education.art.culture.book&media

GASPER

Air terjun Lumoli 

(Hari ke-2 di Seram Bagian Barat)

Dua belas April 2018, saya baru bisa lelap pukul 4 dini hari sehingga harus memulai residensi hari kedua dengan sedikit kesiangan. Saya salat subuh ketika menu sarapan di lobi belakang Hotel Amboina sudah tersaji. Roti lapis bakar mentega isi mesis ditemani secangkir teh manis jambu menjadi teman menyunting jurnal hari pertama residensi.

Lobi belakang Hotel Amboina tempat sarapan disajikan

Sesuai agenda yang disusun tim pendamping, kami akan bersilaturahim ke kantor bupati, bagian humas, dinas pendidikan dan kebudayaan, dan dinas pariwisata setempat. Bu Martha yang sedang sarapan di lobi belakang meminta saya mengganti celana joger dengan celana panjang formal.

“Atasanmu nggak masalah,” katanya ketika saya menunjuk kemeja krem muda yang lengannya saya lipat hingga ke siku.

Mengingat para pendamping saya orangnya asyik plus saya memang sedang malas berdebat, dengan senang hati saya kembali ke kamar. Saya hanya butuh lima menit untuk keluar kamar dengan jins biru dongker dan batik merah hati. Saya tak membawa pantofel, jadi tetap mengenakan sepatu kets bertumit kombinasi warna hitam dan abu-abu yang kasual.

“Good!” Bu Sastri mengacungkan jempol. “Don’t worry! Untuk kunjungan pemerintahanlah batikmu itu kamu pakai. Besok-besok kamu sudah bebas!” Ia seolah memahami ketidaknyamanan saya beraktivitas dengan setelan formal.

Di kantor pemerintahan Kabupaten SBB, bupati dan wakilnya tidak bisa menerima kami karena ada agenda yang tak bisa mereka wakilkan. Bapak Gasper (asisten 1) dan Bapak Ampi (asisten 3) pemda kabupaten SBB menerima kami di sebuah ruangan di lantai dua. Setelah kami memperkenalkan diri dan tim pendamping menerangkan apa yang akan saya lakukan di SBB, mereka menyatakan siap membantu.

Pak Gasper (baju biru) tandas menguraikan cerita demi cerita terkait SBB.

Bapak Gasper bahkan menghubungi ketiga instansi yang akan kami kunjungi hari ini agar memfasilitasi kebutuhan kami. Ternyata ia tidak sekadar menjalankan standard of prosedure (SOP) pelayanan pada tamu. Ia melakukannya karena memandang program Sastrawan Berkarya di pulau tempatnya tinggal sebagai kehormatan bagi SBB. Ya, Pak Gasper lalu bercerita panjang lebar tentang sejarah, legenda, mitos, kebudayaan, kearifan lokal, hingga sumber daya alam SBB.

Ia tiba-tiba menjelma mejadi tukang cerita.

Meskipun di tengah ceritaia memberitahu kalau dirinya dulunya adalah guru sejarah, saya tetap kagum dengan kefasihannya menguasai a sampai z terkait SBB. Sementara Pak Ampi, seperti memberi ruang penuh kepada rekannya, tekun mencatat sejumlah highlight, baik yang berasal dari penyataan kami, maupun cerita Pak Gasper. Laki-laki berkulit gelap dari suku Wimale itu seperti sedang menunjukkan, berkhidmat dengan pekerjaan itu memiliki banyak cara. Salah satunya dengan menjadi penyimak yang baik. Padahal, bisa saja, ia menguasai banyak cerita sebagaimana rekannya. Orang Timur ternyata bukan hanya tak suka basa-basi. Mereka juga tak suka menonjolkan diri untuk alasan-alasan yang tidak penting.

Saya membuat semacam resume atas bentangan cerita Pak Gasper. Ya, dari laki-laki bersuku Alune itu saya menangguk banyak pengetahuan terkait SBB dan sebagai pengarang yang baik hati nan dermawan tentu saya takkan menyimpannya sendiri.

1. Nusa Ina

Tersebutlah sebuah daerah bernama Nunusaku yang memiliki arti Pohon Beringin. Dalam hikayat ia terserla sebagai pusat Pulau Seram.

Dari Nunusaku, nenek moyang pertama orang Maluku turun di tiga batang air (sungai): Tala, Eti, dan Sapalewa. Kedudukan ketiga kelompok budaya (Pak Gasper menolak menyebutnya “suku”) di Seram ini, hingga hari ini, hidup bersama tanpa harus ada yang dikalahkan dan mengalah.

Sungai Eti yang dangkal di menjelang senja

Dalam sejumlah perhelatan majelis adat, ketiga kelompok budaya ini berdiri sama tinggi. Tidak ada yang menjadi pemimpin, sebagaimana tak ada yang dipimpin. Ini menarik sekali! Meskipun begitu, kultur ini tidak menyebabkan mereka harus menyalakan perang saudara. Harga diri dan kehidupan yang rukun, bagi mereka, adalah dua urusan yang berbeda, sehingga semua bisa terus berjalan tanpa harus ada yang dikorbankan.

Nusa Ina atau Pulau Ibu adalah julukan yang orang-orang Maluku (dan Maluku Utara) sematkan pada Pulau Seram. Pulau Seram adalah rahimnya orang-orang Maluku. Tiba-tiba saya merasa beruntung sekali ‘dilempar’ ke timur negeri ini.

2. Nenek Luhu dan Hujan Panas

Masyarakat Seram mengenal cerita rakyat yang lestari dari generasi ke generasi. Nenek Luhu. Cerita ini berasal dari kerajaan tua di Maluku: Huamual.

“Bupati SBB berasal dari sini,” Pak Gasper seperti memberi garis bawah pada nama Huamual.

Nenek Luhu digambarkan sebagai wanita tua yang mengenakan kebaya Maluku yang sebelah kakinya adalah kaki kuda. Orang-orang percaya Nenek Luhu ini akan keluar ketika hujan panas. Apakah Nenek Luhu ini dikhawatirkan akan menculik atau membawa anak-anak itu ke suatu tempat yang jauh atau tak kasat mata? Kita bisa menjawabnya sendiri. Tampilan tak lazim, bahkan cenderung menyeramkan, dari seorang perempuan uzur ternyata kuasa menumbuhkan prasangka buruk terhadap dirinya (Oh, alangkah kejamnya usia dan ketaklaziman!)

“Padahal,” nada Pak Gasper seperti hendak membuka kejutan, “Nenek Luhu dulunya adalah gadis yang jelita. Pemerkosaan yang menimpanya membuat riwayat hidupnya berbelok tanpa bisa ia kendalikan. Ia berjalan kaki jauh sekali melintasi lautan ke daratan Ambon dengan mengenakan capeo, penutup kepala semacam topi. Ia tak sanggup menanggung malu; menjadi gadis berperut besar di kampungnya. Dalam kesedihan yang sangat, tanpa disadari, topi yang ia kenakan jatuh dan menjadi batu di sebuah daerah yang hingga kini dikenal dengan nama masyarakat Maluku dengan nama Batu Capeo.

Ternyata ratapan seorang nona terhadap nasib yang tak diinginkan didengar langit. Ketika menunggangi kuda melintasi sebuah gunung–yang hari ini kita kenal dengan nama Gunung Nona di Ambon–Nenek Luhu Muda menginginkan jati dirinya tak dikenal orang-orang. Tengah hari yang jahanam, hujan turun deras disertai halilintar dengan gema guruh yang terdengar lebih mengerikan dari biasa. Nenek Luhu Muda mendapati sebelah kakinya menjadi kaki kuda!

3. Orang-orang Kaibobo

Kaiboo, sebuah daerah di SBB, masyhur dalam mitos yang terus lestari hingga hari ini. Mulanya, Kaibobo adalah kampung muslim. Sebagian besar penduduknya beternak kambing dalam jumlah tak tepermanai. Namun karena satu dan lain hal, muslim-muslim itu meninggalkan Kaibobo dan digantikan oleh orang-orang Kristiani. Kambing-kambing itu disihir menjadi sekawanan babi.

Hingga hari ini, babi-babi hidup dan beranak-pinak di Kaibobo. “Binatang-binatang itu tak perlu dikandangkan, tidak pula memerlukan perlakuan khusus dalam pemeliharaannya,” ujar Pak Gaper. “Namun tak begitu halnya apabila mereka hendak beternak kambing. Seakan-akan ada kutukan yang mengiringi. Ada-ada saja peyakit yang menyerang kambing yang mereka ternakkan. Hingga hari ini, orang-orang asli Kaibobo tidak memelihara kambing!”

4. Salak Merah

Meskipun informasi yang diketengahkan oleh Pak Gasper bahwa selain cengkeh, pala, kopra, dan minyak kayu putih, SBB juga menghasilkan gula aren dengan mutu terbaik, menambah kegembiraan saya sebagai penulis yang ditempatkan di SBB, namun kenyataan lain bahwa Seram juga terkenal dengan sopi (tuak dari gula aren) membuat saya makin penasaran.

Gula Aren yang dijual di Pasar Piru berbungkus daun nira

Namun belum sempat saya mengutarakan ketertarikan, Pak Gasper menjelaskan sejumlah hal yang mengayakan pengetahuan saya tentang sumber daya alam Seram, khususnya SBB.

– Semua hasil alam di atas tidak ditanam dan dipanen sebagaimana perkebunan modern, sebagaimana kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatra, melainkan sudah tumbuh alami dan liar di Seram. Penduduk memanennya dengan ritual kesyukuran yang riuh dan menguar aroma kegembiraan. Memang, sepanjang perjalanan menuju kantor DPRD Kabupaten SBB kemarin, kami melihat pohon-pohon kayu putih yang tumbuh dalam jarak yang tidak teratur di dataran-dataran tinggi yang kami lewati.

– Sopi akan hadir dalam sejumlah acara adat. Pak Gasper menyarankan saya mencicipinya apabila berada dalam acara itu sebagai bentuk penghormatan. “Hanya mencicipinya saja, tidak sampai mabuk!” tegasnya dengan senyum tersungging. “Bagaimanapun sopi sebenarnya minuman keras yang peredarannya tentu dilarang negara, namun di SBB, kenyataan justru bicara lain; sopi adalah sebuah identitas kebudayaan. “Meskipun banyak orang mabuk karena sopi menyebabkan perkelahian dan keributan,” imbuhnya. Kali ini nada suaranya terdengar menyayangkan.

– Tidak banyak yang tahu kalau di Kecamatan Taniwel, tumbuh salak merah. Salak yang dagingnya berwarna merah. Ketika kami menanyakan apa yang membedakan salak merah dengan salak pada umumnya, Pak Gasper menggeleng. “Tidak ada. Kulit dan rasanya persis seperti salak pada umumnya. Hanya dagingnya saja yang berwarna merah!” jelasnya. Meskipun begitu, di telinga saya, salak merah sungguh seksi sebagai komoditas alam sekaligus kebudayaan. Selain sopi, saya juga penasaran dengan buah ini. Masih banyak waktu untuk bertualang.

– April ini, SBB sedang dibanjiri buahan. Durian, manggis, rambutan, dan langsat berbuah dan masak di waktu yang bersamaan. Jadi di pasar, keempat buahan ini dengan mudah ditemukan. Tentu saja dengan harga sangat murah.

Pak Gasper, bagi saya, seperti pembuka gerbang yang menyilakan saya mengeksplorasi cerita-ceritanya dengan saksama. Saya seperti deja vu. Teringat bagaimana sejak 2009 saya menekuni cerita rakyat tanah kelahiran saya–Bujang Kurap, Dayang Torek, dll.–hingga cerita-cerita itu khatam sebagai bahan utama bagi karya-karya yang saya tulis-terbitkan, baik di surat kabar, maupun dalam sebuah buku.

Kegembiraan saya mendapatkan harta karun kebudayaan itu rupanya belum diperkenankan berakhir. Sepamit dari Pak Ampi dan Pak Gasper, kami diterima Pak Josep, kepala bagian Humas Pemda SBB. Mendengar visinya dalam membangun SBB, khususnya dalam hal city-branding, aroma kecerdasan menguar semerbak dari dirinya. Di ruangannya, saya dikenalkan dengan Remon, laki-laki 45 tahun berperawakan keras namun berpembawaan kalem. Bang Remon–begitu saya memanggilnya–akan menjadi teman bertualang saya di SBB. Klik! Saya langsung merasa cocok dengan laki-laki plontos itu. Ah, semoga memang begitu.

Bersama Bang Remon Manuputty

Usai sowan ke kepala dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten SBB, perut kami mulai bersuara. Kami mengajak Bang Remon turut serta ke dalam mobil.

“Kita cari ikan bakar, Pak. Bapak tahu tempatnya, ‘kan?” todong Bu Sastri begitu laki-laki bermarga Manuputty itu sudah duduk di sebelah Zulfan yang memegang kemudi.

Bang Remon mengangguk dan menyebut nama suatu tempat seraya mengarahkan telunjuknya untuk Zulfan ikuti arahnya.

Tak sampai sepuluh menit, kami tiba di Rumah Makan Anda di tepi jalan Trans Seram. Tampilan luar rumah makan ini seperti rumah pada umumnya. Kalau tidak ditunjukkan Bang Remon, kami tidak akan mengenalinya sebagai rumah makan.

Kami memilih sendiri ikan-ikan laut dalam sebuah boks yang diisi bongkahan es. Setengah jam kemudian, lima piring ikan bakar yang ditemani sepiring colo-colo (kuah asam yang ditambahkan cabe rawit merah yang berukuran besar) dan satu mangkuk besar ikan kuah asam sudah terhidang di depan kami.

colo-colo

Ketika mengikuti residensi Seniman Mengajar di Bengkulu tahun lalu, saya juga kerap melahap menu ikan bakar di rumah makan yang banyak terdapat di pinggir pantai, namun ikan laut yang disajikan di Rumah Makan Anda benar-benar terasa lain.

Awalnya saya mengira ikan kuah asam yang dihidangkan adalah versi lain dari pindang ikan yang kerap dimasak istri di rumah. Ternyata tidak. Jauh sekali berbeda. Bahkan sebenarnya lebih mirip tom yam, namun ikan kuah asam ini terasa lebih segar.

Lain lagi dengan ikan bakarnya. Sebenarnya bumbunya terasa sebagaimana biasanya ikan bakar, namun ketika cara memakannya dengan mencocol dagingnya dengan colo-colo, rasanya bikin saya merem-melek. Colo-colo dengan rasa asam yang segar memberikan sensasi pedas yang lain ketika cabe rawit merahnya saya pecahkan dengan ujung jari sehingga biji-bijinya menggenang dalam kuah asamnya memberikan sensasi asing di lidah namun tak kuasa saya tolak.

Ikan kuah asam (tengah), ikan bakar, dan colo-colo (dua piring kecil yang mengapit tumis bunga pepaya)

Maka, ketika kami berencana mengakhiri hari kedua ini dengan melakukan perjalanan ke air terjun di daerah Lumoli, tanda-tanda kesempurnaan hari ini makin menyodok kepala saya! Tersenyum lebarlah saya.

Lubang memanjang di tengah jalan berkerikil membuat kami tidak bisa melanjutkan perjalanan dengan mobil

Mobil kami tidak bisa melanjutkan perjalanan karena terdapat lobang memanjang di tengah jalan berkerikil. Terpaksa kami harus berjalan kaki naik-turun tebing sejauh 3 kilometer. Belum 200 meter kami berjalan, gerimis turun. Tapi kami tak mungkin kembali. Sekali layar terbentang, kapal pantang putar balik. Apalagi di tebing pertama yang kami daki, seorang mama–begitu perempuan paruh baya di sini biasa disapa–memberikan kami satu keresek rambutan cuma-cuma. Oh, alangkah baiknya. Ketika saya meminta berfoto bersama, mama justru bilang “Danke!” alias ucapan terimakasih dalam bahasa Jerman. Meskipun kemudian kami baru menyadari kalau bahasa Ambon juga menggunakan kata yang sama untuk mengekspresikan hal yang sama. Yang berbeda, Ambon menambahkan “g” setelah huruf “n” alias “Dangke”.

Bertemu mama yang pemurah. “Dangke, Mama!”

Kami makin bersemangat melanjutkan perjalanan.

Sekitar 30 menit kemudian, ketika suara gemericik air terjun menabuh gendang telinga kami, perasaan gembira dan yak sabaran meriap-riap di dada. Sayang sekali, tidak satu pun dari kami yang menyiapkan pakaian ganti, sehingga kami hanya bisa mengambil foto dan video.

Mengkhidmati keindahan air terjun Lumoli

Air terjun Lumoli adalah air terjun delapan tingkat, meskipun yang lumayan tinggi hanya berjumlah empat undak.

Di area air terjun, terdapat tangga semen dan jembatan kayu yang memudahkan pengunjung untuk berpindah dari satu sudut ke sudut yang lain. Tentu saja kami girangnya minta ampun. Apalagi, tidak ada pengunjung lain kecuali kami berlima!

Menyadari hari sudah mendekati pukul 16.30 WIT, kami memutuskan pulang.

Mobil kami kesulitan putar balik di jalanan mendaki yang berkerikil. Hampir 30 menit kami habiskan untuk mendorong dan menahan mobil sampai akhirinya Zulfan bisa mengendalikan Xenia-nya sehingga bisa kembali menaklukkan jalan menanjak.

Tidak apa. Ini tidak ada apa-apanya dibanding keindahan yang baru saja dihadiahkan kepada kami. Thank you, Lumoli!

Di Hotel Amboina, saya tak sabar ingin menuangkan semuanya dalam jurnal hari kedua. Dan saya baru saja melakukannya. Semoga berkenan. Semoga hari esok lebih banyak menyimpan kejutan. Yang akan membuat saya makin bangga menjadi Indonesia, memiliki Timur yang indah tak terlukiskan.

Memiliki Pulau Seram!*

Hotel Amboina, 12 April 2018.

Comments
Loading...