun yang mengenali ibuku. Namun seseorang memastikan dari latar pantai foto itu, ini adalah negeri Berantah, kembarannya negeri Antah.

Merupakan dua negeri kecil yang tidak ketahuan dalam sejarah. Negeri yang bak kembar dibelah dua, karena memang lokasinya berdampingan. Konon, negeri itu dulu terpisahkan oleh konflik selama hampir lima puluh tahun, hingga akhirnya mampu dipersatukan lagi seperti sekarang. Mendengarnya, keingintahuanku menjadi.

Atas rekomendasi dari seorang nelayan, aku diantarkan kesini. Kepada Wak Abbas, orangtua yang umurnya nyaris menyentuh angka seratus, yang kemungkinan mampu menjawab rasa ingin tahuku.

Wak Abbas mencoba meluruskan tubuhnya yang memang sudah bungkuk. Mengangsur tubuhnya agar duduk lebih nyaman yang bersandarkan bantal. la meyesap kopi hitamnya dengan  tangan bergetar. Setelah beberapa teguk barulah ia mulai bercerita.

Sebelum teknologi menyentuh sudut negeri ini. Negeri ini adalah negeri yang kukuh adat istiadatnya. Salah satu adat kami itu adalah tidak dibenarkan untuk bersinggungan dengan sesuatu yang berbau asing. Itu hukum-mutlak adanya, kami harus menikah dengan sesama kami, harus sepenuh hati mencintai dan menjaga negeri ini, dan apapun yang kami peroleh adalah untuk kemaslahatan negeri ini. Kami makan dari negeri ini,  memberdayagunakan, melestarikan potensi yang ada. Begitulah Negeri Antah.

Berbeda halnya dengan Negeri Berantah, negeri kembaran kami. Mereka lebih toleran dan welcome terhadap perubahan yang ada. Mereka juga punya nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Nilai-nilai religius yang membuat masyarakatnya hidup tentram damai.

Suatu waktu seorang putri negeri ini tak sengaja masuk ke area teritorial Negeri berantah. Ia tersesat di hutan dalam kondisi terluka di lengannya-akibat tergores  lesatan anak panah pemburu yang mengejar rusa.

Seorang pemuda menemukan gadis yang tengah pingsan itu, membawa gadis itu berkuda bersamanya ke tempat tabib terdekat agar segera ditolong.

Pemuda itu siap mempertaruhkan masa depannya, demi gadis itu. Karena konsekuensi dari berduaan dan menyentuh wanita di Negeri itu adalah mesti menikahinya.

Singkat cerita, sang pemuda menikahi sang gadis. Identitas si gadis sebagai penduduk negeri Antah dirahasiakan, demi kemaslahatan. Si gadis tak punya pilihan lain selain harus tinggal di Negeri Berantah dan melupakan kampung halamannya.

Beberapa tahun berselang hingga gadis itu mengandung. Ia memohon kepada suaminya untuk pulang ke Negeri Antah dengan menghiba-hiba. Ia merindui Ayahnya. Seolah punya firasat bahwa umur ayahnya itu tidak akan lama.

Namun semuanya tak sesederhana itu. Negeri Antah tidak mentolerir adanya orang asing, sang pemuda bisa saja mengantar si gadis tapi tak ada garansi baginya untuk bisa kembali pulàng.

Tak sanggup melihat istrinya selalu menangis sesegukan tiap malam,  sang pemuda luluh, lalu mengantarkan sang gadis ke Negeri Antah.

Dan benar adanya, bahwa mertuanya itu sedang sakit. Negeri Antah sangat riuh, mendapati putri orang bijak negerinya sudah berbadan dua dengan orang asing. Tak ada yang setuju dan simpatik. Namun demi menghormati ayah sang putri yang cukup berjasa di negeri Antah, dan demi mempertimbangkan kondisi Ayah sang gadis yang sedang sakit, penduduk menahan amarahnya. Dan membiarkan laki-laki asing itu tinggal bersama mereka.

Meski ia diterima di negeri itu. Sang pemuda sejatinya tak pernah diterima. Ia seolah tak dianggap disana. Orang-orang tak mau mendengar, menggubris atau bahkan sekedar bertransaksi dengannya.

Bahkan, ketika pemuda itu memberikan banyak bantuan untuk negeri itu, seperti membuat bendungan, membangun jembatan, tapi orang-orang tak pernah sekalipun berterimakasih padanya. Hal yang membuat pemuda itu selalu berpikir. Kenapa? Apa karena ia bukan pribumi?

Tak lama berselang, Ayah sang gadis pun berpulang menghadap Tuhan. Orang-orang sudah tak mampu lagi membendung amarah di dada mereka. Paceklik melanda negeri. Pangan mulai sulit. Semua mempersalahkan sang gadis dan suaminya. Alam telah murka! Begitulah yang orang-orang pikir.

Mereka memisahkan sang suami dengan istri yang tengah hamil besar itu. Semua harus dikembalikan seperti sediakala. Sang suami diasingkan sedangkan sang istri dikurung menunggu hari kelahiran.

Hingga bayi itu lahir, sang ibu hanya diberi waktu untuk menyusuinya dua bulan lalu dititipkan lah bayi itu ke negeri seberang. Setahun berselang, sang gadis jatuh sakit dan meninggal karena tak tahan menanggung rindu dengan suami dan anaknya.

Bulan berganti, tahun-tahun berputar. Tak ada yang menduga, sebuah longsor dahsyat meluluh lantakkan hampir separuh Negeri Antah. Ideologi mereka yang kental, membuat mereka tak bergeming. Membuat keadaan semakin memprihatinkan. Tak ada satupun dari mereka yang mengungsi, mereka tak berniat meminta bantuan. Mereka bertahan hidup semampunya, sebisanya, dengan apa yang tersisa.

Hingga berita-berita burung itu sampai jua ke negeri kembaran- Negeri Berantah.

Ayah sang pemuda yang kian risau memikirkan nasip putra dan menantunya yang tak ada kabar, tak mau tinggal diam. Negeri Berantah, untuk kali pertama membuang ego, menepis angkuh, menyambangi Negeri Antah untuk pertama kalinya, demi memberi pertolongan. Camp-camp pengungsian dibangun, tabib-tabib terbaik dihantar, logistik didatangkan.

Semua penduduk Negeri Antah tergugu sekaligus haru hingga ketika disampaikan  kekhawatiran sang kepala negeri Berantah akan keberadaan putranya, ungkapan terimakasih itu berubah menjadi tangis.

Penduduk Negeri Antah memohon pengampunan Kepala Negeri. Mereka mengakui kesalahan mereka, meminta maaf atas perlakuan tak baik mereka pada pemuda malang itu dan berjanji  akan segera membebaskan sang pemuda. Tapi semua  terlambat. Pemuda yang diasingkan itu baru saja menghembuskan napas terakhir, akibat terluka kena reruntuhan dinding kurungannya yang tak terelakkan  longsor. Tapi goresan-goresan darahnya yang tertinggal, menunjukkan. Bahwa ternyata, sang pemuda lah yang telah mengirimkan sinyal, agar mengirimkan bala bantuan ke negeri Antah. Sejak paceklik melanda.

Nasi telah menjadi bubur. Semua telah terjadi. Meski pedih mendapati putranya yang sudah tiada. Sang kepala negeri tetap berjiwa besar, mengakuisisi negeri Antah menjadi satu negeri yang ada sekarang,  Negeri Menanti.

Sekejap aku takjub mendengar cerita dari Wak Abbas. Betapa Ironi dan menyedihkan kisah tersebut. Akupun tak sabar ingin menanyakan

“Apakah negeri Menanti sekarang menjadi lebih baik dibandingkan sebelum kedua negeri itu disatukan?”

Wak abbas menghela napas. “Sayangnya tidak, negeri ini tidak lagi memiliki ideologinya sendiri” ucapnya agakterengah.

“Jika dahulu, negeri Antah benar sangat menjaga kecintaannya terhadap negeri ini,  hingga menolak keras orang asing. Negeri ini tidak..”

Wak Abbas menghela napasnya sekali lagi.

“Semua orang kini bebas keluar masuk, bertransaksi, dapat memiliki setiap jengkal tanah negeri ini tanpa pengecualian. Hutan-hutan sengaja dibakar, Sebagian aset negeri ini pun sudah dijual, dikelola oleh asing..”

“..orang-orang pribumi sini juga banyak berpindah ke negeri seberang, karena di seberang mereka bisa lebih kaya dan mendapat uang lebih banyak. Mereka bahkan berbangga memakai barang produksi negeri seberang daripada produksi Negeri Menanti sendiri.”

“Lalu bagaimana dengan ideologi dasar yang dimiliki Negeri Berantah? Apakah juga hilang?”

Wak Abbas membenarkan. “Begitulah. Orang-orang menjadi lebih sering membaca opini daripada kitab suci. Ideologi itu berakhir, bersama dengan berakhirnya hidup sang kepala negeri.

Aku semakin penasaran. Kutanyakan saja, pertanyaan yang menggangguku sedari dulu itu.

“Menurut Wak Abbas apa itu pribumi?”

Wak Abbas memperbaiki lagi posisi bantal di punggungnya. “Mungkin di buku-buku ada dijelaskan. Tapi bagiku, pribumi bukan masalah kita besar dimana, orangtua kita lahir dimana.

Lebih dari itu, pribumi adalah seorang yang dimanapun ia berpijak maka ia akan memperlakukan negeri pijakannya itu sebagaimana rumahnya sendiri. Selalu ia bersihkan, ia rawat, ia minyaki biar tidak berkarat. Meskipun negeri lain lebih menawan, lebih indah. Namun rumah sendiri tetaplah rumah ternyaman, tempat ia tinggal hingga berpulang. Dan tentu ia takkan pernah mau menjualnya.”

Kulirik jam di pergelangan tanganku sekilas. Azan Maghrib sepertinya kan menjelang.

“Terimakasih Wak Abbas atas penjelasannya, kalo begitu saya minta diri.”

“Baik. Saya senang bertemu dengan anak muda sepertimu”

“Saya pun lebih dari itu wak. Sungguh banyak hikmah yang bisa saya ambil dari sejarah negeri ini…”

“Saya ada satu pertanyaan lagi, menurut Wak Abbas, mengapa negeri ini dinamakan Negeri Menanti?”

“Kupikir karena kepala negeri terdahulu, merindukan cucunya kembali..”

“..tapi terus terang itu sulit. Semua sia-sia walau sudah susah payah mereka mencari anak itu.”

” Di zaman sekarang tak ada yang tak mungkin wak,” timpalku.

Wak Abbas menggeleng. “Aku menyangsikan, Karena informasi yang mereka punya hanya sebuah nama yang diberikan ayahanda anak itu. Kau bisa bayangkan. Hanya sebuah nama, Padahal nama orang bisa saja berganti”

“Siapa gerangan nama anak itu, wak?”

“Namanya Pribumi. Negeri ini, menanti sang pribumi”

 

 

 

 

 

Comments
Loading...