education.art.culture.book&media

MASAHATU (2)

(Catatan kedua dari dua bagian)

Masjid Lawataka tempo doeloe

(Catatan Hari ke-4 di Seram Bagian Barat)

Matahari perlahan condong ke barat.

Arloji di pergelangan tangan kiri saya menunjukkan pukul 15.05 WIT ketika Bang Reimon menyampaikan kabar gembira itu.

Kami sudah tiba di Hualoy.

Lima jam sudah kami habiskan di perjalanan demi menjejakkan kaki di salah satu negeri muslim di Seram Bagian Barat ini. Sementara naik bukit untuk melihat bentengnya pun belum, saya malah langsung membayangkan perjalanan pulang. Terbayang oleh saya jalan berkelok dan menanjak-menurun menjelang gerbang kedatangan Kota Piru. Sudah tentu hari sudah gelap ketika sepeda motor kami melaju di sana nanti. Pengendaranya haruslah dalam kondisi prima. Ketiadaan penerangan di sebagian besar jalan Trans Seram juga membuat pikiran saya makin mumet. Semoga kami senantiasa di bawah lindungan-Nya, amin.

“Hei, Benn, makanan sudah terhidang, mengapa malah memikirkan ihwal buang hajat! Penuhi lambung, kosongkan kemudian!” suara itu menjelma kunang-kunang yang berputar-putar di kepala.

Saya mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha keras keluar dari alam pikiran yang menyedot saya cukup dalam.

Kami menuju rumah baparaja yang berada di kelokan pertama jalan utama perkampungan itu. Hasyim Tubaka, begitu nama lengkap laki-laki berperawakan sedang berkulit sawo matang itu. Ia sedang duduk membelakangi kami di ruang tamunya ketika Bang Reimon mengucapkan salam. Saya sedikit terkejut dan refleks menoleh ke arah laki-laki bertampang gahar-tapi-bersuara-lembut itu. Bang Reimon itu mengucapkan salam umat Islam. Baparaja bangkit dari duduknya seraya menjawab salam itu. Sepertinya mereka memang sudah saling kenal. Tidak pernah ada kesalahpahaman atau keributan yang lahir dari salam agama yang satu diucapkan oleh agama yang lain. Ah, bagaimana bisa pikiran tidak penting itu melintas di tempat dan waktu yang yang tidak tepat seperti ini?!

Kami menyalami baparaja yang langsung menyilakan kami duduk. Beberapa saat Bang Reimon dan laki-laki bermarga Tubaka itu berbicara dalam bahasa Maluku yang tidak saya pahami, sebelum kemudian saya berinisiatif memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud. Baparaja terdiam sejenak lalu bangkit dari tempat duduknya. Saya sedikit terkejut namun di waktu yang nyaris bersamaan saya juga refleks berdiri. Ternyata Bang Reimon juga melakukan hal yang sama.

“Saya ganti celana trening dulu.” Baparaja melangkah masuk ke kamarnya yang terletak di sisi kiri ruang tamu. Saat kami datang ia memang sedang mengenakan celana kain. “Kalian sudah bawa minum, ‘kan? Nanti haus di atas.”

Kami tidak sempat menjawab sebab laki-laki bermarga Tubaka–marga muslim di Hualoy–itu sudah hilang ditelan gorden kamarnya. Kami memang sudah membawa masing-masing sebotol air mineral ukuran 600 ml. Saya dan Bang Reimon menuju pintu keluar. Memasang sepatu. Sembari menunggu baparaja keluar, saya terpaku oleh apa yang barusan terjadi.

Kepercayaan adalah landasan segala urusan. Baparaja tidak merasa perlu ‘menginterogasi’ saya terkait penugasan saya di Seram Bagian Barat. Ia tidak merasa perlu menanyakan surat tugas, mengapa memilih Hualoy, dan lain-lain, dan lain-lain. Penduduk Hualoy (anggaplah baparaja sebagai sampelnya) seperti memiliki insting untuk mengendus niat seseorang. Meskipun saya sempat berpikir, kehadiran Bang Reimon yang cukup familier bagi orang-orang sekitar, membuat baparaja, tanpa banyak menimbang ini dan itu, bukan hanya mengizinkan kami ke bukit, tapi juga mendampingi kami menemukan apa yang kami cari di sana. Padahal, kedatangan kami yang tidak diawali pemberitahuan sebelumnya sangat berisiko menimbulkan kerepotan bagi tuan rumah. Bagaimana kalau kami tiba ketika baparaja sedang memiliki kesibukan yang harus ia selesaikan sore itu, misalnya. Entah karena ia memang sedang santai atau bahkan rela menunda pekerjaannya yang lain demi kami, semesta sedang bersama kami sore itu. Ah, beruntung sekali saya. Terima kasih ya Allah.

Ketika kami berjalan menuju lereng bukit, beberapa warga setempat sempat bertanya hendak ke mana dan apa yang akan dilakukan baparaja dengan kedua tamunya. Ya, kamera DSLR yang dikalungkan di leher dan parang di tangan kanan Si Baparaja, tentulah menarik perhatian. Baparaja biasanya menjawab dalam bahasa setempat seraya mengarahkan parangnya ke arah bukit. Di jalan masuk ke bukit, kami bertemu seorang pemuda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Ia ditawari baparaja untuk menemaninya. Pemuda itu langsung bergabung.

Masjid Lawataka tempo doeloe

Ternyata sudah ada tangga semen tua untuk mendaki bukit. Wah, ini akan menjadi lebih mudah, pikir saya kegirangan. Namun, saya ternyata keliru. Tangga itu panjangnya hanya sekitar 50 meter. Setelah itu kami bertemu dengan undakan tanah yang ditopang potongan-potongan bambu. Ah, tidak masalah. Yang jelas, jalan sudah terbuka.

Tangga semen yang sudah tua menjadi jalan pembuka ke Masahatu

Bang Reimon yang awalnya berada di depan saya, beberapa kali hampir terjatuh, baik karena terpeleset atau karena kakinya terganjal oleh semak atau sulur tumbuhan liar. Ya, lima jam di atas sepeda motor dengan rehat seperlunya ketika saya harus mengambil foto-foto perjalanan, tentulah memengaruhi kebugaran dan konsentrasi. Dalam hati, saya berdoa semoga ia masih kuat.

“Kamu duluan saja, Benn. Ikuti Komar di depan! Saya biar sama Baparaja di belakang,” Bang Reimon menunjuk pemuda yang baru bergabung yang sudah berada jauh di atas.

Setelah minum beberapa teguk dari botol air mineral di dalam tas sandang, saya langsung mengambil langkah lebar-lebar. Saya mencoba menyembunyikan engah napas saya. Lumayan capek pula, batin saya. Dua menit kemudian saya sudah berada beberapa langkah di belakang Komar. Kali ini tidak ada lagi tangga atau undakan. Kami berjalan menerabas semak dan rumput liar.

“Ke sini, Bang!” Komar meminta saya untuk mengikutinya. Ia merunduk, menghindari sebatang buluh patong melintang jalan. Buluh patong adalah sejenis bambu yang banyak tumbuh di Maluku dengan diameter batang yang lebih besar dari bambu umumnya. Lima menit kemudian Komar berhenti.

“Kita sudah sampai?” tanya saya seraya membuka tutup botol air mineral dan menenggak isinya hingga tinggal separuh.

“Iya, Bang!” katanya. “Itu!” Dia menunjuk ke atas. “Kita tunggu Baparaja dan Bang Reimon dulu,” katanya kemudian.

Saya tidak melihat apa-apa di atas, selain semak dan pohon-pohon. Meskipun begitu, tak pelak senyum saya pun mengembang.

Ternyata, “sudah sampai” dalam versi Komar sama dengan “sudah dekat” atau “sebentar lagi” versi orang-orang di kampung-kampung di Musirawas atau, tanah kelahiran saya, Lubuklinggau. “Sudah sampai” versi Komar adalah sudah sampai di atas, bukan sudah tiba di lokasi yang dituju. Kami masih harus menyusuri hutan bambu yang lumayan rimbun, berbelok ke sana-kemari, menurun dan menanjak lagi.

Bersama Baparaja (baju hitam) dan Komarudin Tubaka (baju kuning) di area utama Masahatu

Ketika kemeja putih saya sudah basah oleh air asin tubuh, sebuah makam seperti menyala di tengah hutan. Makam yang relatif besar dengan bentuk menyerupai kubus itu ditutupi oleh kerikil berwarna putih dan cokelat muda dengan sebuah batu berukuran yang agak besar tepat di tengah-tengahnya.

“Ini makam …”

Belum selesai kalimat saya, baparaja langsung nyeletuk, “Syeikh Zainal Abidin!”

Makam Syeikh Zainal Abidin

Saya terdiam. Memikirkan nama itu sejenak. Apakah saya pernah mendengarnya dalam sebuah kesempatan atau membacanya di salah satu buku. Tapi saya pikir, meskipun namanya terdengar relatif umum di telinga, saya tidak tahu hubungan nama itu dengan Maluku, Seram Bagian Barat, apalagi Negeri Hualoy ini.

“Ia adalah pembawa syiar agama Islam di sini,” terangnya kemudian.

“Pembawa Islam di Hualoy?” Saya memastikan. “Atau di Seram?”

Pondasi masjid di Masahatu yang terbuat dari batu-batu pantai

Baparaja mengangguk. Sebelum kemudian ia mengajak kami melihat puing-puing bangunan, semacam pondasi bangunan yang menyerupai adukan semen yang tampaknya telanjur kering sebelum ditata sedemikian rupa. “Semasa hidupnya Syeikh membangun dan berdiam di masjid di sini.” Ia menunjuk sisa pondasi yang jaraknya cuma dua meter dari makam.

Awalnya saya kesulitan mengidentifikasi keberadaan pondasi itu karena ia sudah tertutup rumput dan semak-semak. Namun setelah saya bersihkan dan melihatnya lebih dekat, tampaklah semacam adukan semen yang tidak selesai tersusun memanjang.

Pohon Merah di area utama Masahatu

Ternyata, satu meter dari pondasi masjid atau dua meter dari makam, tumbuh sebuah pohon yang tinggi menjulang. Seperti memahami air muka saya yang bendak bertanya, Baparaja dan Zul secara bergantian memberitahu bahwa orang-orang Hualoy percaya kalau di mana ada makam orang saleh atau ulama atau tokoh masyarakat yang selama hayatnya memberikan banyak maslahat bagi orang banyak, pohon merah selalu tumbuh tak jauh dari makam mereka. Saya mengangguk-angguk. Saya baru tahu kalau nama pohon itu pohon merah.

Batu lempeng tempat anak laki-laki Masahatu dikhitan

Ternyata di salah satu sisi akar pohon yang diklaim baparaja dan Komar berusia ratusan tahun itu, terdapat sebuah batu berbentuk lempeng. Ketika baparaja membersihkannya dari rerumputan, baru sadarlah saya kalau tampaknya batu itu bukan sembarang batu.

“Ketika Syeikh masih hidup, anak laki-laki Hualoy semua dikhitan di sini.”

Alamakjang! Dikhitan di atas bukit?

Kata-kata baparaja barusan sedikit-banyak membuat saya terenyak. Saya masih sulit membayangkan anak laki-laki yang kemaluannya baru disunat itu harus menuruni bukit ketika pulang. Namun, kesangsian itu sirna ketika baparaja dan Komar mengguraikan sebuah hikayat.

*

DI BUKIT ITU, sebelum abad VIII, berdirilah sebuah peradaban bernama Masahatu.

Negeri Masahatu memiliki keunikan tersendiri, terutama dari bebatuan yang banyak terdapat di di dalamnya.

Semua bangunan berpondasikan batu pantai. Batu-batu pantai itu dibawa oleh para penduduk yang berasal dari 99 negeri. Mereka mengangkut batu-batu pantai itu dengan melakukan masohi. Apa itu masohi? Masohi ialah budaya gotong-royong. Penduduk dari 99 negeri itu berbaris dari bibir pantai hingga puncak bukit untuk kemudian menyusun batu-batu pantai itu sedemikian rupa.

Nama “Masahatu” sendiri tidak memiliki pengertian yang tunggal.

tepi pantai Hualoy tempo doeloe yang menjadi titik nol pengangkutan batu pantai ke Masahatu

Pengertian yang paling popular adalah: Masa berarti zaman, sedangkan Hatu berarti Batu. Ada pula pendapat lain yang mengartikan Masa sebagai musyawarah, dan Hatu berarti kuat. Jadi, Masahatu memiliki dua arti: Zaman Batu atau Musyawarah yang Kuat. Tampaknya perbedaan arti ini tidak harus dipertentangkan sebab keduanya berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Masahatu diartikan Zaman Batu apabila Si Pemberi Pengertian melihat Masahatu sebagai negeri yang dibangun oleh batu-batu (pantai). Sedangkan Musyawarah yang Kuat berangkat dari nilai-nilai sosial yang melekat pada masyarakat Masahatu, seperti masohi dan bermusyawarah untuk memecahkan masalah

Selain ciri fisik berupa bebatuan pantai yang nyaris memenuhi bukit hingga batu itu pun menjadi batu utama negeri itu, secara budaya, Masahatu kerap mengadakan upacara dan ritual. Meskipun demikian, sejumlah perhelatan adat itu cenderung tidak mengarah pada pengertian Masahatu sebagai Zaman Batu. Tarian yang disinyalir sudah ada sejak peradaban Masahatu adalah Make Putih. Tarian yang kadang kala disebut Kusu Putih ini ditarikan oleh penari yang mengenakan pakaian dengan kombinasi warna merah-putih. Tari ini menggambarkan sejarah Nunusaku. Dewasa ini, tarian ini juga menggambarkan perjuangan penduduk Seram mengusir penjajah.

Tari Make Putih atau Kusu Putih

Seiring waktu, penghuni Masahatu mulai mengenal kepercayaan atau keyakinan. Hindu adalah keyakinan yang cukup diterima pada mulanya.

(Sayang sekali, saya abai bertanya, bagaimana Hindu bisa masuk ke sana. Sejauh yang saya cari dan ketahui, saya tidak (atau belum) menemukan literarur yang menyebutkan hal itu. Pengetahuan saya terkait Hindu di Maluku yang sepertinya tidak beririsan dengan Masahatu adalah, saat ini Suku Naulu di Maluku Tengah adalah satu-satunya kelompok masyarakat di Pulau Seram yang masih memeluk keyakinan itu. Saya berjanji pada diri sendiri, saya akan mencari tahu hal itu. Baiklah, kita tandai dan tunda bagian ini).

Pada abad VIII, Syeikh Zainal Abidin membawa ajaran Islam ke Seram lewat Teluk Sahulahu. Ndilala, pemuka agama itu pun singgah ke Masahatu.

Pembawaanya yang ramah, gemar membantu, dan kerap memecahkan masalah dengan pendapat-pendapatnya yang brilian, membuat laki-laki yang selalu mengenakan jubah itu cepat termasyhur. Karena keberterimaan para penduduk, Syeikh Zainal Abidin merasa betah berada di Masahatu.

Banyak pemeluk agama Hindu bersimpati kepadanya. Syeikh Zainal Abidin membangun masjid di atas bukit itu. Meskipun hari ini, masjid ini hanya menyisakan pondasi dari batu pantai, namun keberadaan tempat wudu dari cangkang siput raksasa yang oleh bahasa setempat disebut bia membuat hal itu tidak sekadar berstatus “katanya”. Karena tak jauh di belakang bia, terdapat tebing, keberadaan mata air yang mengalir ke bia hingga hari ini masih menyisakan misteri.

Cangkang siput raksasa (bia) yang digunakan untuk menampung curahan air wudu

Keberadaan masjid di Negeri Masahatu membuat aktivitas terkait syiar agama Islam di Masahatu makin terpusat. Syeikh Zainal Abidin seperti memiliki tempat ibadah sekaligus rumah yang dapat dikunjungi siapa saja. Lambat laun, dari waktu ke waktu, pengikut Syeikh pun terus bertambah hingga jumlah muslim di Masahatu mengalahkan populasi pemeluk Agama Hindu.

Untuk menandai wilayah berdasarkan keyakinannya, didirikanlah benteng di atas bukit dari batu-batu pantai yang banyak terdapat di negeri itu. Masahatu pun terbagi menjadi dua. Meskipun begitu, mereka tetap hidup rukun. Penduduk Hindu tanpa ragu masuk ke wilayah muslim apabila mereka hendak bertemu Syeikh untuk menanyakan hal-hal yang masih mereka ragui. Pun dengan penduduk muslim, mereka biasanya menyelenggarakan rapat adat di wilayah Hindu sebab dua batu lempeng yang biasa digunakan untuk bermusyawarah terdapat di sana, dan pemeluk Agama Hindu tidak menjadikannya sebagai pemantik keributan.

Keragamaan itu akhirnya terus melebur. Disadari atau tidak, sebagaimana di daerah di Maluku lainnya, perbedaan yang ada di antara mereka tidak cukup berdaya untuk memancing keributan. Tanpa disadari, pemeluk agama islam meningkat tajam. Hari ini orang-orang mengenal negeri muslim di Seram Bagian Barat itu dengan nama Hualoy.

Masjid Lawataka hari ini

Penduduk namaHualoy sendiri saat ini memilih tinggal di darat yang lebih dekat dengan pantai. Mungkin kepraktisan dan kemudahan bersosialisasi menjadi pertimbangan mereka. Di tengah-tengah Negeri Hualoy didirikanlah sebuah masjid yang hingga hari ini masih berdiri. Masjid Lawataka. Secara fisik, tempat ibadah umat Islam yang didirikan pada 1824 ini adalah–salah satu–masjid tertua–yang masih berdiri–di Hualoy.

Daerah utama Masahatu dari atas

*

“HINGGA HARI INI, warga Hualoy yang hendak menunaikan ibadah haji selalu membersihkan daerah sekitar makam Syeikh Zainal Abidin, pondasi masjid, dan pohon merah beserta lempeng batu khitanan di bawahnya, karena mereka akan mengundang penduduk setempat untuk membaca yasin bersama-sama. Biasanya, hajatan itu diakhiri dengan doa bersama, memohon kebaikan untuk mereka yang akan menunaikan ibadah ke Tanah Suci.

Penduduk Hualoy mengelilingi makam Syeikh Zainal Abidin, membaca yasin bersama-sama untuk mendoakan warga Hualoy yang hendak berangkat haji agar ibadahnya mabrur

“Kami percaya pada karomah ulama besar seperti Syeikh Zainal Abidin,” jawab baparaja ketika saya bertanya alasan diselenggarakannya pembacaan yasin berjemaah itu.

Dirasa cukup, baparaja mengajak kami turun. O o o, teringatlah jalan naik yang lumayan melelahkan itu harus kami lalui lagi. Namun, syukurlah, baparaja mengajak kami turun melalui jalan yang lain.

“Yang ini jaraknya lebih dekat dan lebih cepat sampai, Bang,” ujar Komar seakan-akan dapat membaca kekhawatiran di mata saya.

Saya nyengir kuda.

Sepanjang jalan turun, kami memungut buah langsat yang banyak berjatuhan. Seperti yang saya tulis di jurnal-jurnal sebelumnya, saat ini Seram sedang musim buah, salah satunya adalah musim langsat. Berbeda dengan langsat masam yang satu-dua kali kerap disusupkan penjual duku yang culas ke dalam kresek duku yang kami beli, langsat Hualoy manis. Yang membedakan langsat Hualoy dengan duku adalah tekstur dagingnya yang relatif lebih tipis dan berair dibanding duku.

Benar! Sebagaimana kata Komar tadi, jalan turun yang dipilih mereka adalah jalan pintas. Kami tiba lebih cepat dari pada perjalanan mendaki tadi. Hal ini tentu bukan sekadar perasaan. Ya, pada umumnya orang-orang yang bepergian akan merasa perjalanan pulang lebih singkat daripada pergi meskipun jarak yang ditempuh tidak berubah.

“Karena kita pernah melaluinya,” begitu jawaban Bu Martha ketika saya mengutarakan perasaan serupa di tengah jalan pulang dari air terjun Lumoli.

“Karena kita digantung oleh harapan!” itu adalah suara yang mengapung dalam kepala ketika saya memikirkan perihal perjalanan pergi yang terasa sangat lama.

Seturun dari Masahatu, H. Syukur (kanan) bergabung untuk menuju rumah baparaja

Dalam perjalanan menuju rumah baparaja, beberapa tetua kampung sudah berada di beranda rumah mereka. Mereka langsung bergabung bersama kami yang baru turun dari Masahatu untuk bersama-sama ke rumah kepala negeri. Sepertinya baparaja sudah memberitahu mereka ketika kami berjalan melewati rumah-rumah mereka dalam perjalanan pergi tadi. Saya yang abai sebab semua percakapan mereka tadi berlangsung dalam bahasa daerah.

Memang, dalam sejumlah percakapan dengan orang-orang setempat, mereka mengakui kalau bahasa daerah di Seram Bagian Barat memang lebih lestari di negeri-negeri berpenduduk muslim seperti Latu, Luhu, dan negeri-negeri lainnya, termasuk Hualoy ini. Sementara hal sebaliknya terjadi di negeri-negeri berpenduduk kristen.

“Pusat peradaban seperti yang barusan Ananda lihat di atas tadi, juga bisa ditemukan di negeri-negeri muslim lain seperti Amahusu, Hukurila, dan Laha.”

Informasi yang keluar dari mulut H. Abdul Syukur Hehanusa (75) menyadarkan saya dari lamunan sesaat. Saya sampai abai kalau kami sudah berada di ruang tamu baparaja. Selain Si Kepala Negeri, juga ada Bang Reimon, Komar, dan dua tetua negeri itu: Pak Rais Hehanusa (70) dan Pak Syukur yang barusan bicara tadi, sudah duduk di kursi tamu. Peci yang dipakai kedua tetua negeri itu seperti menegaskan kalau saya berada di negeri muslim.

(ki-ka): Komarudin Tubaka, Rais Hehanusa, H. Abdul Syukur Hehanusa, Hasyim Tubaka, S. H. (baparaja) di ruang tamu baparaja

“Makam-makam ulama di pusat-pusat peradaban itu, termasuk makam Syeikh Zainal Abidin di atas tadi, pun begitu. Coba ingat-ingat tadi, pasti untuk memfoto objek lain, harus membersihkannya dari rumput atau semak. Bagaimana dengan makam Syeikh?”

Saya mengingat sejenak sebelum kemudian mata saya berbinar. “Bapak benar!” Refleks saya menjentikkan jemari. “Makam itu adalah objek  (paling) bersih di antara yang lain,” kata saya kemudian. Bahkan sebagaimana yang kesan saya ketika memasuki daerah utama Masahatu itu, makam Syeikh Zainal Abidin langsung tertangkap mata saya, seperti menyala di tengah hutan. Ya ya ya, saya baru menyadarinya.

“Sudah sempat melihat tempat wudu di dekat sana?” Pak Rais melempar tanya.

Bia?” Saya memastikan, lalu mengangguk mengangguk. “Tapi tadi tidak ada air yang mengalirinya.” Ada protes dalam kalimat saya barusan.

“Memang begitu,” Kata laki-laki berkulit putih dan kumis penuh uban itu dengan santainya. “Kan memang tidak lagi dipakai.”

“Lho …?” Saya ragu melanjutkan.

“Airnya akan muncul kalau kami menggelar perhelatan yang penting,” jawabnya, masih dengan nada santai.

“Pada tahun 2008, ketika di sini diadakan pertemuan pemuka adat Eti, Tala, dan Sapalewa, tiba-tiba saja air itu muncul dan mengalir dengan derasnya ke bia dan terus mengalir hingga ke aliran di bawahnya.” Kali ini Komar mengambil alih. Kemudian pemuda yang juga bermarga Tubaka itu mengembangkan ceritanya untuk dikaitkan dengan konteks masa kini. Dari ceritanya pula, saya akhirnya tahu kalau ia adalah seorang sarjana.

Saya hanya bisa menyimak dan mencatat cerita langka itu di buku saku. Saya biasanya langsung mencatat di aplikasi note di ponsel, namun petang itu baterai ponsel saya hampir habis karena digunakan untuk mengambil cukup banyak foto selama perjalanan dan di bukit tadi. Memang, kadang kala banyak lokalitas yang sulit sekali dinalar.

Di tengah perbincangan kami, bergabunglah Bakri Tubaka, penduduk setempat yang tampaknya tertarik dengan percakapan kami tentang kampung halamannya. Sesekali laki-laki berjambang itu menimpali atau menjelaskan ulang apa-apa yang Pak Syukur dan Pak Rais ceritakan dengan bahasa yang lebih mudah saya pahami. Ah, baik-baik sekali orang di negeri ini ya ….

“Sudah mengambil foto-foto di atas tadi?” Pak Syukur tiba-tiba bertanya.

Saya menoleh lalu mengangguk.

“Coba kamu periksa lagi,” katanya. Ada senyum tipis di wajahnya.

Perasaan saya tiba-tiba tak enak. Lalu gugup menyerang. Saya mengambil ponsel di dalam tas sandang.

“Beberapa orang yang mengambil gambar peninggalan Masahatu harus mendapatkan kenyataan semua foto itu hilang ketika mereka sudah turun,” lanjut Pak Syukur.

Saya menyimak seraya mencari folder foto di ponsel. Konsentrasi saya mendadak buyar.

“Yaaa … itu karena mereka memiliki niat yang tidak baik dengan foto-foto itu.”

Deg! Jantung saya berdegup lebih kencang dari biasa. Saya merasa, mata orang-orang di ruang tamu ini menuju saya.

“Bagaimana? Ada foto-fotonya?”

Suara Pak Syukur terdengar mengintimidasi.

Saya tak menjawab. Jemari saya sibuk menggeser-geser layar ponsel. Keringat mulai berebutan tumbuh dari pori-pori kening saya.

Folder foto itu pun ditemukan. Bismillah. Saya sentuh folder itu di layar ponsel. Lalu semuanya terpampang nyata.

“Bisa kamu tunjukkan apa-apa yang kamu foto tadi?” kejar Pak Rais.

Anak-anak Hualoy mandi di tepian Laut Seram di negeri mereka

Hari menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit. Suara orang mengaji tak lama lagi akan mengalun dari pelantang suara Masjid Lawataka.

Sebentar lagi senja jatuh di Hualoy.*

Telaga Tenggelam, 17 April 2018

Comments
Loading...