education.art.culture.book&media

LA TUDJUH

 

Berfoto La Tudjuh dan istrinya sebelum pamit

(Catatan hari ke-7 & 8 di Seram Bagian Barat)

Saya tidak mengerti mengapa hal ini jamak terjadi ketika saya tengah berburu hikayat di pelbagai daerah: tukang hikayat atau tetua kampung atau pemuka adat seperti susah sekali membagikan kisah-kisah terkait lokalitas yang mereka tahu, seakan-akan saya hendak mencuri ‘harta-karun’ mereka lalu menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi.

Saya ingat, ketika pertama kali bertemu keluarga (alm) Tose, pegiat cerita rakyat di Lubuklinggau. Salah seorang anggota keluarganya bilang kalau Silampari, salah satu cerita rakyat di Musirawas-Lubuklinggau, tidak boleh diturunkan kepada siapa pun sebab Si Putri akan murka. Ketika saya bertemu dengan tua-tua Negeri Hualoy, keadaan yang sama kembali saya temui. Tetua itu tiba-tiba berhenti pada penjelasan perihal pela kedua dari tujuh pela di Ambon (Silakan membaca jurnal hari ke-3 “Osi” untuk mendapatkan penjelasan terkaik ini–meskipun saya berencana menuliskannya dalam jurnal khusus nantinya). Ketika saya bertemu dengan penduduk lokal Piru yang, katanya, juga tahu cukup banyak tentang beberapa hikayat terkait Pulau Seram, jawabannya juga mirip. “Beta tidak berani membagikan Tete (leluhur laki-laki) punya cerita.”

Keadaan di atas, sempat menggiring saya pada sebuah prasangka yang cukup emosional: Kalian sebenarnya menguasai tidak materi-materi lokalitas itu? Atau hanya tahu sedikit, lalu tidak mau menceritakannya karena yang sedikit itu khawatir akan cepat habis? Atau … sebenarnya semua kisah dan laku zaman dahulu itu tak lebih karangan Anda sehingga Anda khawatir saya serang dengan sejumlah pertanyaan dan Anda gagal menjawabnya?!

Saya ingat, Bapak Suwandi Syam (semoga kesehatan selalu menyertainya), budayawan yang sangat saya hormati di Lubuklinggau-Musirawas, pernah dengan gamblang dan panjang lebar menceritakan lokalitas kampung halaman saya–dan saya selalu kagum oleh kedalaman ilmunya, suatu ketika pernah melontarkan sebuah pernyataan, “Siapa pun yang meragukan hikayat yang telah saya sampaikan tadi, silakan menghadap saya!”. Selintas lalu, pernyataan itu menunjukkan kebertanggungjawabannya terhadap cerita-ceritanya. Namun, di sisi lain, ia terdengar seperti pertahanan yang dari luar tampak gagah tapi sebenarnya keropos.

Tanggal 18 April 2018, saya menemui La Tudjuh.

Laki-laki kelahiran tahun 1933 itu direkomendasikan oleh semua penduduk Negeri Telaga Tenggelam ketika kami bertanya siapa yang paling layak kami temui bila ingin mengetahui hikayat di negeri mereka.

Saya dan Bang Reimon yang biasanya selalu menemui baparaja ketika memasuki suatu negeri, kali ini sedang tidak beruntung. Tidak beruntung untuk kedua kalinya!

Rumah gantung di Negeri Telaga Tenggelam

Ya, sebenarnya kami sudah merencanakan segalanya sejak kemarin (17-4-2018). Namun beberapa saat setelah melewati Negeri Loun, langit mulai mendung. Setiba di Telaga Tenggelam, hujan rintik-rintik. Ketika kami mendatangi rumah baparaja untuk mengutarakan maksud kedatangan kami berburu hikayat (sekalian berteduh juga siih!), kepala negeri itu sedang berada di luar. Karena tak ingin menyia-nyiakan perjalanan, di bawah hujan rintik yang renyai, kami melajukan motor menjauhi Piru. Mendapati pemandangan Gunung Tinggi yang mengingatkan saya pada dataran tinggi yang dipenuhi rerumputan di Selandia Baru, lebih dari cukup untuk mengobati kekecewaan saya yang harus rela pulang tanpa hikayat di tangan!

Panorama Gunung Tinggi

Hari ini, ketika kami kembali ke negeri yang terdapat di dataran tinggi Piru itu, baparaja Telaga Tenggelam masih juga tak ada di tempat. Ia baru saja pergi ke negeri tetangga, begitu kata menantunya yang membukakan pintu. “Beta tidak bisa memastikan kapan mereka pulang,” pungkasnya sebelum kemudian menutup pintu.

Baiklah. Merasa semua SOP (standard of procedure) berkunjung ke negeri baru sudah dijalani, saya dan Bang Reimon saling pandang sejenak. Kami mengerti arti tatapan mata masing-masing. Kami mengarahkan sepeda motor ke rumah Bapak La Tudjuh, tua adat Negeri Telaga Tenggelam. Kami menemui tua negeri tanpa mengantongi izin baparaja. Bismillah, batin saya.

Ternyata kami harus berbelok alias harus keluar dari jalan utama negeri. Beberapa penduduk sekitar yang kami tanyai mengatakan kalau jalan ke rumah Bapak La Tudjuh bisa dilalui dengan sepeda motor. Ternyata tidak demikian ketika kami sudah berada sekitar lima puluh meter dari rumah gantung si pemuka masyarakat itu. Masyarakat setempat memiliki dua sebutan untuk tempat tinggal, yaitu rumah darat dan rumah gantung. Rumah darat adalah sebagaimana umumnya rumah, sedangkan rumah gantung gantung adalah istilah untuk rumah panggung atau rumah yang lantainya tidak menyentuh tanah.

Jalan becek menjelang rumah Bapak La Tudjuh

Bang Reimon memarkir sepeda motornya di jalan becek. “Kalau mau saya dorong kita bisa melewati jalan becek ini, Bang,” usul saya. Ya, sisa hujan kemarin membuat jalan tanah menuju rumah Bapak La Tudjuh menjadi sebaran telaga kecil. Seperti biasa ia meminta saya tidak perlu mengkhawatirkan keamanan sepeda motornya. Sepengalamanan saya, dalam urusan keamanan, Piru memang patut dipuji.

Kami hanya berjalan kaki sekitar lima menit untuk kemudian menemukan sebuah rumah gantung yang kami sama-sama yakini sebagai rumah yang kami cari. Kami ternyata mengetuk bagian belakang rumah. Seorang perempuan tua yang hanya mengenakan kain setinggi dada, keluar dari pintu lalu meminta kami masuk lewat depan.

Rumah Gantung La Tudjuh

“Ini benar rumah Bapak La Tudjuh?” Saya tidak mendengar Bang Reimon menanyakan nama pemilik rumah, soalnya.

“Tenang aja,” kata Bang Reimon tanpa menoleh.

Kami naik tangga kayu sebelum kemudian Bang Reimon mengucapkan _massalamu’alaikum. Salam yang Bang Reimon ucapkan seperti memberitahu saya kalau Bapak La Tudjuh beragama Islam atau sebagian besar penduduk Telaga Tenggelam memeluk agama yang sama. Saya tak lagi terkejut apalagi mempermasalahkan assalamu’alaikum yang diucapkan seorang Kristen seperti Bang Reimon.

Ternyata pendamping saya itu benar. Di dalamnya, orang yang kami cari itu bergegas keluar dari kelambu tepat ketika Bang Reimon melangkah masuk ke dalam bilik yang berlantaikan bilah-bilah bambu yang kuning mengilap di bawah terpaan sinar matahari yang menyusup dari jendela yang terbuka penuh.

Menyimak cerita La Tudjuh

“Maaf Bapak kalau kami mengganggu istirahatnya,” ujar saya sembari menyalami tangan kanan pemuka adat itu.

“Tamu itu rezeki yang dikirim Tuhan.” Jawabannya itu sungguh mengejutkan saya. Selain karena ia mengutarakannya dalam nada yang tinggi, intonasi yang tegas, dan pengucapan huruf vokal yang kelewat terang (sehingga air mukanya menampilkan riak yang begitu kentara perubahannnya), jawaban itu tentu tidak datang dari mulut orang sembarangan.

Bapak La Tudjuh membetulkan posisi sarungnya yang makin naik ke paha. Ia tidak mengenakan baju. Mungkin karena siang itu cuaca cukup panas. Mungkin juga karena sehari-hari ia bertelanjang dada. Kepalanya nyaris plontos sebab tak banyak lagi rambut yang tumbuh di sana.

Sebagaimana biasa, saya memperkenalkan diri. Ketika tahu saya diutus oleh Kemdikbud, Bapak La Tudjuh refleks bereaksi. Baru saja saya akan melanjutkan perkenalan, ia meminta kami merekam kata-katanya dalam bentuk video. Ia menyampaikan pesan agar Presiden Jokowi mendatangi Piru. Mendatangi tempatnya tinggal. Itu syarat yang ia kemukakan apabila Si Presiden menginginkan bangsa ini aman.

Video La Tudjuh mengkritik pemerintah

Saya duga, ada kekecewaan sekaligus harapan mendalam di relung sanubarinya sehingga ia serta-merta mengatakan hal itu. Dengan menampilkan rekaman berdurasi satu menit itu di jurnal ini, saya harap saya sudah memenuhi permintaannya agar apa yang menjadi kegelisahannya di bawa publik, syukur-syukur dilihat Pak Presiden.

Saya dan Bang Reimon berusaha selembut mungkin untuk menjelaskan posisi saya sekaligus tujuan kedatangan kami.

Bapak La Tudjuh berhenti sejenak. Ia menunduk lalu menatap saya.

La Tudjuh tak mau dibantah dan disel ceritanya

Saya tersenyum. Saya tak tahu, seperti apa ekspresi saya ketika sedang menyunggingkan bibir itu. Rasa khawatir dan berusaha-menghormati menyerang saya di waktu yang sama.

“Tidak bisa!” katanya tegas.

Bang Reimon lalu mengatakan betapa ‘mulianya’ tujuan saya.

“Bapak bayangkan,” saya mulai berani menimpali. Tentu saja, saya harus berani. Kalau sudah jauh-jauh ke sini, saya cuma dapat foto panorama Telaga Tenggelam yang indah tanpa cerita, hikayat, mitos, legenda atau lokalitas lain yang bisa saya tulis, buat apa?! “Bapak bayangkan kalau semua yang Bapak tahu itu hanya berdiam di dalam kepala Bapak, bagaimana orang-orang akan tahu dan terus melestarikan ceritanya atau bahkan memetik pelajaran darinya.” Ya, saya percaya, selalu ada nilai yang bersembunyi di balik cerita.

Suasana kembali hening.

“Beta adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara,” tiba-tiba ia bercerita.

Saya dan Bang Reimon menyimak.

“Saya lahir dengan tujuh tali pusat.”

What? Saya yang sedang merekam, tersentuh tombol “off” saking terkejutnya. Saya buru-buru mengaktifkan lagi rekaman ketika mengingati diri bahwa yang mahal dari perburuan hikayat adalah kejutan demi kejutan yang dihadiahinya.

“Jangan tanya dan jangan sela cerita Beta!” Ia seperti membaca bahasa tubuh saya yang meminta konfirmasi terkakit tujuh tali pusat tadi. Lalu dia terdiam lagi. Ada nanar di bola matanya. “Dulu, Bahaya Seram pernah menyerang seram. Semua permukiman di tepi laut dan dekat pantai disapu ombak yang datang dari perut laut. Bapak Beta saat itu sedang ada di telaga. Beta tak tahu untuk apa Bapak di sana. Apa untuk mencari ikan air tawar atau sekadar berjalan-jalan atau ada keperluan lain. Telaga itu juga disapu Bahaya Seram. Dan Bapak juga ikut serta. Tapi … jasad Bapak, katanya, masih bisa ditemukan. Kalau ke masjid besar di Telaga (Tenggelam) ini, tak jauh dari bangunannya kalian akan menemukan makam. Itu adalah makam bapak Beta. Awalnya makam itu bukan di sana. Tapi karena tanah tempat bapak Beta dimakamkan akan dibangun masjid, Beta meminta kepada orang-orang untuk memindahkan tulang-tulang Bapak ke tanah galian yang baru. Tak jauh dari masjid. Biar tidak terlalu sakit bapak Beta. Kalau terlalu jauh dipindahkan, pasti Bapak akan merasa sakit. Orang sakit saja sering mengeluh sakit kalau bergerak, apalagi orang mati!” terangnya panjang lebar.

Saya baru tahu kalau Bahaya Seram adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan air pasang yang naik jauh ke darat. Apakah ini bisa disebut semacam tsunami, saya tidak menanyakannya lebih jauh.

Jembatan yang menjadi semacam pemisah antara Telaga Tenggelam (kanan) dan Laut Seram (kiri)
Telaga Tenggelam yang indah
Panorama laut (dan rumah-rumahgantung di bantarannya) yang terletak di seberang Telaga Tenggelam

“Bahaya Seram sebenarnya bukan hanya ombak.” Bapak La Tudjuh seolah hendak mengoreksi tafsiran saya yang mengarah ke semacam tsunami tadi. “Pergantian angin barat dan timur juga akan berbahaya kalau kita tidak menyikapinya dengan baik.”

“Misalnya seperti apa, Bapak?”

“Merendahkan diri,” jawabnya cepat. Masih dengan artikulasi dan intonasi yang jelas. “Tiap bulan lima tua dan bulan dua belas tua, kami mengumpulkan sejumlah uang secara sukarela ke balai adat untuk dipergunakan oleh pemuka adat menyiapkan saji-sajian yang akan diletakkan di tepi jalan yang bersisian dengan laut. Lumayan panjang, dua kilometer.”

Bulan tua adalah sama pengertiannya dengan tanggal tua alias di atas tanggal dua puluh tiap bulannya.

“Tentu saja makanan itu mengadung barakah karena telah didoakan di masjid sebelumnya. Siapa pun boleh memakannya,” tegasnya.

Saya diam. Berpikir sejenak.

“Persembahan itu diharapkan bisa menghindarkan kami dari bala, celaka, musibah, bahkan penyakit yang kerap dibawa oleh pergantian angin laut.”

Ternyata, di Telaga Tenggelam, tradisi menyiapkan makanan atau sajian atau–dalam beberapa keadaan adalah menata semuanya di dalam–dulang sudah jamak dilakukan.

Tiap bulan Safar tua, biasanya di hari Rabu, masyarakat akan membawa dulang yang berisi makanan ke Telaga Tenggelam. Di sana, mereka mandi sebagai wujud membersihkan diri dari segala keburukan dan penyakit. Usai mandi, mereka berkumpul bersama dan berdoa berjemaah. Seperti biasa, makanan dalam dulang pun akan dimakan bersama-sama.

Tradisi di atas mengingatkan saya dengan balimau di Sumatra Barat. Orang-orang ramai mandi di sungai untuk membersihkan diri. Meskipun balimau tidak diikuti doa dan makan bersama, tujuan kedua prosesi ini sama-sama membersihkan diri. Yang berbeda adalah waktu dan objek yang dihormati.

Di Telaga Tenggelam, mandi bersama dilakukan di pengujung bulan Safar. Prosesi ini sebagai tanda kegembiraan mereka menyambut kedatangan Rabi’ul Awal yang merupakan bulan kelahiran Rasulullah Saw. Sedangkan balimau dilakukan (sebagian) masyarakat Sumatra Barat untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan.

Selanjutnya, cerita Bapak La Tudjuh memelipir ke cerita antardulan. Cerita ini pernah saya dengar dari Jan Sukouta, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Seram Bagian Barat, di hari ketiga saya berada di Piru. Namun Bapak La Tudjuh membuatnya lebih rinci.

Menurutnya, perayaan itu bukan sekadar lebaran ketujuh bagi muslim di Seram, namun ia juga bentuk perayaan khatam Quran. Di Telaga Tenggelam, biasanya akan ada 13 dulang. Tiap dulang mewakili 30-40 orang. Sebagaimana biasa, usai doa bersama di masjid, isi dulang juga akan dilahap bersama.

Masjid Negeri Tenggelam yang sedang dipugar. Tak jauh dari tempat ibadah ini makam ayah dari La Tudjuh.

Di akhir perbincangan, iseng-iseng saya menanyakan apakah Bapak La Tudjuh seorang veteran. Saya merasa perlu menanyakan itu sebab tiba-tiba ingatan saya melayang pada neknang, begitu orang-orang Musi di tempat saya menyebut kakek, seorang veteran yang lahir pada tahun 1928, lima tahun lebih tua dari Bapak La Tudjuh, dan masih hidup. Neknang adalah seorang veteran yang kerap menjadi inspirasi bagi karya-karya saya.

“Beta tentu pejuang. Tapi bukan veteran. Negara ini lucu, orang yang berjuang harus mengajukan diri untuk menyebut mereka pejuang untuk kemudian mendapatkan penghargaan dan semacamnya dari pemerintah. Pejuang sejati, sebagaimana generasi muda yang tahu diri, takkan melakukan itu! Beta tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat). Kami mengusir penjajah dengan bergerilya di hutan-hutan. Tapi yang dapat nama TNI!”

Saya lupa, bagaimana percakapan kami akhirnya berakhir. Yang terang, Bapak La Tudjuh dan istrinya tidak keberatan saya ajak berfoto bersama saya di depan rumahnya sebelum saya pamit.

Saya sebenarnya ingin sekali mengorek-ngorek lebih jauh tentang hikayat Telaga Tenggelam itu, namun sepertinya Bapak La Tudjuh memang tak ingin membuka cerita itu. Ia benar-benar lihai memperlakukan saya sebagai anak kecil. Ia berikan saya tiga jenis cerita terkait dulang (atau persembahan makanan di sejumlah perhelatan adat di daerah itu) sebagai permen pereda kekecewaan.

Tiba-tiba saya teringat ‘perjuangan’ saya membukukan cerita rakyat Bujang Kurap dan Silampari yang ditutur-tuliskan oleh Bapak Suwandi Syam dan baru purna untuk saya cetak empat tahun kemudian.*

Di akhir tulisan. Dikasih tulisan:

Piru, 18-23 April 2018

Comments
Loading...