education.art.culture.book&media

EMPAT HURUF

SONY DSC

Barangkali, semua kita telah menandatangani kontrak paripurna untuk menjemput satu makna hakiki, yang saling kita sepakati bersama skenarioNya yang sebenarnya sudah kita ketahui. Makna yang bisa dilambangkan dalam satu kata, atau mungkin dua kata dan bisa jadi tiga kata maksimal. Lantas, akankah kita masih ingat. Sedangkan apa yang sedang dijalani, selalu mendorong pada keluputan atas makna abadi yang jelas tertulis kontraknya. Berhasil memasuki kota B, seorang Wicak merasakan udara yang menyesakkan napas, langit sedikit biru, dan cahaya yang lebih menyilaukan dari lampu yang berwat-wat.

Tak sampai disitu, ia mendapati keterasingan tubuh berusia ABG, pola arsitek, bahasa, dan rutinitas warna warni dari semua usia. Sehingga ia memutuskan untuk terus menelusuri sampai menemukan sosok yang kiranya bisa berbahasa B. Tak susah tentu untuk menemukan pakar bahasa yang dimaksud. Selang waktu bergulir, jejak yang menjadi patokan hidup selanjutnya ia dikenal, membawanya pada satu posisi keramaian. Menyikap butiran halus di permukaan licin yang mampu menyembuhkan keletihan lelahnya menopang punggung, dengan beban sandang yang tak banyak.

“Bulan cepat sekali tampak ya, padahal baru tadi kilauan terik terasa menciutkan mata,” ujar Wicak menunggu suguhan pendamping dingin datang.

Darwin mengikih dalam cambang tipis, dengan pundak refleks naik turun.

Ia mengatakan pada Darwin, sejatinya ia sedang mengeluhkan desas desus diskriminasi atau pembelaan hak yang tak ada habisnya diglobalkan dalam trending topik pekan ini. Siapa yang harus diberikan haknya, siapa yang harus diberikan pembelaan, siapa yang layak menerima keadilan, lagi  lagi siapa yang menyulut topik njelimet yang asik digandrungi tanpa mengusik asal muasalnya.

“Inilah roda bianglala, yang selalu menjadi tabir yang mengasikkan ketika menjadi pilihan untuk dinaiki, dibayar dengan murahnya namun cekaman tak pandang yang memilih”.  Tutur Wicak menyeruput pinggiran sisa bibir gelas itu.

 

“Berhentilah untuk mengandaikan sesuatu, jika hak-hak pribadimu utuh terpenuhi. Masihkah bercita-cita menjadi seorang walikota di Kota B ini?”. Jawab Darwin.

“Bulat sudah, rencana tak akan berkhianat dari pena toh.” Wicak terkekek, ini lebih dari praduga, layak dinobatkan sebagai cerita.

“Omong kosong!’. singkat Darwin.

Kurun waktu berlalu, goresan suratan membawa sebuah penggalan perjalanan yang hampir di luar logika kemanusiaan. Sempurna!. Tanpa liku sekalipun. Satu persatu tinta pena yang tertulis, menjadi sebuah pembuktian bahwa benar ia begitu sempurna masuk kesetiap elemen-elemen yang bahkan tak terjamah oleh usia ABGnya. Lantas, bagaimana titik paten pengukuhan gairah itu bermula?. Berlandaskan dari sebuah dasar terendah, atau berjalan biasa saja.

Siapa yang tak kenal Wicak. Seorang yang sangat dieluh-eluhkan sepanjang masa. Terkadang sempat mengimpikan rutinitas padatnya, sehingga begitu sempit sekali celah untuk mengajaknya sekedar huru hara di layar jaringan sosial sekalipun. Julukan, tagline, shcadule, boarding pass, microfon, jabatan, anggaran, rapat tahunan, penghargaan bahkan penobatan yang membawanya ngebolang kepenjuru luar Indonesia dengan jadwal dan tiket sejajaran para atasan di negri ini. Tiga puluh hari lamanya pun, tepakan kaki di tiap-tiap anak tangga mesin terbang bisa berulang belasan kali.

“Bagaimana kabar sang hati, akankah jannah menjadi penghuni apartemen permanen hatimu?, atau telah menemukan jannah lainnya di tempat yang berbeda?” mengusik kegalauan Wicak menyoroti proposal acara dengan banyak perbaikan yang segera deadline.

Tanpa menggubris. Jangankan huruf-huruf akan keluar berirama sesuai dengan yang ingin di dengar. Barangkali, ujaran tadi hanya sebuah soundtrack pelengkap dingin yang semakin terasa di remang-remang cahaya buatan manusia.

“Suudzhon saja terus kawan, sepertinya isi hatimu mampu terbaca detik ini. Tentu sudah lama engkau tahu kebiasaan ini. Janganlah seolah-olah acap kali baru jumpa, lantas tak saling memaklumi” ujar Wicak sambil melanjutkan typingnya.

“Ambigu!. Engaku berkata seolah tidak ada apa-apa. Hanya sedang mengingat, padahal sebenarnya… Sudahlah!” Darwin menyisakan guratan berbekas di bingkai yang ditinggalinya.

Negara ini membuat banyak keambiguan. Kalian tahu, empat huruf yang sedang ramai diperbincangkan sungguh sangat menyayat hati. Jika boleh beranalogi sesuai konstitusi, memang benar punishment menjerat para biang kerok. Tapi bagaimana dengan kontribusi sisi-sisi kebaikan yang memakan kenyamanan selama berabad-abad, untuk mengukuhkan sebuah perubahan melalui sebuah nama yang diperjuangkan. Pengorbanan bertepuk sebalah tangan, ketika tangan lainnya tak bisa dikendalikan. Demikianlah zaman.

“Bagaimana kabarnya?, sudah berapa banyak bawahan yang berinisiatif meluangkan waktunya untuk menengok sekujur organ dengan sistem gerak yang membawa sebuah makna pada masalah yang mulai terobati?. Sapaan halus seorang Manise sepadan dengan balutan salem pada kepala yang dikenakan.

“Engkau begitu manis untuk menanyakan itu. Masih adakah kepedulian dari segolongan kalian yang bahkan saat ini sedang menikmati puncaknya saja.” Jawab Darwin yang sudah dua puluh satu tahun lamanya memberikan julukan Manise kepdanya.

“Tak peduli itu bukan, hanya saja masih tidak percaya dengan scenario yang sudah disuratkan untuknya. Andai waktu tak bergulir seenaknya saja, bisa dipertimbangkan lebih gugatan itu sesuai dengan topic hangat saat ini. Usianya memang tak lagi pantas mengurusi kartu pengenal, tapi kenapa harus anak yang masih bergulat memperjuangkan tanda pengenal yang menjadi imbasnya.” sembari menggulung ujung pakaian akhir yang sedang dikenakan, dengan guratan ekspresi meringis mengerutkan dahi Manise.

“Tak bisa menyalahkan sana-sini. Semua terlibat, bahkan kita yang selalu membersamainya tak mampu untuk mengungkap sisi kebaikan yang sedang banyak orang nikmati hampir di pelosok yang katanya senusantara. Apalah daya jika yang dahulunya memberikan keputusan mengeluarkan sosok pertama dari surga sudah berultimatum. Kita hanya bisa bercermin, walaupun bayangan sekalipun tak dihasilkan untuk kita lebih bermawas diri.” Darwin menyudahi pergerakan yang sedari tadi menuju ke suatu arah selatan dari bangunan lamanya.

Potongan segi empat yang berbait-bait. Selalu terlihat memaknai sebuah perjalanan, menyampaikan pesan atau untuk sekedar mengingatkan. Dua tiga hari masih terlihat, namun sekejap lenyap tanpa embel-embel yang digadang-gadangkannya. Sekerumunan penerima penobatan, seolah olah saling menutupi. Senyap tanpa kode-kodean, bisu dalam sebuah perbincangan, seolah tak ada yang ingat dengan siapa mereka berandai-andai ingin menjadi. Tapi kenapa harus dilenyapkan?. Bukankah hak untuk tetap berfigur padanya masih bisa terkenang. Tak semua harus bertanya-tanya kemana pergi, kenapa hilang, kenapa  tak lagi update. Atau ingin berniat mensucikan segala memori siapapun yang ingin mengenang?.

Perlu kesadaran untuk menjawab ketidakterimaan ini. Mengambil untaian di titik paling bawah kesadaran, sepertinya sikap terbijak yang mampu diandalkan. Sempat berangan ingin menjadi figur itu, tapi apalah daya kisah hatinya tak seindah bunga tidur. Salahkah jika mengusik kenyamanan dengan runtutan pertanyaan andai. Tapi jika perkataan adalah doa, belum sempat katupan bibir ini mengulas, terpaan yang diandaikan menampakan sosok yang disinggahinya. Cukup kisah kasih yang tak kesampaian membuat tergopoh gopoh organ penyerap racun, untuk sedikit terkikis pada realita suratan. Jika sang organ yang diangan-angankan dahulunya, menyaksikan pengakuan bathil ini. Sungguh suratan akan berbelok pada kerapuhan pendengaran, penglihatan dan perasaan yang menggerogoti tanpa obat.

“Bersyukur, adalah cara terlunak yang melumpuhkan ambisi mengejar fana yang tak berujung. Barangkali serangakaian proses manis, belum memberikan makna hakiki dari kontrak yang telah disepakati. Manisnya itu menjadi sebuah kenikmatan atau justru cobaan. Hanya segelintir hamba-hamba yang ketar-ketir dengan sebuah pencapaian manis itu. Pahami!. Jemputlah makna itu, barangkali satu kata itu adalah Bersyukur”. Celotehan Kutbah di jumat ini oleh julukan ustad berkat keberanian kutbah pertamanya ini.

“Ini jawaban gundah gulana semua jiwa-jiwa yang membela, sungguh sang maha Agung lebih menyayanginya dari sebuah keburukan yang tak disukai ini. Inilah cara yang harus diselesaikan untuk menjemput keyword yang paripurna. Barangkali masanya tak lama lagi. Lebih dahulukah ia akan menikmati buah manis yang mengalir dibawahnya sungai-sungai jernih. Tapi nikmat sekali prosesnya, terlebih dahulu dibersihkan melalui peristirahatan sementara di dunia. Setelah dikenal sebagai apa, karena siapa. Dan diingatkan bahwa ada yang cemburu, dan saatnya kembali.” Menungan yang cukup khidmat dari seorang Darwin yang tak juga beranjak ketika panggilan bergema, justru sujud tumakninah yang ditampakan.

Khidmat!. Sungguh sangat iri, bahwa proses indah hanya dihampiri pada jiwa-jiwa lainnya yang terpilih. Hanya satu kata yang dijemput untuk menyudahi suratannya, dan sungguh semakin dekat bagi yang berfikir.

Comments
Loading...