education.art.culture.book&media

NANAN, KARYA, & REVOLUSI 4.0

Oleh BENNY ARNAS

Sekitar pukul 2 siang, walikota Lubuklinggau, H. S.N. Prana Putra Sohe yang akrab disapa Nanan, menerima saya di ruang kerjanya. Sebagaimana percakapan kami via WhatsApp, ia akan menerima saya hari Rabu (20-2-2019) terkait riset karya baru saya di beberapa wilayah pada April-Mei tahun ini. Setelah mendengar apa proyek kreatif saya ke depan sekaligus tanpa tedeng aling-aling bilang kalau ia akan mendukung (belum sekalipun saya mendapati ide dan proyek kreatif saya terkait membawa Lubuklinggau ke luar daerah/negara lain ia tolak), Nanan membuka diskursus tentang lokalisme dan Revolusi 4.0.

“Four Point O atau Four Point Zero?” Nanan memulainya dengan pertanyaan remeh.

Saya tertawa kecil. Ia memang pandai memilih materi pembukaan, seperti appetizer yang lezat namun tak mengeyangkan dalam sebuah makan malam penting. Sejatinya, O ataupun Zero, keduanya bisa saja digunakan dengan sejumlah catatan, tapi karena saya tahu kalau beliau butuh jawaban cepat dan memberikan jawaban diplomatis hanya akan memanjangkan tali kelambu diskusi yang tidak substantif saya bilang, “Point O terdengar lebih hari ini, lebih milenial.”

Lalu, saya hafal benar tabiatnya. Ya, sosok yang hingga tahun 2024 nanti mengemban amanah sebagai pemimpin tertinggi di Kota Lubuklinggau ini tak pernah alpa menyampaikan rencana-rencana strategisnya. Namun di ranah industri kreatif, ia menaruh kekecewaan. “Seperti tidak ada kreasi dan inovasi yang berarti,” keluhnya seraya melepas beberapa hela napas. “Bagaimana bisa terjun di tengah-tengah arus Four Point O!”

Saya sengaja belum merespons. Selain belum saya lihat titik terang masalahnya, pengalaman bercakap-cakap dengan orang nomer satu di Lubuklinggau itu mengajarkan saya untuk tidak gegabah. Ya, Nanan cenderung mengeksplorasi ide dan kegelisahannya terkait Lubuklinggau dalam sekali pukul. Jeda antar narasi yang keluar dari mulutnya, seperti jebakan untuk lawan bicara yang tak sabar untuk memberi solusi atau sekadar unjuk isi kepala. Lagi pula, tak ada ruginya kok jadi pendengar yang baik. Saya menganggap siang itu sebagai kuliah privat gratis dari Nanan untuk saya.

Baginya, sehebat apa pun peranti Four Point O mendukung dan membungkus kreativitas sang kreator, kalau karya tak mengusung story dan semangat daya-cipta, yaaa hasilnya juga jalan di tempat. Kalaupun maju, paling selangkah dua langkah.

“Tentang bagaimana kreator hari ini harus melek teknologi informasi dan pandai-pandai menjadikan internet partner untuk mengadah produktivitas, anak-anak muda lebih expert-lah urusan ini, tapi ….” Dia menerima tumpukan berkas dari pegawai bagian protokol. Tak lama kemudian ia menandatangani lembaran-lembaran yang sudah dibuka dan ditandai dengan kertas kecil berwarna hjjau di sisi kanan berkas. “ … banyak yang tidak juga sadar kalau pertarungan sesungguhnya itu yaaa produknya apa atawa karyanya apa!” Saya menangkap kegeraman di ujung kalimat.

Lalu ia bercerita tentang sejumlah bidang kreatif yang tak sesuai ekspektasinya. Seni lukis/rupa/kriya ia sorot secara signifikan. “Perkembangan seni lukis, mural 3 dimensi, dan batik dengan rasa lokal, tidak sebanding dengan investasi yang sudah saya gelontorkan.” Nanan pun mengimbuhinya dengan mindset pelakunya yang tidak lagi murni berkarya, tapi sudah dicekoki politik dan materialisme.

Ia juga menyoroti trend motor-custom(ized) yang tidak direspons klab-klab motor yang ada. “Memang ada, satu-dua, tapi itu tidak bisa memberi efek apa pun bagi geliat dunia kreatif-otomotif di Lubuklinggau, padahal …”

Tumpukan berkas yang kesekian kembali disodorkan ke hadapannya. Sembari melanjutkan menandatangani puluhan lembar halaman, ia melanjutkan, “ … sejumlah spot untuk merangsang terjadinya dialog bermutu di kalangan generasi muda sudah tumbuh di sana-sini, yang … sebenarnya sangat bisa dimanfaatkan. Kan itu tujuan sebenarnya kita membuat atau mendukung munculnya tempat publik yang friendly untuk anak muda seperti Taman Olahraga Silampari, Taman Kurma, Perpustakaan Daerah, kafe-kafe, hingga tempat-tempat wisata yang hampir semuanya ramah-pengunjung.”

Menarik sekali. Percakapan tentang Revolusi Industri ke-4 dengan seorang walikota justru menyasar poin-poin riil dan substansial: SDM alias kreator yang selalu menajamkan kualifikasi dan dukungan pemerintah lokal yang ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik oleh generasi milenial setempat yang sebenarnya menjadi penggerak utama roda perubahan era Internet ini.

Perbincangan dan diskursus Four Point O dengan Nanan hari itu membawa kami ke luar labirin membingungkan yang hanya berisi ramalan futuristik, kecemasan karena indeks literasi yang mengenaskan atau terminologi hoaks yang sedang naik daun sebagai konsekuensi negatif yang dibawa arus “Internet of Things-ism”.

Saya sepakat dengan Nanan. Mau secanggih apa pun kita memvermak penampilan, memake-up perkumpulan dengan aplikasi dan peranti teknologi terkini, apalagi mengoplos kreasinya dengan hal-hal politis, tidak akan memberi pengaruh bagi hakikat keberkaryaannya, selain citra yang takkan berumur panjang, gampang ketahuan belang. “Karyamu yang bicara!” tegas Nanan di pengujung percakapan.

Saya hendak protes sebab saya belum lunas mengutarakan maksud sebelum ia menambahkan catatan akhir narasi bernasnya siang itu. “Kamu sudah berbuat sesuai dengan kapasitasmu. Masalahnya, kamu tak mungkin merambah lintas-disiplin kreativitas yang berkembang. Saya akan dukung semua langkah strategis yang kauutarakan tadi. Kalau perlu, bukan hanya Lubuklinggau yang kau bawa ke luar (negeri), tapi kekayaan Lubuklinggau di Utrech sana yang kau boyong ke sini!”

Tiba-tiba langit merah jambu. Tidak ada kuliah privat dengan kalimat penutup seindah siang itu. Nanan, saya padamu. Dengan karya yang ada pada diri saya. Bukan yang lain. Bukan yang lain.*

Lubuklinggau, 24-2-2019

BENNY ARNAS, direktur bennyinstitute, penulis dan produser berbagai kegiatan kreatif di Lubuklinggau.

 

*Artikel ini pernah ditayangkan Linggau Pos dan Sumatra Ekspress (25-2-2019)

Comments
Loading...