education.art.culture.book&media

Bunga

Bunga

(Tugas Kelas Menulis Daring FLP Jambi)

Merah. Harum. Merekah. Bunga. Ya, itu namaku. Bunga. Hanya itu saja.

Bulan kelam sekali malam ini. Tertutup oleh awan yang sesak di atas sana yang seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Aku di sini sibuk menjelaskan tugas kepada Rina yang sedari tadi meneleponku.

***

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh.” Bu guru dan teman-temanku menjawab salamku.

Tepat lima menit aku telat masuk kelas. Sudah kuupayakan sejak bangun tidur agar lebih tepat waktu sampai sekolah. Tapi tetap saja tidak bisa.

“Ada yang kenal siapa ini?” Bu Ros melontarkan pertanyaan.

“Maksudnya, Bu?” Jono malah menjawabnya dengan pertanyaan.

“Ini loh, siswa yang sedang berdiri ini. Kalian kenal ini siapa?”

“Masa iya Ibu gak tau. Dia kan Bunga.” Celetuk Rina.

“Ibu gak kenal sama siswa ini. Ini siswa yang udah korupsi. Siswa ini udah melakukan korupsi waktu. Ibu harap, kalian tidak melakukan hal buruk seperti ini. Ibu hanya mengenal siswa yang takut pada korupsi.”

“Bukannya takut itu hanya kepada Allah ya, Bu?”

“Itu yang paling utama. Kalau kita takut kepada Allah, kita pasti gak berani melakukan hal-hal yang dilarang-Nya. Korupsi salah satunya.”

Semua bergeming. Sesekali teman-temanku melirikku. Mata-mata itu seakan siap menikamku dari depan. Seakan-akan aku ini salah benar dan tak patut dimaafkan. Benar kata orang, mau sebaik apa pun kita, apabila kita melakukan kesalahan sedikit saja, semua perbuatan baik kita akan sirna. Lenyap tak berbekas.

“Kok tadi malam teleponku dimatikan begitu saja?” Tiba-tiba Rina menghampiriku dari belakang. Mungkin dia berusaha mengagetkanku tapi tidak sama sekali.

“Iya, aku minta maaf, Rin.”

“Udah? Cuma gitu aja?”

Kutinggalkan saja Rina. Kalau dia masih berminat bicara denganku, dia pasti mengikutiku. Aku masih kepikiran dengan kejadian di kelas tadi. Aku tahu aku salah. Aku sudah terlambat. Lima menit. Aku sudah menyia-nyiakan waktu begitu saja. Korupsi waktu. Begitu kata Bu Ros. Tapi aku lebih mengkhawatirkan keadaan ayah saat ini.

“Loh, jalan kok melamun?”

Aku tersentak. Sudah ada Bu Mala berdiri siap di depanku.

“Kalau kamu di jalan raya, bahaya sekali ini. Sini duduk dulu.”

“Iya, Bu.”

Kami duduk di sebuah kursi panjang di koridor sekolah. Tepat di samping taman sekolah.

“Kamu tadi terlambat ya, Bunga?”

“Iya, Bu. Lima menit. Aku sudah korupsi waktu. Seharusnya aku bisa mengatur waktu dengan lebih baik lagi. Seharusnya aku bisa lebih cepat. Seharusnya aku tidak tidur ketika mengerjakan tugas. Seharusnya aku tidak telat masuk kelas. Aku menyesal.”

“Bunga, kalau ibu boleh mengambil kalimat Tere Liye, hidup kita ini hukum sebab akibat. Segala yang terjadi pada diri kita ada penyebabnya dan ada juga akibatnya. Seperti yang terjadi pada Bunga sekarang. Bunga terlambat itu ada sebabnya, lalu ada akibatnya. Ibu boleh tahu kenapa kamu terlambat?”

Kuanggukkan kepala. Mulailah kuceritakan apa yang terjadi semalam. Peristiwa ayah tergeletak di lantai. Lalu, tengah malam suhu badan ayah tinggi. Kukompres berkali-kali sampai agak menurun. Lalu, baru aku bisa lanjut mengerjakan tugas sampai aku ketiduran setelah melaksanakan solat subuh. Pagi harinya, aku siap-siap sekolah sambil menyiapkan sarapan untuk ayah.

“Benar memang apa yang dikatakan Tere Liye, kehidupan ini memiliki hukum sebab akibat. Bunga telat ke kelas karena telat bangun. Telat bangun karena ketiduran mengerjakan tugas subuh hari. Mengerjakan tugas subuh hari karena harus merawat ayah yang sedang sakit.”

Bu Mala tersenyum padaku. Aku sedang berusaha mengerti arah pembicaraannya.

“Tadi kamu mengatakan bahwa kamu terlambat lima menit. Iya, kamu sudah tidak disiplin karena telah melanggar peraturan yang ada. Bisa dikatakan korupsi waktu. Lalu, kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Apakah kamu menyia-nyiakan waktu itu untuk bersenang-senang? Untuk kepentingan pribadimu?”

Kugelengkan kepalaku. Kujawab dengan tatapan bingung. Bu Mala kembali tersenyum.

“Nak, apa yang telah kamu lakukan itu adalah caramu berbakti kepada orang tua. Apakah kamu tega membiarkan orang tuamu kesakitan dan kamu tidur nyenyak?”

Dengan cepat kugelengkan kepalaku.

“Bakti anak kepada orang tua tidak bisa disamakan dengan ketaatanmu dengan aturan sekolah. Memang, ketika kita menjadi siswa yang disiplin, bertanggung jawab, dan mandiri, orang tua kita pasti akan sangat bangga. Namun, pasti orang tua akan merasa bangga ketika anaknya ada di sampingnya saat ia sakit atau membutuhkan anaknya. Kamu mengerti maksud ibu? Oh iya, apa kamu kasih alasan kenapa kamu terlambat kepada Bu Ros?”

“Tidak, Bu. Aku tidak mengatakannya. Sejak telat tadi, aku sudah benar-benar merasa bersalah.”

“Sebaiknya, kamu ungkapkan kenapa kamu terlambat kepada Bu Ros. Ibu yakin pasti Bu Ros bisa memahaminya.”

“Baiklah. Terima kasih, Bu.”

Comments
Loading...