education.art.culture.book&media

Donggala dan Teman Saya di Mauritania

(Harian Sumatra Ekspress, 28-09-2018)

Dua puluh delapan September 2018. Gempa kembali melanda Tanah Air. Di Donggala. Dan Palu. Dan Mamuju. Waktu terjadinya (nyaris) sama dengan gempa Lombok dua bulan lalu. Di waktu magrib. Orang-orang tentu kalang-kabut di waktu antara itu. Perpindahan petang ke malam. Terang ke gelap.

Ketika bencana Lombok, beredar video amatir suasana salat magrib di sebuah masjid. Ketika guncangan menghebat, seorang imam bergeming di tempatnya ketika sebagian jemaahnya menghambur keluar—sebelum kemudian balik lagi (seakan-akan mereka tersadar bahwa dalam keadaan seperti itu tidak ada tempat berlindung paling baik selain rumah-Nya). Untuk menjaga keseimbangan, tangan kiri sang imam berpegangan pada dinding beton di dekatnya. Kala menyaksikannya, bulu kuduk saya merinding. Saya tak tahu. Mungkin juga tak yakin. Apakah saya bisa seberserah itu ketika berada dalam keadaan yang sama. Wong diguncang oleh gempa-gempa kecil saja, jantung saya mau copot. Terakhir saya merasakannya Agustus 2017. Ketika sedang memberikan pelatihan teater untuk para manula. Di Desa Panca Mukti. Bengkulu Tengah. Kami berhamburan keluar. Padahal kekuatan gempanya kalah jauh dari Lombok. Apalagi Donggala.

Ya, Donggala. Dan Palu. Dan Mamuju. Dan gempa berkekuatan 7,7 Magnitudo. Ternyata tsunami juga melanda tiga daerah itu. Mungkin karena kekuatan gempanya yang luar biasa besar. Saya tidak terlalu paham perihal tingkatan gempa bumi. Satuan Magnitudo (M) atau ada juga yang menyebutnya Magnitudo Lokal (ML) saja baru saya dengar ketika gempa Lombok. Tapi, hitung-hitungan saya, cara saya membandingkannya, sederhana saja. Gempa Lombok yang berkekuatan 5,1 M saja sebegitu hebatnya. Apalagi 7,7 M yang mengguncang Sulawesi Tengah!

Semua video terkait gempa itu sudah saya tonton. Menontonnya senantiasa menimbulkan perasaan “nyess“ yang dalam dan ngilu. Begitu tak ada artinya kita di hadapan-Nya. Saya membayangkan “kedatangan” bencana hebat itu seperti turbulensi hebat yang melanda pesawat. Perasaan tak-ada-yang-patut-disombongkan serta-merta datang ketika pesawat mengalami guncangan. Bayangan terburuk—pesawat jatuh atau terbakar—selalu datang tiba-tiba. Film-film tentang jatuhnya pesawat, berita tentang tak ada awak pesawat yang selamat, lintasan wajah anak-istri yang masih begitu ingin saya bersamai, dosa-dosa besar dan kecil tiba-tiba direka-ulang adegannya di depan mata, kelalaian kecil yang baru saja dilakukan sebelum terbang pun tak urung disesali habis-habisan. Doa pun dirapal lebih khusyuk. Rasanya ingin sekali kencing di celana. Begitu lampu kencangkan-sabuk-pengaman padam, Tuhan seakan-akan memberikan kehidupan yang baru. Lupa lagilah semua kesalahan. Doa pun kendor lagi. Perasaan ingin mendarat segera menguasai diri.

Itu—turbulensi pesawat—ibarat gempa yang datang sebentar. Hanya menyebabkan kepanikan. Tanpa korban luka-luka. Tanpa korban jiwa. Kalaupun ada, hanya perasaan ngeri yang singgah sebentar. Ada yang trauma setelahnya. Tapi sebagian besar, tidak. Sebagaimana perangai bangsa ini yang cepat lupa. Cepat memaafkan. Melupakan kengerian yang baru melanda sungguh mudah. Memaafkan kesokhusyukkan berdoa beberapa saat yang lalu adalah perkara biasa. Meski, sebagian, gemar pula mengungkat-ungkit kembali.

Tapi bencana ini bukan turbulensi. Bukan gempa saja. Plus tsunami. Pesawat sudah jatuh. Korban berjatuhan. Berserakan. Bangunan roboh. Air bah datang. Reruntuhan kawin dengan genangan air yang datang dari arah tak terduga. Membayangkannya tentu saya tak sanggup. Bahkan tak pantas.

Pagi ini, salah seorang rekan saya mengunggah foto pendaratannya di Mauritania. Di Bandara Internasional Nouakchott. Beberapa warganet berkomentar nyinyir. Menganggap postingannya tidak peka dengan bencana Donggala. Saya mengiriminya direct message (DM). Memintanya menanggapi sekitar 9 komentar nyinyir di postingannya itu. Tentu saja dengan emotikon bercanda. Tertawa dengan kucuran air mata. Ia membalas dengan emotikon yang sama. Lalu mengirimi saya bukti transfer senilai tujuh puluh juta rupiah. Di sana tertera nama lembaga penyalur bantuan yang kredibel. Dan waktu transfer malam tadi. “Kamu sudah memasang status berbelasungkawa atas bencana Donggala atau belum, Benn?” DM-nya kemudian. “Kalau belum, lekaslah. Sebelum cap tidak peka juga melayang padamu. Cukup saya saja yang kena.” Lalu emotikon tertawa dengan kucuran air mata itu muncul lagi. Tidak satu. Tapi tiga.

Saya tidak tahu harus berkata apa. Linimasa semua media sosial saya, sebagian besar, isinya tentang ungkapan bela sungkawa pada Donggala. Dan Palu. Dan Mamuju. Saya tiba-tiba menjadi orang asing. Yang paling tidak peka. Yang tidak ada hati. Tidak ada perasaan. pada saudara-saudara saya di sana.

Sebuah pesan masuk. Ada transferan. Tampaknya royalti atas buku “Jatuh dari Cinta” yang dirilis 7 tahun lalu. Aneh. Sudah 4 tahun saya tak pernah menerima royalti atas buku itu. Saya awalnya tidak ngeh sebelum kemudian saya tahu maksud-Nya apa. Saya saja. Dan Dia. Ya, Dia. Anda tidak berhak menafsirkannya. Atau sok tahu. Lagi pula, apa hak Anda mencampuri urusan saya?***

Benny Arnas,
Penulis. Tinggal di Lubuklinggau.

Comments
Loading...