education.art.culture.book&media

Kursi Tamu

Bupati akan datang. Lengkap bersama ajudan, dan beberapa bawahan yang tak kalah penting. Seumur-umur, belum pernah rumahnya kedatangan orang penting, pejabat pula. Orang paling penting yang pernah datang ke rumahnya adalah bendahara desa yang menagih iuran kematian. Ia nunggak dua tahun.

Maka pagi itu, Aminah bangun lebih subuh dari muazin kampung.  Ia bawa separuh tabungan ke pasar. Tamu agung haruslah dijamu dengan pantas. Jangan sampai memalukan, mengingat bupati ke rumahnya untuk memberikan penghargaan padanya sebagai ibu rumah tangga produktif. Apa sebab? Sepele. Ia kumpulkan limbah plastik satu kampung, dibuatnya benda macam celengan, hiasan dinding, sampai aksesoris. Tadinya, untuk memenuhi tugas sekolah anaknya tanpa keluar biaya. Mujur mengikuti, anak-anak pemalas malah mengupahnya membuatkan hal serupa, jadilah ia mendadak kreatif, dan menjual beberapa. Sang anak yang keranjingan sosial media, mengunggah video sang induk dengan kalimat hiperbol yang dengan beraninya, men-tag akun bupati setempat. Dar! Begitu saja nasibnya berubah.

Bang Tohar penjual ayam langganannya sudah mengambil dua potong sayap dan melemparnya ke timbangan, berderit bunyi pegasnya, berkarat dilumur darah dan air amis. “Seperempat kilo, kan?” Tanyanya, saat melihat Aminah datang ke tempatnya.

Bah!  Lihatlah tukang ayam congkak itu. Jika dilihatnya Aminah datang, tak pernah ditanya mau beli berapa, merasa sudah hapal isi kantong orang. Oh tidak kali ini, Aminah mengambil dua lembar seratus ribu, menghempasnya di timbangan.

“Dua ekor utuh.”

Timbangan berderit, Bang Tohar menarik dua potong sayap kurus dari timbangan, menatap lekat dua lembar uang di sana, mengingat-ingat cara membedakan uang palsu.

***

Ayam bisa jadi lewat tiap hari di depan rumahnya. Bisa jadi setiap hari meninggalkan kotoran di halaman rumahnya, terinjak, bermuara sumpah serapah. Tapi untuk mampir di meja makan, bisa jadi hanya pada hari raya dan saat tetangga wafat, atau berhajat.  Jika bukan karena perkara itu, dipaatikan ayam yang mampir dalam bentuk suwiran tipis atau tulang yang mendominasi.

Maka kedatangan bupati ini agak dicemburui oleh anak Aminah. Ia dapat peringkat satu saja, bekum tentu dihadiahi makanan selengkap ini. Tengoklah, kari ayam dengan potongan gemuk montok mengepul hangat di atas meja makan, tersaji lengkap dengan acar mentimun dan kue ketan. Terasa seperti suasana puasa pertama. Sialnya, ibunya tidak memperbolehkannya menyentuh hidangan.

“Nanti, kalau bupati sudah pulang.” Kata Aminah.

Kedatangan bupati dijadwalkan lepas ashar. Tapi hidangan sudah rapi sejak sebelum zuhur. Sajian sudah begitu lengkap dan cukup bergengsi untuk menyambut tamu sekelas beliau. Tapi masih ada yang mengganjal di hati Aminah ketika melihat ruang tamunya.

Bertahun-tahun, Aminah terbiasa menerima tamu di atas tikar anyaman. Selain karena kendala uang, ia merasa tetangga-tetangga dan kerabat yang sama melaratnya, tidak perlu dijamu dengan kursi empuk seperti sofa. Yang ada, mereka betah duduk berlama-lama, habislah persediaan kopi dan teh nya.

Tapi kali ini, lain cerita. Bupati tidak boleh duduk di atas tikar anyaman buruk itu. Yang berlubang sana sini akibar tersandung, setrika yang lupa diangkat dan tangan usil keponakan-keponakannya yang menarik satu per satu bagian tikarnya. Aduh, malu sekali kalau sampai menerima tamu sepenting itu di atas tikar. Paasti beliau tidak nyaman.

Haruskah ia membeli sofa kali ini? Dimana ia mendapatkan uang? Meminjam sofa tetangga? Aah habis ia diolok-olok nanti. Tunggu dulu, bukankah bupati hendak memberikannya hadiah? Mungkin ia bisa berhutang sofa dan membayarnya dengan santunan bupati nanti. Tidak usah yang terlalu mahal, asal pantas untuk diduduki orang sekelas pejabat. Lepas zuhur, berangkatlah Aminah ke pasar. Kali ini, untuk merayu Koh Soni, berhutang sofa.

***

Sang bupati bercermin beberapa kali, memastikan peci nya tidak miring. Berlatih tersenyum dari beberapa sudut. Rombongan sudah menunggu di luar kantornya. Beberapa wartawan panggilan sudah siap dengan kamera mahalnya. Ia minta, kunjungannua ke rumah Aminah sore ini didokumentasikan. Ia harus terlihat sangat baik. Dari penampilan, maupun karakter. Masa jabatannya hampir selesai, ia harus menciptakan sebanyak-banyaknya kesan baik untuk mempertahankan posisi. Dalam biologi, ini disebut adaptasi tingkah laku, seingat beliau.

Dirasa cukup, setelah ditemukannya senyum paling menawan, dipastikannya pakaiannya bersih dan tidak ada lipatan, dikempiskannya perut dan diusapnya peluh, berangkat ia ke lokasi.

Aminah tinggal di perkampungan. Ia tahu itu, tapi tidak menyangka bahwa jalan ke sana sangatlah sempit dan sulit. Belum lagi, mobilnya harus mengalah dengan ambulans yang sirine nya memekakkan telinga. Mobilnya menyingkir, memberikan jalan. Padahal, dirinya tak kalah pentingnya. Ia kan akan melakukan kunjungan ke warga dan memberikan santunan.

“Mobil tak bisa masuk, Pak.” Kata si sopir. Mobil si bupati mentok di gang. Hanya bisa mundur dan mungkin bisa parkir di lapangan, sementara  rumah Aminah masih harus melakui gang yang lebih kecil lagi, hanya bisa dilewati dengan jalan kaki. Ah terpaksa ia harus turun. Tidak. Ini justru bagus sekali diperlihatkan. Seorang bupati yang rela melewati jalan sempit, kumuh, becek dan kotor hanya untuk menemui warganya. Akan terlihat bagus sebagai judul artikel utama koran.

“Tidak apa-apa. Saya berjalan saja.”

Turunlah ia dari kendaraan berplat merah, didahului oleh wartawan yang sibuk menekan tombol shuter kamera. Cekrek sana. Cekrek sini. Belum sepuluh langkah berjalan, gambar yang diambil sudah ratusan.

Mendekati rumah yang kata ajudannya kediaman Aminah, suasana ramai sekali. Ia tidak menyangka bahwa sambutan warga demikian meriah terhadapnya. Pastilah mereka sudah mempersiapkan ini sejak subuh. Mendadak saja, ini jadi semakin menarik. Senyum yang sudah dilatih berjam-jam akhirnya bisa digunakan.

Tiga langkah, lima langkah, sepuluh langkah, kerumunan warga tidak menyambutnya. Kerumunan itu justru membelakangi arah datangnya, melihat sesuatu entah apa. Yang jelas, itu jauh lebih menarik daripada kedatangannya. Tiba-tiba saja, si bupati merasa jengkel.

“Cari fahu ada apa.” Serunya, nyaris membentak. Ia menatap sepatunya yang sudah separuh kuning, bercak tanah yang digulati hujan, bercampur kotoran ternak yang tidak dikandangi.

Ajudan yang tadi disuruh mencari tahu, kembali tergopoh-gopoh.  “Bu Aminah meninggal. Serangam jantung di kamar mandi. “

Si bupati dan rombongan tersentak kaget. Bagaimana bisa, pagi tadi dihubungi suara ibu-ibu itu bukan main sehat dan senangnya. Seisi rombongan saling pandang, bingung dengan kelanjutan urusan. Si bupati tak kalah bingung. Rencana yang sudah disusun sejak seminggu hancur sudah, dipermainkan takdir. Ah tidak. Ini justru bisa jadi pencitraan yang bagus sekali. Ia akan sampaikan betapa dekatnya ia dengan warga hingga kematiannya pun kut didukainya. Ia bisa tambahkan cerita bahwa ia berniat memberikan santunan dan menunjukkan betapa terkejutnya ia demgan kabar duka. Wah wah, ini akan samgat bagus untuk halaman utama surat kabar.

Ia membisikkan sesuatu kepada ajudannya, si ajudan mengangguk-angguk dan langsing mencari keluarga Aminah.

Bupati kelelahan menunggu. Bersama ajudan yang lain, ia duduki sebuah sofa tak jauh dari rumah Aminah, diletakkan di halaman entah oleh siapa, masih terbungkus plastik dan harum baunya, khas perabot baru. Mungkin seseorang tahu, bahwa bupati memang seharusnya dijamu.

 

(Tugas Kelas Menulis Daring FLP Jambi)

Comments
Loading...