education.art.culture.book&media

Air Mata Milik Ibu

Sindang adalah seorang gadis tinggal di bawah kaki bukit sulap, orang-orang menyebut sindang keturunan dari raja, anehnya orang-orang tak tahu raja yang mempunyai anak bernama Sindang. Oh atau mungkin orang-orang melihat dari paras dan pesona yang ditampilkan oleh sindang?. Bukan mungkin lagi tapi sudah pasti terlihat dari rambut hitamnya sehitam kedelai malika terurai. Tak akan ada orang-orang bisa mengalahkan indahnya bola mata Sindang, tak akan ada.

Di bawah kaki bukit Sindang tinggal bersama ibunya, bagi sindang ibunya adalah ibunya, miliknya seutuhnya. Ibu Sindang bernama Dayang cantiknya tak beda jauh dari anaknya. Di bawah kaki bukit ini nama anak dan ibu harus selaras misalnya Sindang dan Dayang selaras akhirannya. Konon jika ada salah satu keluarga yang tak selaras maka akan celakalah keluarga tersebut. Memang tak logis tapi apa hendak dikata sudah adat-istiadat.

Dayang adalah single parents suaminya meninggalkanya berlayar ke laut lepas, sudah 15 tahun sampai sekarang suaminya tak berkabar, dayang sempat menanyakan kabar suaminya lewat pos namun tak ada balasan darinya. tak habis akal lalu  Dayang tanyakan kabar suaminya lewat teman akrabnya, hasilnya pun nihil.

Sindang sejak dalam kandungang ibunya sudah tak ayahnya, tak tahu bentuk muka ayah, postur tubuh ayah, tak tahu ayahnya berkumis atau berjenggot. Kadang ia berjimasinasi bentuk tubuh ayah dari cerita ibunya, yang diceritakan setiap mau tidur dan setiap kangen Sindang sudah sampai puncak. Sindang berimajinasi bahwa tinggi tubuh ayah melebih sedikit ibunya, ia berimajinasi bahwa ayahnya mempunyai kumis yang menambah manis pada muka ayahnya. Mengenai sifat ayahnya ibunya mengatakan bahwa ayahnya humoris dan penuh akal untuk memcahkan kehinangan di rumah.

Tapi apa yang hendak dikatakan Sindang hanya bersama ibunya, kadang Sindang diam-diam menangis melihat ibunya mencari dan menyanggupi kebutuhan sindang. Ibunya tak lagi muda, ibunya kebanyakan letih daripada senang ketika seharian berjualan pempek keliling mengunakan sepeda othel peninggalan kakeknya. Kadang jika Sindang punya waktu luang tangan-tangannya memijit badan dan kaki ibunya. Waktu luang Sindang tersita oleh tugas-tugas daring dari sekolah, belum lagi kouta yang hendak dicari untuk menyangupi sekolah daring ini. Ada terpintas pikiran Sindang ingin berhenti sekolah karena sekolah daring ini menyembabkan menjadi malas dan bodoh, ditambah lagi uang jajan kouta. Tapi Sindang tak mau mengatakan ini kepada ibunya takut melukai hati kecilnya. Sindang bimbang tak kepalang.

Hari ini tanggal 22 Desember hari ibu nasional, seminggu yang lalu guru bahasa Indonesia Sindang memberikan tugas yakni membacakan puisi karya sastrawan Indonesia dari angkatan berapapun, asal puisinya bertema ibu, setelah memilih puisi tersebut dibacakan langsung di depan ibu masing-masing tenggat waktu tugasnya tanggal 22 Desember.

Sindang memilih puisi dari seorang sastrawan dan budayawan dari jogja yakni Emha Ainun Najib berjudul Bunda Air Mata. Sindang tahu sastrawan ini dari buku-buku koleksi kakeknya yang diletakkan dalam lemari khusus di sudut ruang tamu rumahnya. Sindang waktu kecil sering didongengkan oleh kakeknya karya Emha Ainun Najib. Alhasil sindang pun secara tak langsung menyukai tulisan-tulisan dari Emha Ainun Najib. Menurut sebagai siswi SMA kalimat-kalimat yang dibuat oleh Emha sejuk sekaligus religious, sederhana tapi banyak makna yang bersembunyi.

Tanpa buang waktu lagi diambilnya Hp dari hasil menabung, dihidupkannya kamera dipilihnya tulisan rec pada pojok hp. Lalu sindang menemui ibunya didapur yang lagi sibuk menyiapkan dagangan pempek.

“ Ibu, saya ada tugas dari guru membacakan puisi dihadapan ibu, mau nggak ibu menolong Sindang?” seru Sindang suara memelas

“Hmm, mau  nggak ya?” jawab ibu dengan senyum jahil,

Sindang dan ibunya sering jual beli lelucon, dan kali ini adalah salah satu lelucon antara ibu dan anak

“Ahh ibu serius, tugasnya dikumpul hari ini,bu” balas Sindang

“Ya,ya baiklah bocil cantik, dimana buat nya?, di ruang tamu?” seru ibu

Selesai menanggapi pertanyaan Sindang ibu meninggalkan adonan pempek dan mencuci tangannya

“Iya, ibu” jawab Sindang

Bunda Airmata

Kalau engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih
Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun untuk membuat Tuhan
naik pitam kepada hidupmu
Kalau Ibundamu menangis, para malaikat menjelma
butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dr airmata ibunda
membuat para malaikat itu silau dan marah
kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci
sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala
menutup pintu sorga bagimu

 

Sindang membacanya dengan penuh haru dan khusyuk, ibunya bergeming menyimak dan melihar anaknya membacakan puisi, sempat air mata ibunya jatuh tapi itulah ibu pandai sekali dalam menutupi kesedihan.

 

Biodata Penulis

Ardi Hamonangan Siregar, lahir di Lubuklinggau pada bulan November tahun 2000. Saat ini sedang menyelesaikan studinya di jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas.

Sumber gambar: https://pin.it/1qz3WWu

Comments
Loading...