education.art.culture.book&media

Bila Mencintai Dayang Tari; Sebuah Sajian Pembukaan yang Megah!

Silampari Arts Fair (SAF) 2018 berhasil menyedot perhatian masyarakat Lubuklinggau dan sekitarnya (baca artikel lengkapnya di sini), tak terkecuali sajian pembukaannya!

Pementasan karya hari pertama, tak pelak, sedikit-banyak menjadi dijadikan barometer kesuksesan parade karya-karya bermutu di dua hari berikutnya (10-11/11/2018). Teater “Bila Mencintai Dayang Tari” yang dipentaskan Teater Bennyinstitute menyedot lebih dari 200 penonton, padahal kapasitas ideal Gedung Teater Lubuklinggau yang menjadi lokasi acara adalah 120 penonton.

Samin dan Siti sedang berdebat

Naskah yang berangkat dari cerita rakyat Lubuklinggau/Musirawas/Muratara ini mengetengahkan Dayang Tari sebagai tokoh utama. Ya, Dayang Tari. Sebagai penulis dan sutradara Benny mengetengahkan mencoba perspektif lain. Menurutnya, meminjam “lidah” Mirja, salah satu tokoh dalam teater itu, nama peri “Dayang Torek”—sebagai nama asli dari peri yang silam atau Silampari—yang lebih dikenal masyarakat setempat adalah hasil plesetan yang salah atas nama yang sebenarnya: Dayang Tari. Meskipun hal ini potensial diperdebatkan, sayangnya di sesi diskusi pascapentas tidak ada yang meminta pertanggungjawaban Benny akan ini. Sayang sekali. Bagaimanapun “keberanian” Benny mencetuskan ini patut diapresiasi. Apalagi, yang tak kalah menarik, pementasan (tentang) lakon legendaris ini dibesut Benny dengan atmosfer modern—tidak seperti pementasan Silampari pada umumnya (dan sebelum-sebelumnya) yang mengambil latar dan kental dengan rasa tradisional dan tempo doeloe!

Suasana taman dan pedagang asongan

Sebagaimana mitologinya, lewat tokoh utama Mirja (pemuda yang jatuh hati pada si peri), Dayang Torek  Dayang Tari “dinformasikan” sebagai anak kedua dari Raja Biku dan Selendang Kuning setelah Subudur (anak pertama). Ia menjadi manusia pertama yang silam ke kayangan karena takdir (berdasarkan kisah Silampari). Dayang Tari merupakan putri yang paling pandai menari sehingga ja dinamakan Dayang Tari. Pada pementasan kali ini, tokoh Dayang Tari yang pada bagian akhir “ditampilkan di panggung” mengatakan bahwa ia akan turun ke Bumi dengan merasuki tubuh perempuan yang memerankan dirinya dalam pementasan yang digarap dengan sepenuh hati.

Mirja dan adik perempuannya, Ynha, yang sibuk dengan ponselnya

Teater dengan latar taman, terdapat dua kursi panjang berwarna putih, sekaligus properti pendukung seperti lampu taman, pohon, dan tong sampah, mampu mengetengahkan suasana santai yang realis. Barulah separuh pementasan ke atas, panggung “keluar dari realisme” ketika tatacahaya dimainkan dengan dinamis.

Awal cerita, Siti dan Samin sedang bercakap santai di kursi. Siti dan Samin adalah sepasang suami-istri. Samin adalah seorang dukun. Di tengah-tengah pecakapan mereka, datanglah Miranda yang berperan sebagai laki-laki dengan kemayu yang berpenampilan nyentrik dengan barang-barang branded yang melekat di badanny, persis wanita yang gemar memamerkan kekayaannya. Kemudian, panggung bertambah ramai dengan kedatangan dua pedagang asongan yang membuat nuansa panggung benar-benar menjadi taman.

Miranda yang ekspresif muncul dari arah penonton di tengah pementasan

Tak lama berselang, datanglah Mirja dan Ynha (dibaca: Ina). Mereka adalah sepasang kakak-adik yang sedang nongkrong di taman. Panggung semakin ramai, karena semua pemain telah berada di sana. Percakapan santai dimulai antar masing-masing pemain. Mereka bercerita tentang pementasan Silampari yang diadakan kemarin malam (berdasarkan naskah). Adu argumen perihal pementasan tersebut akan membuat kisah ini menuju klimaks. Namun, sebelum klimaks, aksi kocak Miranda membuat penonton benar-benar terpingkal. Meskipun, kentara sekali sosok Miranda sebagai “gimik”, namun kemunculannya penting untuk mereduksi potensi kemonotan percakapan di taman itu.

Titik letus pementasan ini adalah ketika para pemain telah “keluar” panggung dan hanya tersisa Siti dan Mirja. Mereka berdua awalnya bercakap santai. Namun tiba-tiba Mirja membuat suasana panggung berubah. Ternyata Mirja adalah seorang pemuda yang terobsesi menjadi sutradara teater, kemudian merantau ke Pulau Jawa untuk memperdalam ilum teater. Selama perantauan ia tak mengirim kabar apa pun kepada kekasihnya itu. Setelah belasan tahun, Mirja pulang ke Lubuklinggau dan dipertemukan kembali dengan Siti. Pertemuan kembali sepasang mantan kekasih di taman itu benar-benar mengharu-biru. Namun, apalah daya, Siti telah menjadi istri dari Samin.

Mirja yang keukeuh meyakinkan Siti agar berterus terang tentang siapa dia yang sebenarnya

Percekcokan Siti dan Mirja adalah klimaks teater ini. Dulu mereka adalah sepasang kekasih. Sekarang, Mirja ingin kembali merebut cinta Siti. Nasi telah menjadi bubur; cermin telah retak seribu. Siti telah benar-benar kecewa dengan sikap Mirja. Ternyata, Siti adalah Dayang Tari. Namun, tindakan Mirja malah memperkeruh keadaan, sehingga Dayang Tari mengambil keputusan untuk kembali ke kayangan. Memilih moksa! Di akhir pentas, peri itu berujar, “Kalau kau rindu, buatlah pementasan Silampari. Aku ‘kan datang. Ke dalam tubuh pemainnya” sebelum kemudian ia “keluar” dari tubuh Siti.

Siti pun menunjukkan rupa aslinya

Mirja meraung, tak dapat menerima kenyataan pahit itu.

Akhir adegan, semua pemain berada di atas panggung dan mematung. Miranda dan dua pedagang asongan berpose sesuai lakon mereka; Ynha berada di samping Mirja seolah sedang menenangkan Mirja; Siti dan Samin duduk di kursi. Suara azan bergema tak lama setelah teriakan Samin yang membangunkan Siti—kenapa magrib-magrib malah ketiduran di taman—menjadi latar suara, mengakhiri adegan. Panggung pun semakin menggelap. Pertunjukkan selesai. Tepuk tangan serta suara teriakan penonton memenuhi ruangan sebagai tanda takjub atas pementasan malam itu.

Mirja sempat “diberi angin”

Tujuh pemeran dalam teater tersebut berhasil menghipnotis penonton. Mereka adalah: Verenika (Siti/Dayang Tari), Dea Aditya (Mirja) , Yadi Milano (Samin), R.N. Sri Rati Melani (Ynha), Riki Ardi Tiyansah (Pedagang Asongan 1), Dwi Putriningsih (Pedagang Asongan 2), Arga Riviyanto (Miranda). Tentunya keberhasilan mereka pun berkat kerja-sama tim yang juga bergerak di belakang pentas. Mereka yang mendukung pentas tersebut adalah: penata artistik, Inung Linggau; lighting, Cepot Winarto; make up/wardrobe, Jhony Andreaz dan Abdi; soundman, Rendi Edo; property, Nikie RY; penata tari, Rama Wahyu Sartika; fotografer, Faruqyov; penata musik: Dede Yonas dan Saskia. Tak sia-sia dua bulan pergulatan mereka dalam persiapan dan latihan menuju malam yang dinanti itu!

Semua pelakon, kru, dan Hj. Yetti Oktarina Prana selaku Ketua Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau, berpose bersama usai pentas

Sebagaimana “aturan” SAF, pascapentas, dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dimoderatori oleh Deny Nofriansyah. Namun, sesi ini seperti kehilangan daya tariknya sebab “kembang api” itu sudah meletus dan pecah di pementasannya yang memukau. Bagi saya, tidak ada yang layak didiskusikan lagi selain karya yang berbicara, sebab ujaran Mirja yang berbunyi “Yang penting, naskah lakon ( dengan muatan) tradisional itu mentas lagi. Penting. Itu yang penting!” pada salah satu adegan teater itu rasanya lebih dari cukup untuk menjawab pro-kontra perkara kekurangan teknis “tak penting” yang menyertai pementasan “Bila Mencintai Dayang Tari” malam itu.

Terima kasih untuk Teater Bennyinstitute. Selamat untuk Lubuklinggau yang memiliki tim teater yang mumpuni. Selamat buat SAF, sungguh gelaran pembuka yang megah! Penting. Ini yang penting!***

Juli Yandika, aktif menulis daring dI UC News. Penyuka dunia kreatif dan rekan-rekannya.

Comments
Loading...