education.art.culture.book&media

Failure

“Kisah ini bermula ketika tembakan pemicu dilesatkan yang kemudian memisahkan jajaran bola sodok. Meski teknik dan tenaga yang digunakan berbeda, hasilnya akan tetap sama. Bola saling beradu, berpencar kesembarang arah, dan bola mana yang akan masuk telebih dahulu? Entahlah, yang terjadi hanyalah perang antar bola. Layaknya seseorang yang terkena tembakan pemicu, seketika hidupnya kacau dan tak tentu arah. Bahkan kebanyakan dari mereka takut untuk menghadapi perubahan besar dalam hidupnya. Begitupula denganku.”

***

Aku Raina Acacia, seorang pemimpi yang bahkan tidak layak untuk bermimpi. Dari namaku kau pasti menerka bahwa aku mencintai hujan, namun tak jarang aku membencinya, bukan karena marah dan menolak berkah dari pencipta, namun hujan sesekali membuatku hanyut dan memompa cairan bening. Ahh aku benci lemah seperti ini!

Sepintas kulirik arloji mungil dipergelanganku, sudah pukul enam sore rupanya, aroma buku dan sunyinya perpustakaan membuatku enggan beranjak dari tempat ini, seandainya rumah adalah tempat ternyaman, aku tidak akan membuat alasan untuk sekedar membolak-balikkan buku, sayangnya waktu berputar terlalu cepat. Aku mulai melangkahkan kaki, pandanganku kosong, sedang aksara menyesakkan rongga pikiran. Tak lama mobil hitam pekat tiba dihadapanku, kupercepat derap langkah meski raga enggan bertemu, semakin cepat aku melangkah, semakin cepat jantungku memompa. Kulirik sepintas wanita paruh baya bermata caramel dengan senyuman indah milikinya, wanita paruh baya yang kusebut Ibu, namun harus kuputar lebih jauh ingatan tentang Ibu, bukankah Ibu adalah orang yang paling mengerti benak anaknya tanpa harus bertanya. Hh~ aku benci senyuman itu. Senyuman manis namun mematikan, aku bisa gila dengan hanya melihat senyuman seperti itu. Tidak ada yang salah jika seorang Ibu melemparkan senyuman kepada anaknya, namun akan menjadi salah jika senyum dilemparkan untuk suatu kepentingan. Mengancam anaknya mungkin.

            “Kau akan menempati posisi pertama, kan? mereka hanya akan mengingat yang pertama. Mereka tidak akan pernah mengingat si nomor dua.”

Ah topik yang sama dengan hari-hari sebelumnya, bisakah kita membicarakan perihal topik yang berbeda? seperti menanyakan hariku? Temanku? Atau sekedar menanyakan apa menu makan malam kita hari ini? Kau ingat dengan tembakan pemicu? tembakan itu sudah dilesatkan dan kini sudah mengacaukan aksara dipikiranku, mereka tak lagi berjajar dengan rapih melainkan buyar membentur dinding pikiran hanya dengan kalimat posisi pertama, ucapan dingin dan mampu membuatku melakukan hal terbodoh dalam hidup. Namun apalahdayaku yang tak pernah bisa protes terhadap perlakuannya. Karena hidupku telah dirancang sedemikian rupa, untuk protes saja aku tidak bisa apalagi kabur dari rumah.

Langit sudah nampak hitam pekat namun aku tak dapat memejamkan mata, sedaritadi aku hanya membayangkan jalan apa yang harus kupilih. Haruskah dengan jalan pintas? atau aku harus menempuh jalan yang panjang? Akankah kedua jalan tersebut membawaku menjadi yang pertama?

***

            Hari yang baru dengan pikiran yang sama. Ucapan manis dari Ibu tak memberikan rongga untuk aku sejenak memikirkan hal lain, bahkan aku hanya berjalan lurus dan entah tujuan akhirnya dimana. Sungguh aku benci dengan situasi ini.       

 “Brukk!”

“Maaf Pak, saya tidak senggaja. Tadi saya sedang tidak fokus.”ucapku meminta maaf.  “Tidak apa-apa Rain, Bapak juga kurang memperhatikan jalan.” Ujar Pak Dio tengah kerepotan menyusun kembali barang bawaannya.  

Entah kemana perginya nuraniku. Bukannya membantu Pak Dio, justu padanganku beralih fokus pada benda kecil yang membuat mataku berbinar –Flashdisk– secepat kilat aku mengambilnya lalu meninggalkan Pak Dio yang masih kerepotan menyusun barang bawaanya. Apakah ini jalan yang diberikan untuk mengambil posisi pertama? Apakah jalan pintas yang harus aku ambil? Ini jalan yang salah, Rain. Tapi bayangan Ibu mengalahkan akal sehatku.  Aku mulai membuka file dan benar ada draft yang berisikan soal ujian, dengan tangan yang bergetar aku berhasil menyalin draf tersebut. Entah setan apa yang meracuni pikiranku akibat degub jantung yang begitu mengganggu, tanpa sengaja aku menjatuhkan flashdisk kedalam tas seseorang yang kini dituduh pencuri.

Mentari, sih cerdas yang berhasil membuatku tetap diposisi kedua, hal itu juga yang membuatku dikelilingi rasa muak akibat desakan Ibu dan teman-teman yang meng-claim bahwa aku tidak dapat mengambil posisinya. Aku tahu aku salah, namun Mentari pasti bisa menghadapi ini, dia lebih kuat daripadaku. Mungkin jika nanti ia mengetahui yang sebenarnya, dia akan memaafkanku.

Namun yang salah tetaplah salah, Mentari tidak mau namanya hancur namun ia juga tidak ingin membuatku hancur. Ia sudah mengetahui bahwa akulah yang salah dan ia juga sudah tahu apa latarbelakang aku melakukan itu. Hal ini terjadi ketika Mentari memergoki aku tengah menangis, lemah sekali bukan? Aku menangis bukan karena rasa bersalahku melainkan karena Ibu mendukung jalan pintasku. Ya.. Ibuku sudah tahu bahwa akulah dalang dari semua ini, bukannya memarahiku justru Ibu berucap. “Kau tidak melakukan kesalahan, kau akan baik-baik saja ketika kau tidak membuka mulutmu.” Bukan umpatan atau sumpah serapah yang Mentari lontarkan kepadaku melainkan hanya secarik pesan yang membuatku dihantui rasa bersalah.

“Kau tau, tak ada jalan pintas dalam meraih mimpi, kau harus melewatinya meskipun terkadang kau terjatuh dan tak tahu arah. Tanyakanlah pada hatimu, karena ketika tak ada lagi seseorang yang kau percaya maka percayakanlah kepada Tuhan dan hatimu, karena Tuhan akan menjawab melalui hatimu. Semua belum terlambat, karena hidup terus berjalan sampai Tuhan katakan ini saatnya kau pulang.”

Hancur, satu kata yang dapat mendeskripsikanku saat ini. Badanku bak ditusuk dengan benda tajam, sakit namun aku terlalu lelah untuk menikmati rasa sakit itu. Aku terdiam membayangkan impianku yang menjadi tak jelas, aku kehilangan pegangan. Meskipun aku ingin memberikan semuanya, dan mulai lagi bergerak dengan hati-hati, tetap saja aku tak mampu memutar waktu. Jangan bilang mimpiku akan berakhir seperti ini? Aku melangkah gontai dalam bayang-bayang seseorang. Memikirkannya tanpa tahu harus berbuat apa, sesekali aku terjatuh dan berusaha bangkit lagi. Sebuah ucapan manis sang rival yang telah kuhancurkan berputar-putar dikepalaku.

Aku berusaha mengikuti hatiku dan aku menemukan jawabannya. Menghacurkan mimpi orang lain demi membangun mimpiku merupakan hal terendah bahkan lebih rendah dari sampah. Aku memantapkan langkahku, menyambut datangnya mentari, dan aku akan bergerak maju dengan hati-hati seperti hari ini, dipenuhi dengan kegembiraan bahkan terkadang ketakutan. Bahkan jika aku tersandung dan terjatuh, aku masih akan bergerak maju satu langkah, setidaknya ada hati yang berpihak padaku. Jangan takut terjatuh lagi karena hidup terus berjalan…

 

BIODATA PENULIS 

Putri Sanda Agustina, merupakan putri dari pasangan Damawi dan Susanti, lahir di Lubuklinggau, pada tanggal 22 Agustus 1999. Merupakan seorang gadis pecinta hujan yang memiiliki segudang mimpi, seorang perempuan bumi yang memiliki mimpi terbang kelangit yang luas, Putri Sanda Agustina kini tengah menempuh studi nya di perguruan tinggi swasta yang ada di kota nya, STKIP PGRI Lubuklinggau, pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Putri Sanda Agustina mulai menulis pada usia 14 tahun, keinginan nya menulis berawal dari hobi nya membaca cerbung di sebuah fanspage, pada saat itulah ia mulai tertarik dalam bidang kepenulisan terutama cerpen dan cerbung. Putri pernah ikut serta dalam kelas kepenulisan Linggau Writing Class angkatan ke-3, forum lingkar pena Lubuklinggau, Benny Institute Writing Class dan ikut serta menulis dalam buku antologi pertamanya yang digarap oleh Benny Arnas dan kawan-kawan buku antologi yang berjudul “Tuhan Tahu dan Tidak Menunggu.” Dan Antologi keduanya “Aku” bersama Rose Book. Putri selalu menanamkan pada dirinya sendiri bahwa tidak ada yang namanya mimpi konyol, semua mimpi bisa kau raih asalkan kau selalu berusaha dan selalu berdo’a pada sang pencipta, dan satuhal yang ia selalu percaya bahwa “Tidak ada pelangi sebelum hujan.”

Comments
Loading...