Duta Wisata & Kelirulogi: Dere, De(g)he, atau Gadis?
GADIS, DE(G)HE, ATAU DERE?
—oleh Benny Arnas
Saya lupa kapan persisnya, tapi kalau tidak salah, sekitar pekan pertama April 2019, saya atas nama Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau diundang Dinas Pariwisata Kota Lubuklinggau, untuk membahas ajang tahunan bertajuk pemilihan duta wisata Lubuklinggau.
Saya mulanya tak paham benar agenda yang ingin dibahas. Yang saya tahu, pertemuan itu dihadiri juga Bapak Abu Nawas dari Lembaga Adat Kota Lubuklinggau, Bapak Suharyoko dari Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kota Lubuklinggau, dan perwakilan dari Diskominfo dan beberapa dinas/kantor lain yang tak saya ingat satu per satu.
Bapak Luthfi Ishak yang kala itu masih menjabat Kepala Dinas Pariwisata langsung memimpin rapat. Dari kata pengantar beliau, saya baru tahu kalau rapat ini adalah semacam curah-pendapat (brain-storming) terkait rencana perubahan nama pemilihan duta wisata, dari Bujang-Dere menjadi Bujang-De(g)he atau Bujang-Gadis (bukan Gedes atau Gedis sebagaimana yang beredar ramai di medsos). Intinya, terminologi “Dere”-nya aja yang mau diganti, bukan “Bujang”-nya. Pemicunya apa? Ini terdengar lucu bagi saya. Dinas Pariwisata seakan ‘baru’ mau membuka diri terhadap kritikan terhadap terminologi “Dere” yang selama ini dipakai lebih dari 1,5 dekade dalam ajang ini.
Bapak Abu Nawas diberi kesempatan pertama berbicara. Laki-laki 60 tahunan ini bicara to the point dan blak-blakan. Dengan nada tegas ia menyesalkan kenapa Dinas Pariwisata baru membicarakan hal ini sekarang. “Kan memang dari dulu kita semua yang orang Coel tahu kalau tidak ada kata ‘dere’ dalam bahasa Coel atau bahasa Sindang. Seharusnya sejak lama “dere” itu diubah menjadi “De(g)he atau Gadis.” Saya suka sekali mendengarkan beliau mengucapkan de(g)he. Huruf “R”-nya yang ditransliterasi menjadi “(g)h” terdengar sangat Coel. Sama seperti kita mendengar orang Coel mengucapkan kata “Beras” yang berbunyi “Be(g)has”. Yaaa kalau Anda orang Coel atau pernah/sering mendengar orang Coel ngomong R, Anda pasti paham bunyi yang diproduksi. Menurut saya R-nya mirip “Gha” dalam bahasa Arab.
Yang lain tak banyak bicara, termasuk saya. Meskipun memiliki garis keturunan Coel dari Ibu, saya tak ingin mengklaim sebagai orang Coel yang paham tentang ini. Namun, sejak lama, memang terlintas dalam benak saya, terkait kejanggalan kata “Dere” (atau bahkan “Dare”) yang dipopulerkan oleh Dinas—yang membawahi—Pariwisata lewat ajang pemilihan duta wisata dari tahun ke tahun itu. Beberapa kali saya bicara dengan orang Coel asli, mereka selalu tertawa dan heran dengan kata “Dere/Dare” yang dipopulerkan ajang itu sebagai kata ganti gadis. “Kenapa tidak de(g)he?” tanya mereka dengan polosnya.
Salah satu undangan yang sangat ditunggu-tunggu dalam rapat itu adalah Budayawan Suwandi Syam. Sayangnya beliau tidak hadir. Namun panitia menghubunginya dan pendapat beliau diperdengarkan dengan pelantang suara ponsel sehingga kami semua bisa mendengarnya. Sebagaimana tebakan saya, Pak Suwandi juga heran mengapa ada kata “Dere” dalam khazanah kebahasadaerahan Lubuklinggau. “Musirawas pun tidak memiliki kata itu!” tegas beliau. Selebihnya, sama seperti Pak Abu Nawas, beliau menyesalkan kenapa baru sekarang perubahan ini dibincangkan.
Oh ya, pengetahuan kebahasadaerahan-yang-baru yang saya dapat dari pendapat Pak Suwandi dan Pak Abu Nawas adalah perbedaaa penggunaan De(g)he dan Gadis.
Kata “de(g)he” memiliki arti perempuan yang belum menikah dengan konteks umum, kerakyatan, awam, dan universal. Sedangkan kata “Gadis” yang “i”-nya dilafalkan mirip bunyi “e” sehingga berbunyi Gades berarti sama, tapi lebih memungkinkan digunakan apabila ingin memasukkan elemen hirearkis di dalamya. Seperti Ketua Gadis, Gadis Nomer Satu, lebih berterima di telinga, daripada Ketua De(g)he atau Juara Satu De(g)he. Sungguh, saya baru tahu hal
Itu. Dan itu pengetahuan baru bagi saya—yang semoga jadi pengetahuan baru bagi kita semua setelah saya menuliskannya.
Akhirnya, atas pertimbangan itu, kata “Gadis”-lah yang dipilih untuk menggantikan kata “Dere” yang kadung salah. Selain itu, atas alasan fonologik dan fonetik, penggunaan kata “De(g)he” potensial menimbulkan ‘kesulitan’ dalam penulisan dan pelafalan.
Analisis saya, semua ini bermula dari otonomi daerah. Ketika Lubuklinggau memisahkan diri dari Musi Rawas, kota ini seperti enggan (baca: gengsi) memakai terminologi yang menjadi milik bersama. Keengganan itu ternyata juga merayap ke Dinas
—yang membawahi—Pariwisata-nya. Maka, ketika hendak mengadakan pemilihan duta wisata, dicarilah bahasa daerah (?) lain yang juga berarti gadis, tapi bukan “Dehe” yang saat itu sudah dipakai oleh Musi Rawas dengan nama lengkap “Bujang-Dehe Silampari” (kini berubah menjadi Bujang Dehe Musirawas Darussalam atau Musirawas Sempurna, saya tak terlalu mengikuti). Dan … entah siapa yang mencetuskan embrio salah-kata ini, dipilihlah kata “Dere”. Penetapan ini, bisa saja tidak melibatkan budayawan atau tetua penduduk setempat yang memahami bahasa sekaligus—sejatinya—menjadi pemilik bahasa itu sendiri.
Budaya permisivisme yang subur di masyarakat awam, membuat kesalahkaprahan ini lestari. Saya yakin, dan kabarnya memang begitu, ada budayawan atau tetua adat yang sejak lama mempersoalkan terminologi “dere” itu, tapi suara mereka tak dianggap. Hingga akhirnya generasi (lebih) muda pun menerima saja dan menganggap istilah itu benar, bahwa “dere” adalah bahasa Linggau untuk “gadis”, sementara “dehe” adalah padanan dalam bahasa Musirawas-nya. Oh, alangkah salah kaprahnya!
Saya tak ingin membahas bahasa daerah Lubuklinggau/Musirawas yang sangat beragam, yang bukan hanya bahasa Sindang (Coel), dan lain-lain, dan lain-lain. Itu kavlingan yang lain. Yang ingin saya ketengahkan adalah, kalaupun ingin dicari mulanya ini salah siapa, tentu saja yang paling bertanggungjawab akan hal ini adalah Dinas—yang membawahi—Pariwisata di masa lalu, yang juga sekaligus menanggungjawabi ajang pemilihan duta wisata tahunan ini.
Demikianlah, hikayat singkat yang bisa saya ceritakan terkait rapat perubahan nama ajang pemilihan duta wisata Kota Lubuklinggau itu. Usai rapat itu, saya sempat nyeletuk, “Apakah peristiwa bersejarah hari ini (baca: pengembalian istilah gadis ke terminologi yang sebenarnya) bisa menghapus ‘dosa’ Dinas—yang membawahi—Pariwisata selama ini sebab mereka telah ambil bagian dalam menyebarluaskan penggunaan bahasa daerah (Coel/Sindang) yang salah?”
Wallahu’alam.
Meskipun, kalau ingin kita pandang perubahan ini dengan kacamata khusnuzan, bisa saja kita nyeletuk, “Lebih baik telat, daripada kesalahkaprahan itu berlanjut sampai mati!”
Yang terang, di bawah kepemimpinan H. Lutfi Ishak, mau kita sesali bagaimanapun keterlambatan ini, mau dipicu oleh faktor-faktor eksternal apa pun semua ini akhirnya tercetuskan, beliau telah mengembalikan terminologi ini ke jalur yang benar—ya meskipun, sebagaimana saya terakan di atas: kesalahkaprahan ini domainnya dinas pariwisata di masa lalu!
Saya tak punya pretensi apa pun dengan Dinas—yang membawahi—Pariwisata lho. Apalagi awak Dinas Pariwisata yang kabarnya memiliki kepala dinas dan armada yang baru. Tentu kita berharap banyak agar banyak hal baik bisa dilakukan mereka.
Akhirnya, saya mengajak kita semua move-on ke hal yang lebih besar! Lubuklinggau sedang membutuhkan kita semua, terutama generasi mudanya, untuk ambil-bagian menyukseskan program AyoNgelongkeLubuklinggau yang akan diluncurkan pada 20 Februari 2020 atawa 0202020 istilah kerennya dan mencapai puncaknya pada 2 Februari 2222 alias 2–2-22 atau 2222 saja singkatan familiarnya. Kamu udah ngelakuin apa untuk Lubuklinggau dalam program keren itu? Sibuk memancing keributan padahal gak paham apa-apa yang kamu koar-koarkan … atau diam-diam udah nyiapin karya yang bakal buat kita semua bangga sama kamu? Kamu yang menentukan. Kamu yang memilih lho, wahai Bujang dan Deghe/Gadis Lubuklinggau!👏👏👏
Majulah terus Lubuklinggau!
Salam hangat,
BA
NB:
– kalau Anda pikir, tulisan ini berfaedah, sila share tanpa harus meminta izin.
– fotonya sengaja nggak nyambung ama konten, wong tulisan ini mejengnya di Website saya!😂