education.art.culture.book&media

Hamsad dan Bulan Celurit Api

“7 dari 10 endorser tidak membaca (tuntas) naskah yang mereka puji di sampul buku!”

Saya lupa siapa yang pertama kali mengungkapkan fenomena tak sehat di atas. Namun sempat membuat saya tercenung agak lama. Saya pernah protes kepada beberapa penulis—yang tak saya ragukan lagi mutu karyanya—yang memberi pujan berlebihan pada karya yang buruk sekali dan ia secara tidak langsung menyatakan kalau ia sebenarnya 1 dari 7 orang dalam kutipan itu!

Terkait endorsment ini, saya punya pengalaman menarik. Kali ini terkait buku “Bulan Celurit Api” dan Hamsad Rangkuti yang baru saja meninggalkan kita di dunia yang fana ini.

Selain Putu Wijaya, Hanna Fransisca, dan Avianti Armand yang membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga pekan untuk membaca tuntas draf buku yang disunting Kurnia Effendi dan Damhuri Muhammad itu sebelum memberikan endorsment mereka, Hamsad Rangkuti punya cerita yang berbeda.

Awal Juni 2010, saya mengirimkan draf “Bulan Celurit Api” kepada para calon endorser. Saya menyebutnya “calon” sebab saya tak memaksa mereka memberikannya apabila mereka tak menyukai 13 cerpen dalam draf itu. Di waktu yang sama saya mengirim SMS kepada Pak Hamsad Rangkuti. Saya bermaksud mengirimkan draf kumpulan cerpen itu via posel kepadanya. Harapan saya, kalau beliau menyukai cerpen-cerpen yang akan dibukukan Koekoesan itu, beliau akan bersedia memberikan endorsment, kalau tidak, ya tidak apa-apa.

“Kita sempat berjumpa setahun lalu di Temu Sastrawan Indonesia di Pangkalpinang.” Saya mencoba memancing ingatannya. “Tentu ingat. Saya baca ‘Bujang Kurap’-mu di Kompas,” balasnya beberapa menit kemudian. Tentu saja perasaan saya langsung bungah. Lalu ia meminta waktu untuk membaca cerpen-cerpen saya. Ia juga mengatakan kalau ia mungkin akan butuh waktu agak lama sebab ia sedang sakit (kalau tidak salah, saat itu kelenjar prostatnya sedang bermasalah). Tentu saja saya mengatakan siap menunggu, meskipun saya tidak bisa berharap banyak terkait kesehatan beliau yang sedang bermasalah.

Akhir Juni 2010, endorsment sudah terkumpul. Hamdallah, semuanya bersedia memberikan endorsment, kecuali Bapak Rangkuti yang tak berkabar. Saya pun tak menagihnya. Saya pikir, keadaannya yang kurang sehat membuat ia tak bisa berkonsentrasi membaca. Namun, sekitar dua bulan kemudian alias tiga bulan setelah saya mengirimkan draf buku tersebut kepada Pak Hamsad, sebuah kalimat pujian-nan-dahsyat mampir di kotak pesan ponsel saya. Saya awalnya agak bingung sebelum kemudian nama pengirim mengingatkan saya pada draf “Bulan Celurit Api” yang akan naik cetak dua pekan lagi. Yang membuat saya ‘melayang’ bukan saja kalimat pujiannya atas “Bulan Celurit Api”, melainkan lebih pada SMS-nya yang datang kemudian. “Maaf, telat. Saya baru rampung membaca semua cerpenmu kemarin. ‘Perkawinan tanpa Kelamin’ harus saya baca berulang-ulang.” Saya terdiam cukup lama. Saya tersanjung ia membaca karya saya di masa pengobatannya, sebelum kemudian saya katakan apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikannya. Beliau mengirimkan nomor rekening dengan mengimbuhinya sebuah kalimat, “Ringankanlah beban istri yang mengurus saya, Ananda.” Saya mengerti. Saya suka gaya apa-adanya beliau.

Komentar Pak Rangkuti sendiri akhirnya tercetak di sampul muka buku yang pada tahun 2013 lalu beroleh penghargaan Kumpulan Cerpen Terpuji dari Forum Lingkar Pena Pusat.

Beberapa tahun kemudian, saya lupa kapan persisnya, ia sempat mengirimi saya SMS dengan nomor ponsel yang lain (mungkin nomornya yang tak aktif lagi). Ia mengabarkan kesehatannya yang masih bermasalah. Saya tahu apa yang ia perlukan dan apa yang harus saya lakukan. Karena nomor rekeningnya tak saya simpan, saya menanyakannya kembali. Ia justru membalas, “Saya baca ulang cerpen ‘Malam Rajam’ dan ‘Percakapan Pengantin’ di buku yang ananda kirimkan beberapa tahun lalu. Saya seperti baru membacanya. Mungkin saya lupa dan sudah tua. Tapi bisa saja itu tandanya kalau keduanya adalah cerpen yang baik.” Saya ucapkan terima kasih, lagi dan lagi, karena saya merasa sangat tersanjung, sebelum kemudian saya menanyakan kembali nomor rekeningnya dan hingga kini tak dibalas-balasnya. Tujuh-delapan tahun kemudian saya baru mendapatkannya ketika nomor rekening istrinya beredar dalam sebuah maklumat terkait kesehatannya yang makin memburuk.

Hamsad Rangkuti memang sudah pergi, tapi ia meninggalkan pelajaran tentang dedikasi pada sastra. Bukan hanya perihal berkarya, tapi juga tentang kebertanggungjawabannya dalam mengapresiasi karya sastra. Ia membaca sebuah karya, paling tidak draf buku saya kala itu, dengan saksama sebelum memberikan pandangannya.

Terima kasih, Pak Hamsad, telah menjadi bagian dari ‘perjuangan saya’ merilis salah satu buku yang sangat penting dalam proses kreatif saya dalam bersastra.

Selamat jalan, Pak Rangkuti.
Damailah di gulistan.

Lubuklinggau, 26-27 Agustus 2018

Comments
Loading...