education.art.culture.book&media

PASAR

Boleh percaya atau tidak. Panorama ini adalah latar belakang pasar pantai.

(Hari ke-6 di Seram Bagian Barat)

Baru saja saya dikejutkan oleh seorang pengendara yang memarkir sepeda motor tak jauh dari tempat saya berdiri tanpa mencabut anak kuncinya di tiang stang, suara cempreng laki-laki dalam logat yang sangat tidak-Maluku mengejutkan saya. Refleks saya menoleh ke lapak sebelah sebelum menoleh ke arah yang berlawanan, tempat sepeda motor tadi diparkir.

“Jangan dipikirkan motor itu. Aman. Tidak ada pencuri di sini,” ujar seorang bapak di lapak sebelahnya setelah ia melayani perempuan muda yang membeli suami dan beberapa bola sagu. Ia seolah bisa membaca apa yang sedang bergeliat di kepala saya.

Bola-bola sagu

Saya baru tahu kalau sagu-sagu untuk membuat papeda, salah satu makanan pokok khas Indonesia Timur, dijual dalam bentuk bola-bola sagu basah. Unik dan artistik sekali!

“Beli rebung patong-nya, Kakak,” kali ini suara perempuan tua di lapak sebelahnya lagi mengetuk gendang telinga. Oh, warna putih bersih rebung yang diolah dari anakan bambu khas Maluku itu sungguh enak dipandang mata. Beberapa kilan dari rebung itu, mata saya menangkap lemon cina yang dijual dalam piring plastik kecil.

Rebung patong

Oh suara cempreng itu masih mengusik saya. Merasa terganggu, saya kembali menoleh.

Ternyata laki-laki bermata sipit itu belum selesai melakukan tawar-menawar harga daun kasbi yang dibuat dalam bentuk bola, sebagaimana sagu tadi. Si penjual bertahan dengan harga 3000 per bola, sementara laki-laki itu ngotot menawar separuh dari harga itu.

“Kakak boleh tanya ke tempat jual mana saja di pasar pantai ini, harga tidak akan beda,” perempuan paruh baya dengan bedak dingin di wajahnya itu berbicara dengan logat Maluku.

Mama-mama penjual ikan memakai bedak dingin di wajahnya

Tiap mendengar kata “Kakak, Mama, Ibu, Beta ….” diucapkan orang-orang Timur (baca: Maluku), ada sensasi ketenangan yang menyusup ke dalam perasaan saya. Di lidah mereka, kata-kata sapaan itu berayun sedemikian rupa. Di telinga saya, ‘ayunan’ itu menjelma penghargaan dan rasa persaudaraan yang tulus dari penuturnya. Maka, ketika laki-laki itu bersikeras menawar, saya geleng-geleng kepala. Takkah ia merasakan apa yang saya rasakan ketika mendapati diri kita dipanggil “Kakak” (dengan bunyi “k” paling akhir nyaris tak terdengar)? Atau saya saja yang terlampau perasa atau bahkan melankolik? Ah sudahlah. Yang jelas, dari tampilan kami yang mirip, sama-sama mengenakan celana selutut-t shirt-dan sepatu kets, saya menduga kami memiliki status yang sama di sini: Pendatang.

Kawan, dikau pasti baru pertama kali berbelanja di pasar ini, tebak saya percaya diri, sehingga kepekaanmu belum terasah untuk menangkap kedalaman makna di balik bunyi sapaan itu. Tidak harus menjadi sastrawan untuk mengasah kepekaan, Kawan!

“Enam ribu tiga, oke?” Suara laki-laki pendatang itu benar-benar merusak konsentrasi saya yang sedang memotret tumpukan bola sagu di lapak sebelahnya.

Sebagaimana dugaan saya, Si Mama menolak menurunkan harga.

Tak urung saya pun menoleh lagi ke lapak itu. Saya sebenarnya berharap laki-laki itu menyadari tindakan saya sehingga akan menerbitkan perasaan tak enak hati atau malu pada dirinya, tapi tidak. Ia terlampau bersemangat menawar.

Kini, saya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Bola-bola daun kasbi (kanan) dan compokan pinang muda (kiri)

Alangkah teganya Si Sipit menawar satu bola daun singkong dengan harga sangat murah kepada pedagang lokal, bertik hati kecil saya. Setahu saya, harga satu bola daun singkong–yang oleh penduduk setempat disebut daun kasbi–memang bisa lebih murah, tapi itu kalau membeli lebih dari satu bola. Saya pernah iseng menanyakannya dan si penjual menjawab cepat, “Tiga ribu satu. Dua lima ribu.” Ya, potongan harga itu berasal dari si penjual, bukan si pembeli.

Di mana-mana, keberadaan penjual dan pembeli dalam suatu tempat bernama pasar, bukan hanya meniscayakan aktivitas jual-beli, tapi juga tawar-menawar yang mengawalinya. Namun, sepengalaman saya di Pasar Piru, entah saya yang tidak pandai menawar atau memang karakter pasar di sini yang anomalik, penjual cenderung tidak mengamini tawaran pembeli.

Durian dijual per compok. Per compok berisi 4-5 durian.

Beberapa kali membeli durian, saya mendapatkan harga 20.000 untuk 4 buah. Pernah saya mendapatkan 5 buah dengan harga yang sama, tapi itu bukan merupakan hasil penawaran saya, melainkan memang ketentuan penjualnya.

“Ada dua buah yang agak kecil, makanya Beta kasih Kakak lima dua puluh (ribu),” ujarnya waktu itu.

(Sebenarnya, harga durian ini agak tidak cocok untuk dijadikan sampel. Bagi saya, dengan daging buahnya yang superlezat, harga durian di Piru sudah megasuperdupermurah!)

Manggis dan langsat yang dijual per piring

Ketidakberlakuan proses tawar menawar seperti asumsi saya di atas juga berlaku ketika saya membeli sepiring manggis isi enam seharga 5000. Ketika saya mencoba menawar, Si Mama hanya tersenyum. Jujur, saat itu, perasaan tak enak hati dan malu beradu dalam dada dan pikiran saya.

Senyum Si Mama, bagi saya, adalah semacam majas ironi untuk narasi tentang pasar dan saya menjadi objek ceritanya. Ah! Senyumnya seakan-akan menghamburkan kata-kata yang menyusun sendiri kalimatnya:

“Kulitmu pernah terpanggang matahari karena memelihara tanaman buah? Atau pernahkah daging kakimu darahnya diisap pacat, digigit kalajengking, atau menjadi makanan empuk bagi nyamuk-nyamuk karena kau terlalu asyik membuang tanaman parasit yang melilit di batang tanaman buah?”

Pengalaman dan ‘perasaan terhina’ itu membuat saya berhenti menawar. Lebih tepatnya, tidak berani menawar. Entah bagaimana, sebagai lelaki (yang biasanya malas berurusan dengan aktivitas tawar-menawar di pasar tradisional), keadaan itu saya anggap berkah dan menguntungkan. Saya akhirnya menaruh prasangka baik di dalam diri, bahwa para penjual di pasar kota (begitu saya menyebut pasar tradisional yang digelar di pinggir jalan kota) dan pasar pantai (ini adalah sebutan masyarakat setempat untuk Pasar Tradisional Pelabuhan Kota Piru) mematok harga dagangannya sudah sebagaimana mestinya alias tidak melebih-lebihkan.

Perasaan itu, sebagaimana yang saya katakan di atas, sungguh melegakan dan menggembirakan. Itu artinya, saya bisa berbelanja dengan tenang tanpa disusupi prasangka bahwa harga sayur atau buah di-mark-up berlebihan hanya karena penampilan saya yang “sangat tidak Timur” atau “terlihat sebagai pendatang”.

Beberapa kali saya membeli manggis untuk sarapan (di Lubuklinggau, saya memang biasa mengawali pagi dengan makan buah, bukan dengan teh manis atau penganan mengandung karbo lainnya). Saat sore dan malam biasanya saya berjalan-jalan dan selalu saja ‘iman’ saya berhasil digoda untuk membeli.

Pesta durian tiap malam

Buah yang paling sering saya beli adalah durian. Bahkan sejak hari ke-4, saya mengganti nasi dengan dua hingga empat buah durian sebagai menu makan malam. Biasanya saya meminta Si Mama langsung membukanya di tempat sebagaimana saya akan ‘membereskannya’ saat itu juga. Sebagai penikmat durian yang khusyuk, saya makan daging durian lamat-lamat. Ya iyalah, di mana lagi bisa melahap durian lezat supermurah seperti di Piru–meskipun kabarnya di sekitar Kairatu durian bisa dibanderol seribu rupiah per buah! Sekali ketemu, saya ingin menikmatinya dengan tenang. Pelan-pelan. Lagi pula, saya tak punya rekan bertanding makan durian di sini. Dalam keadaan semendukung ini, tidak ada cara makan durian yang lebih indah, selain menghayatinya! Ya, saya makan durian hingga bijinya bersih dari kulit arinya yang supertipis.

Saya bersyukur, para penjual durian yang kebanyakan perempuan (bahkan sepengalamanan saya, tak ada penjual durian dari kalangan laki-laki!) suka menemani saya ngobrol tentang apa pun. Mereka (ya, penjual satu lapak durian biasanya terdiri dari setidaknya dua perempuan) akan duduk menggelepor di pinggir jalan bersama saya. Biasanya saya menjadikan sandal sebagai alas, sementara mereka yang terlalu sibuk memikirkan caranya pulang ke negeri masing-masing malam itu juga dengan keranjang kosong tentu tak ingin buang-buang energi untuk memeriksa sebersih apa tanah atau semen tempat pantat mereka dijatuhkan.

Yang dari menyenangkan makan durian ditemani Si Mama adalah, mereka melayani percakapan saya dengan mata yang sigap. Tangannya akan bergerak cepat mengayun parang, membuka buah yang baru ketika durian yang saya lahap hampir tandas isinya.

Entah bagaimana, semua Mama Penjual Durian yang saya beli duriannya adalah perempuan-perempuan dari Taniwel.
Ketika saya bertanya, apakah kecamatan itu terkenal sebagai lumbung durian, mereka mengangguk cepat. “Tapi daerah lain juga banyak yang duriannya berbuah, termasuk Piru,” terangnya. Lalu percakapan kami pun memelipir ke mana-mana. Termasuk kepenasaran saya dengan salak merah, buah endemik Seram Bagian Barat yang hanya tumbuh di Ringring, sebuah pedalaman di dataran tinggi Taniwel.

“Lebih baik pesan saja salak itu dengan sopir mobil di pangkalan. Datangi saja nanti Beta di sini. Beta temani Kakak datangi sopirnya. Kapan perlunya?” jawabnya cepat sekaligus menawarkan bantuan tanpa basa-basi. Tak lupa ia menyisipkan prmosi bahwa salak merah adalah salak paling manis dari jenis salak yang ada. Tentu saja saya makin bersemangat.

Saya pernah juga membeli langsat dan kecapi, namun hanya sekali, bahkan tampaknya menjadi yang terakhir. Kedua jenis buah itu tidak terlalu cocok dengan selera saya, baik dalam hal rasa maupun cara makannya. Langsat kalah jauh manisnya dengan duku Sumatra (Hola, Benn! Ya jelas bedalah, wong memang dua buah yang berbeda!), sementara kecapi, cara makannya sungguh merepotkan!

Kali pertama saya menemukan dan makan buah kecapi memang di Piru ini. Ukurannya yang mirip buah manggis dengan warna kulit yang lebih menyala dari duku atau langsat berhasil menggoda ‘iman’ saya ketika pertama kali melihat compokan buah liar itu di gelaran kakilima di seberang hotel. Sejak saat itu pula saya melihat buah yang hanya kerap saya dengar namanya itu untuk pertama kalinya!

Telanjur lihat, kita coba sekalian!

Awalnya saya sangat bersemangat (lagi pula harganya sangat murah: lima ribu secompok!). Saya ingin membeli dua compok, namun tiba-tiba terbetik di dalam hati: mengapa saya tidak mencobanya dahulu. Saya meminta Si Mama membuka sebuah. Saya sudah berniat, kalaupun rasanya tak bersahabat di lidah, saya akan tetap membeli secompok kecapi yang telah saya ambil sebuah untuk dicicipi.

Si Mama mengempaskan kecapi ke lantai semen kaki lima dengan cukup keras. Saya sedikit terkejut. Saya pikir, tindakan itu agak tidak selaras dengan prinsip makanan yang harusnya disyukuri. “Diam kau, Benn! Tahu apa kau tentang kecapi!” Alamakjang, suara tanpa volume itu memukul-mukul kepala saya.

Rupanya Si Mama ingin membuat kecapi lebih mudah dibuka. Ya ya ya, apakah harus begitukah, Ma? Kecapinya belum masak, mungkin. Spekulasi sok tahu meriap-riap di kepala saya.

Memang benar, ketika kulitnya agak remuk, kecapi menjadi lebih mudah dibuka dengan tangan. Namun itu tidak serta-merta menyelesaikan urusan, sebab ketika kulitnya yang cukup tebal itu sudah menganga, daging buah bersatu dengan bagian dalam kulit yang bertekstur mirip kapas basah, sehingga kita harus melepaskan bagian dalam kulit yang berwarna putih susu itu dari daging buah. Dan itu tidak mudah! Ketika menyadari kalau daging kecapi sangat tipis dan lembek, saya pikir pemisahan itu memang tidak perlu dilakukan sebab hanya akan merusak tekstur dagingnya. Ya, memang tidak mudah! Jadi? Ya, nikmati saja sensasi daging tipis, lembek, dengan rasa masam-manis yang beradu dengan bagian dalam kulit yang tebal dan lembut. Pisahkan saja ia di dalam mulut ketika memakanannya, perintah nalar saya. Oh, pemirsah, Anda bisa membayangkan repotnya makan buah ini, ‘kan?

Makan kecapi, repooot!

Selintas lalu, susunan biji tempat daging buah kecapi melekat mirip sekali dengan susunan isi buah manggis. Namun daging buah kecapi yang menerbitkan rasa masam dan manis yang tarik-menarik, biji yang lebih besar dan keras, serta tampaknya akan sangat pahit kalau tergigit, membuat citra buah itu di mata saya langsung jatuh terperosok bila dibandingkan manggis!

O ya, saya juga pernah membeli rambutan beberapa kali. Buahan yang saat ini sedang musim di Piru itu juga dijual dalam compok-compokan kecil. Tebakan saya, berat per compok sekitar setengah kilo. Dibandingkan buah-buah yang sedang musim lainnya, harga rambutan paling mahal. Satu compok dihargai 10.000. Saya pernah mengajak Bang Reimon membeli beberapa compok dengan harapan akan mendapatkan potongan harga karena yang membeli adalah orang lokal. Tapi saya salah, lagi-lagi salah. Saya tetap mengeluarkan tiga lembar pecahan 10.000 untuk tiga compoknya.

Kata Bang Reimon, meskipun sedang musim, tidak semua pohon rambutan di Seram Bagian Barat berbuah lebat. Saya mengangguk-angguk sebelum mengatakan bahwa di Lubuklinggau harga rambutan bisa 5.000 per kilogram kalau sedang musim.

“Kakak, beli apa jadinya, Kakak?” Suara perempuan penjual daun kasbi itu membuyarkan lamunan saya. Bedak dingin di wajahnya mulai luntur. Oh, selama apakah saya menikmati atmosfer pasar dengan latar belakang laut yang tenang nan indah dan pemandangan pulau-pulau membiru di kejauhan serta awan-awan yang mengapung di atasnya. Ada tiga bola daun kasbi lagi di dalam bokor dagangan Si Mama.

“Itu apa?” Saya menunjuk dua tumpukan sayuran yang sudah diiris kecil-kecil.

Jantung pisang yang sudah diiris selalu dijual dengan potongan daun pepaya di atasnya. Kata Si Mama, potongan daun pepaya selalu ada dalam sayur atau gulai jantung pisang.

“Ini pakis!” tunjuknya pada tumpukan irisan daun hijau yang sedikit keriting. “Itu jantung (pisang),” tunjuknya pada tumpukan irisan warna ungu pudar yang menyerupai mi.”

Oh, saya menghela napas. “Alangkah niatnya orang-orang Piru ini berjualan,” gumam saya.

Cara penjual mengemas dagangannya di pasar tradisional mereka seperti menerakan perkara dengan cetak tebal yang tembus di sebalik kertas, bahwa kejujuran adalah ajian paling sakti untuk mendapatkan kepercayaan. Tak terkecuali dalam menjalankan transaksi jual-beli. Bagaimana mereka menjual daun kasbi dan sagu dalam bentuk bola, menjual rambutan dan kecapi dalam compokan, manggis serta lemon cina dalam piring plastik kecil, serta pakis dan jantung pisang yang diiris terlebih dahulu, adalah lebih dari cukup untuk memaklumatkan semangat bekerja keras dengan tetap memegang prinsip kejujuran.

Tidakkah kejujuran adalah angka paling menyala dalam kehidupan? Ya, bila sudah begitu, satuan dagangan ditetapkan oleh nurani yang sudah menjadi lakon, bukan oleh angka di alat timbangan!

Maka adalah mafhum bila, untuk untuk dagangan di atas, satuan jualnya adalah bola, compokan, atau bahkan piring!

Gelaran dagangan di pasar pantai

Dalam keadaan seperti di atas, menawar di pasar tradisional memang layak mereka senyumi saja. Ah, tiba-tiba saya teringat senyum Si Mama ketika pertama kalinya saya menawar harga manggis di pasar kota. Baru saja saya hendak beranjak, seorang pemuda berkulit gelap berambut keriting  memikul dua karung sayur datang dari semacam lorong pasar tepat di hadapan saya. Ia mengempaskan karung-karung itu di atas sepeda motor yang terparkir di tengah keramaian pasar pantai, sekitar tiga meter dari tempat saya bediri.

“Oh sepeda motor itu!” teriak saya dalam hati. Kedua mata saya membelalak sempurna. Sepeda motor itu! Ya, sepeda motor itu adalah sepeda motor yang sedari tadi kuncinya tidak dicabut! Dan si pengendara, setelah hampir satu jam berbelanja ke dalam pasar, kini kembali dapat diliputi kecemasan karena kunci kendaraan lupa dibawa. Subhanallah ….

“Saya ambil semua bola daun kasbinya!” seru saya serta-merta. Saya tak tahu mengapa saya ingin membeli daun singkong. Mungkin saya akan menyedekahkannya saja, entah kepada siapa, ujar saya dalam diam.

Suasana pasar pantai

Si Mama sigap memasukkan bola-bola berwarna hijau tua itu ke dalam kresek.
Saya menukarnya dengan selembar sepuluh ribu. Baru saja saya hendak mengatakan agar ia mengambil saja kembaliannya yang hanya seribu rupiah itu, Si Mama sudah menyerahkan selembar uang pecahan lima ribu.

“Mama …”

Belum selesai saya berkata, Si Mama nyeletuk, “Tidak apa, Kakak. Buat Kakak. Ini penghabisan. Sebentar lagi Beta pulang.”

Ini kali kedua saya dapat potongan harga setelah membeli durian tempo hari. Ini prestasi! Oh, tiba-tiba saya ingin cepat pulang ke hotel dan salat dengan khusyuk. Sayangnya, tiba-tiba perasaan menjadi orang yang dungu menyerang saya, sebab hari baru menunjukkan pukul 11 WIT.

Duha sudah lewat, zuhur belum buka pintu.*

Piru, 19 April 2018

Comments
Loading...