education.art.culture.book&media

Kelas Aksara Ulu

Aksara Ulu merupakan huruf yang berkembang pada abad ke-13 di wilayah Sumatra Selatan, terutama di bagian hulu Sungai Musi. Aksara ini sejenis huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta. Aksara Ulu merupakan nama lain Aksara Rencong yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia, termasuk digunakan oleh masyarakat Bugis. Tiap daerah di Sumsel ternyata memiliki kekhassan Aksara Ulu masing-masing. Apabila Aksara Palawa biasa juga dikenal Ha-Na-Ca-Ra-Ka, Aksara Ulu disebut Ka-Ga-Nga atau Ke-Ge-Nge. Penyebutan ini diambil dari abjad-abjad awal dalam urutan aksara ini.

Awalnya kelas kecil yang diinisiasi bennyinstitute ini dibuka dengan ragu-ragu. Salah satu bentuk “keragu-raguan” itu adalah maklumat kelas ini dibuat alakadarnya, saya tidak meminta fasilitator IT untuk mendesain flyer khusus sebagaimatcna biasa. Kelas pun hanya dibuka untuk 10 orang! Itu pun hanya diperuntukkan untuk internal alias fasilitator bennyinstitute yang berminat saja. Kami mengenakan iuran 50k untuk konsumsi, fotokopi makalah, operasional kelas, dan tentu saja untuk uang lelah pengajar kami nanti, Berlian Susetyo, mantan ketua Komunitas Pencinta Sejarah Bumi Silampari, yang masih berstatus mahasiswa.

Ndilala, sampai h+2 penyebaran maklumat, hanya dua fasilitator yang menunjukkan minat. Saya pun melempar maklumat ini ke publik. Ternyata sambutannya luar biasa. Dalam satu hari, kuota 10 orang langsung penuh, bahkan kami harus menolak 18 pendaftar. Entah terpengaruh oleh antusiasme ‘orang luar’ atau memang ‘lambat panas’, menyusullah 5 fasilitator mendaftar. Sebagaimana rencana semula, saya dan istri memang akan bergabung di kelas ini dan kami pun ikut iuran sebagaimana yang lain.

Fixed, 17 orang! 18 orang termasuk pemateri.

Saya sebenarnya mengkhawatirkan kapasitas ruang multimedia kami yang mungil, yang menurut saya idealnya hanya diisi 12 orang. Tapi alhamdulillah, ternyata ruangan itu masih muat. Desy Shofyan, PIC kelas ini, menyiasatinya dengan menyalakan pendingin satu jam sebelum kelas dimulai sehingga ruangan sudah sejuk ketika kelas dimulai.

Ternyata, mempelajari aksara daerah itu mengasyikkan. Kami semua sepakat kalau sebenarnya cara mengaplikasikan aksara ini (baca: menggabungkannya menjadi kata/kalimat) relatif mudah. Gampang-gampang susah, istilahnya. Sangat tergantung dari keseriusan dan ketekunan kami mempelajari dan melatihnya terus-menerus.

Kelas yang kami rencanakan berlangsung tiap Ahad sebanyak tiga kali pertemuan ini (16, 23, & 30 September 2018), pekan depan akan berakhir. Dua kali pertemuan yang sudah kami lewati, selalu berlangsung seru! Dalam hitungan hari, kami akan menyongsong ‘semacam ujian’ sekaligus mendapatkan sertifikat pelatihan. Kami semua sepakat, kelas ini akan kami tindaklanjuti dengan pertemuan intens, mungkin akan membuat (semacam) komunitas atau perkumpulan yang bertujuan untuk terus mempertajam kemampuan dan kecintaan kami pada piranti bahasa tradisional.

Sebagai tindaklanjut jangka pendek, kami menugasi diri sendiri untuk membuat replika tulisan Ulu di bambu untuk dipamerkan di Silampari Arts Festival awal November nanti. Mohon doanya. Agar kami tak bosan, agar kami kuat mengatasi godaan untuk mengabaikan urusan yang selintas lalu tak ada hubungannya dengan perkara pokok kehidupan hari ini.

Lubuklinggau, 24 September 2018

Comments
Loading...