education.art.culture.book&media

Kekuatan Kelam (Tugas BWC #3)

            Terlihat langit menghitam dengan rintikan air yang terus berjatuhan, terus ku gas motor dengan cepatnya. Namaku adalah Ratna Siantika, gadis muda berumur 17 tahun, aku tinggal bersama ayah dan adik laki-lakiku, aku anak pertama dari dua bersaudara, kami tinggal di sebuah rumah kecil disudut sekolah dasar yang berada di lubuklinggau. Kata ayah aku adalah gadis muda tangguh yang cukup cerewet. Kebiasaanku sehari-hari adalah berkhayal tentang kapan aku bisa membahagiakan seorang laki-laki kuat yang sungguh luar biasa ini, ia adalah seorang ayah yang rela membesarkanku dengan penuh cinta. Seorang gadis tomboy selalu terngiang ditelingaku saat orang-orang melihatku. Ya, ini lah aku seorang gadis yang selalu memakai baju berwarna kelam, warna inilah yang selalu indah untuk kupandang mata. Aku sekarang mencari secercah koin di sebuah rumah makan, dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore, inilah pekerjaan yang kulakukan dari pagi hingga sore. Terlihat tomboy dengan memakai pakaian yang selalu gelap, dan tidak melanjutkan sekolah tinggi, karena itulah aku tidak mempunyai teman disini.

“Ah sudahlah”.

Kata-kata itu selalu membuatku tenang, dengan sedikit menepis kepalaku. Dan ketika jarum jam menuju ke angka lima aku langsung kembali kerumah, tak lama kemudian terlihat dari dalam pagar rumahku seorang lelaki yang tengah duduk sambil meminum segelas kopi.

“Pulang rat.” Ucapnya

“iya ayah, di perjalanan hujan jadi pakaian ratna basah.” Jawabku

Laki-laki itu adalah ayahku, seorang lelaki yang sangat luar biasa dihidupku tanpa ayah hidupku tidak sebahagia ini.

Hujan terus turun tanpa henti dengan sedikit pancaran kilat yang menakutkan. Aku langsung masuk kekamar dan berganti pakaian tidur, ku buka jendela yang berada di samping tempat tidurku dan kupandangi tiap tetes hujan turun, sepintas ku lentangkan tangan kanan ku keluar jendela, basah semua jari-jariku dengan dingin yang menyerap sanubari. Tidak sengaja mataku melirik ke arah meja yang terletak di sudut kamarku, terlihat sebuah buku yang sedikit usang dengan lipatan-lipatan di setiap ujung kertasnya. Ku ambil dan ku buka buku itu. Dan ku coretkan sedikit tinta pena di dalamnya, kutuliskan tentang kejadian hebat hari ini. Setiap hari bagiku adalah hari-hari terhebat, apalagi saat mataku melihat senyum lebar dibibir ayah ku, lengkap sudah kebahagiaan ketika melihat senyum indahnya, sejuk dan tentram dalam hati bagai di sebuah ruang penuh es salju. Tak ku sadar ternyata kedua mataku sudah terpejam-pejam bagaikan handphone yang baterainya hanya lima persen, kutarik selimut yang berada dekat disampingku, kucoba memejamkan mata agar besok dapat kumulai hari baru lagi.

            “Kring…Kring”

“Ternyata alarm yang berbunyi” ucapku dengan menguap

            Jarum jam sudah terihat ke angka lima, langsung berwudhu dan kutunaikan shalat shubuh. Setelah shalat biasanya aku langsung memasak untuk sarapan pagi, dan sesudah memasak aku langsung pergi bekerja.

“Uy tomboy”

            Terdengar teriakan gadis seusiaku, saat akan bekerja, tak kuhiraukan perkataan itu. Seperti air terus mengalir saja tak akan kutanggapi semua yang membuatku merasa kesal. Saat diperjalanan menuju tempat kerja, tak sengaja kulihat seorang nenek tua yang tengah membawa sekarung pisang mentah didalamnya, seakan-akan karung itu berisi batu dengan beratnya ia menyeret karung cukup besar itu. Campur aduk pikiranku saat itu, menolong nenek ini ataukah bekerja, jika aku membantu nenek itu akupun akan telat untuk datang tepat waktu bekerja.

“Ah, sudahlah”.

            Akhirnya setelah berdiskusi dengan hati, detak jantungku terus berdetak kencang saat melihat wanita tua yang sudah bungkuk itu dengan bersarung kain, kuantarkan ia menuju tempat tujuannya. Dan saat itu teman-teman dekat rumahku yang akan pergi kuliah melihatku dengan tatapan tajam saat aku membantu nenek itu.

“Rat, kamu baik sekali” ucapnya

“Baik apanya, aku hanya membantu seseorang yang membutuhkan bantuanku” jawabku

“Walaupun kamu tidak melanjutkan pendidikan tinggi, tetapi ayahmu memberikan kamu pendidikan yang baik.” Ucapnya lagi

“ayahku memang yang terhebat” jawabku

“Maafkan kami ya, selama ini kami sering menghinamu.”

“Aku sudah memaafkan kalian”

            Dipeluknya aku saat itu, dan bajuku terlihat sedikit lembab, Kubiarkan ia menangis karena rasa bersalahnya padaku dulu, dan sekarang dia menyadari semuanya. Tak hentinya bibirku terus tersenyum lebar.

            Untung saja saat sampai ditempat bekerja, ternyata aku hanya telat lima menit saja, rasa legah itu membuatku tak hentinya bersyukur. Dan saat pulang bekerja, sesampainya dirumah ayah memeluk dan mengusap kepalaku dengan lembutnya.

“Kenapa ayah” tanyaku

“Kamu tak perlu bekerja terlalu lelah, kamu bahagia saja ayah sudah bahagia nak’ ucapnya

“Makasih, ayah yang terhebat”.

            Bagiku tiada bahagia tanpa senyuman mu itu ayah, akan terus kuperjuangkan senyum indah itu, kini kusadari bahwa ternyata hidupku tidak sekelam warna bajuku.

***SELESAI***

 

 

Comments
Loading...