education.art.culture.book&media

Senyum Kakek Cangkul (Tugas BWC #3)

    Mentari beranjak tenggelam dengan langit memancar keindahan warna jingga merona nya dan tampak pula lelaki parubayu yang berjalan membungkuk, tak pernah ketinggalan cangkul yang selalu ia bawa serta menjinjing karang berwarna putih entah berisi apa. Setiap aku pulang kuliah kulihat kakek yang bernama Kaswandi itu, yang sering aku panggil dengan sebutan kakek cangkul. Kakek yang selalu menebar senyum setiap orang yang ia jumpai sepanjang jalan ia pulang dari sawah. Dengan barisan gigi yang tak rapat lagi ia tunjukan seolah ia tidak sedang memikul beban meskipun dari raut mukanya yang sudah rentah itu bahwa ia terlihat tersedat sedat dalam setiap langkah kakinya.
Meski pun umur yang terbilang sangat tua tetapi semangat kakek kaswandi di umur yang sudah tujuh puluan tetapi kobaran semangat nya selalu menyala-nyala, terlihat ia masih sanggup menjadi jasa menggarap sawah yang cukup luas, itu pun lumayan jauh dari rumah nya. Ia tidak pernah mematokan upah yang harus dibayar pemilik sawah tersebut akan tetapi para pemilik sawah biasa tidak hanya memberi upah berupa uang tetapi juga berupa bahan pangan.
Sore itu tak ku lihat kakek kaswandi melintasi lorong rumahku, aku bertanya mengapa? Meski pun aku tidak begitu dekat dengan kakek kaswandi tetapi aku selalu memperhatikan nya saat aku pulang dari kuliah dan tak jarang juga aku melihatnya di ladang. Lagi pula rumahku dan rumah kakek kaswandi masih berada dalam satu desa. Ternyata bukan hanya aku yang menanyakan keberadaan kakek kaswandi tetapi tetangga lainnya juga menanyakan kakek kaswandi, itu ku dengar sayup sayup saat aku pergi kewarung dan ibu-ibu mengatakan bahwa kakek kaswandi sedang saat sakit. Aku langsung terdiam dan berkata kakek kaswandi kan hidup sebatang kara setelah istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia tinggal di rumah sederhana diujung lorong rumahku.
Niat ku ingin menjenguk kakek kaswandi sekaligus memberi ini sarapan bubur buatan ibuku, disaat aku tepat didepan rumah kakek kaswandi terlihat seorang ibu keluar dari rumah kakek, pikirku sudah pasti ibu itu tujuan nya sama dengan ku. Perlahan ku ketuk pintu rumahnya dan terdengar suara kakek kaswandi mempersilahkan aku untuk masuk. Kulihat diatas mejah samping ranjang tempat kakek kaswandi terbaring, banyak sekali makanan yang diantar kan untuknya. Tak heran kalau begitu banyak yang peduli dengannya sebab kakek kaswandi selalu menolong apa saja yang ia bantu dan selalu baik kepada tetangga. Aku disambut dengan senyuman yang lama tak kulihat senyum itu dikala senja mulai menghilang iya itu senyum kakek kaswandi.
Setelah hari itu aku dan kakek kaswandi lebih sering mengobrol atau sekendar sapa saja, dari kakek kaswandi yang memiliki semangat sekuat baja dan berhati rendah hati dan tidak pernah berhenti nya untuk usaha melanjutkan hidup sehari-hari meski hanya lah petani tapi kakek kaswandi selalu bangga dengan pekerjaan, terbanding terbalik dengan aku yang terlalu sering kali mengelu padahal hal tersebut merupakan masalah kecil. Hari berjalan sebagai mana mestinya, kakek kaswandi masih saja membawa cangkul dan ia masih sama rama kepada semua orang, aku pun menjalani hari dengan begitu semangat menjalani hidup yang optimis, aku masih sering memanggilnya dengan panggilan kakek cangkul. Dan senyumnya dengan menjajarkan gigi ompong nya.

Comments
Loading...