education.art.culture.book&media

TENGKORAK

Di dalam Gua Kakehan

(Hari ke-16 di Seram Bagian Barat)

Pertama kali mendengar kakehan dari Jan Sukouta, saya langsung berpikir bagaimana kepercayaan Suku Alifuru itu bisa saya rekam jejaknya. Entah itu dengan video, maupun foto. Tentu saja yang saya maksud adalah tradisi atau ritual paling legendaris dari kakehan itu: penggal kepala!

Awalnya saya mengira kakehan adalah tradisi pemenggalan kepala oleh anak laki-laki yang meranjak atau sudah remaja sebagai bentuk ‘kedewasaannya’. Mereka yang sudah melakukan kakehan dianggap sudah layak menikah, menjadi prajurit, bahkan menjadi kapitan atau panglima perang. Namun, pertemuan saya dengan David Kuhurima, tua adat Taniwel yang bermukim di Negeri Nuniali, membuat persepsi itu terbantahkan.

wawancara dengan David
Kleindahan Nuniaali
Bersama Baparaja Demianus

Dari tuturan laki-laki yang saya taksir berusia 70 tahunan itu, kakehan adalah semacam kepercayaan yang di dalamnya terdapat tradisi pemenggalan kepala. Bapak David bukan hanya membantah kakehan yang disamakan dengan pemenggalan kepala, ia juga membantah kalau sebagai kepercayaan, kakehan hanya tentang penggal-memenggal kepala. Menurutnya, sebagaimana sifat kepercayaan yang lain, kakehan juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan, seperti saling menghormati, tidak boleh mengambil hak orang lain, cinta tanah air, dan lain-lain. “Saya yakin ada lapis paling dalam tentang ‘pemenggalan kepala’ dalam kakehan yang kita sama-sama belum mengerti atau pahami,” ujarnya sebelum kemudian, dengan nada menyesalkan, ia mengungkapkan kedatangan mahasiswa-mahasiswa (dari) Jogja yang pernah mewawancarainya terkait kepercayaan suku etnik yang mendiami Pulau Seram di masa lampau itu namun tak pernah sekalipun mengirimkan hasil penelitian itu kepada mereka.

“Insya Allah kumpulan catatan perjalanan saya di Seram Bagian Barat, termasuk di Taniwel ini, akan dibukukan oleh Badan Bahasa, Bapak,” balas saya cepat. Ya, saya tak ingin disamakan dengan mahasiswa-mahasiswa yang ia sebutkan tadi. “Saya akan mendorong penerbit untuk mendistribusikan buku ini sampai ke negeri-negeri yang pernah saya kunjungi,” janji saya kemudian. Saya menulis ini, juga sebagai alarm bagi Badan Bahasa, untuk juga memerhatikan hal-hal terkait pasca-program, termasuk pendistribusian ke daerah-daerah yang menjadi lokasi pengumpulan data oleh sastrawan yang bersangkutan.

Setelah mulai teryakinkan dengan cerita saya di daerah residensi sebelumnya yang selalu melahirkan buku, David menjadi lebih santai dalam bercerita. Sementara saya menyimak, Baparaja Nuniali, Bapak Demianus Nauwe, memanggil beberapa warga untuk bergabung dengan kami.

“Yang dipenggal oleh seorang (anak/remaja) laki-laki itu, adalah kepala seseorang yang berada di negeri nun jauh di sana,” David kembali bercerita. “Apa buktinya?” tanyanya retoris. “Kamboti yang mereka bawa ke tapuara biasanya berisi tengkorak, bukan kepala. Bukan kepala dengan batang leher yang bercucuran darah segar, apalagi kepala dengan dua mata yang masih membelalak sebagaimana film-film menggambarkan peristiwa semacam itu. Bukan!”

Wah ini benar-benar pengetahuan baru! Saya memang pernah mendengar kamboti, semacam wadah dari anyaman pandan hutan yang memiliki sepasang kuping sebagai pegangannnya. Tapi saya baru tahu kalau baileo atau balai adat di Nuniali ini memiliki nama tersendiri yaitu tapuara. “Artinya anak lelaki itu melakukan perjalanan yang sangat jauh, Bapak?” Saya merasa perlu menggali lebih jauh.

“Benar!” jawabnya cepat. “Bisa saja (anak) laki-laki itu bermukim di Seram Barat dan mendapatkan-kepala di Seram Timur atau Utara. Artinya tengkorak yang mereka bawa adalah hasil pengembaraan, perjalanan yang sangat jauh dan lama.”

Tak lama kemudian Baparaja Demianus dan dua orang penduduk lokal menghampiri kami. Bapak David bangkit dari tempat duduknya. “Saya tunggu di tapuara,” katanya. Awalnya saya bingung, apa yang akan mereka lakukan. Barulah ketika baparaja menyilakan saya mengikuti dua penduduk lokal yang baru saja bergabung tadi, baru sadarlah saya kalau kami akan ke tempat yang paling saya cari-cari, paling saya tunggu-tunggu: gua kakehan!

Mendaki menuju gua

Kedua penduduk lokal (saya lupa menanyakan nama mereka) mengajak saya menyusuri jalan setapak di belakang rumah baparaja. Kami menaiki tebing yang bersemak. Oh perjalanan mendaki itu mengingatkan saya pada bukit rendah di Hualoy ketika berburu hikayat Masahatu. “Sebentar lagi sampai,” ujar laki-laki lokal yang saya taksir berusia 40. “Iya, sebentar lagi,” timpal rekannya yang saya taksir baru memasuki usia 50. Oh tampaknya mereka berdua menangkap napas saya yang terengah-engah.

Ingin sekali saya mengatakan kalau saya baru saja kembali dari air terjun waytona, sekitar 400 meter dari tempat kami berdiri saat ini. Sebenarnya lokasi air terjun itu itu hanya enam puluh meter dari jalan utama Nuniali, namun saya dan Bang Reimon memilih jalan yang salah. Kami harus melewati semak belukar yang cukup menganggu dan menguras tenaga. Batu-batu besar yang berlubang (sepertinya laut yang terbentang sekitar 150 meter di seberang, pantainya menjorok hingga mendekati daerah sekitar air terjun).

Beberapa meter menjelang air terjun, kami baru sadar kalau kami sebenarnya bisa memilih jalan beton setapak yang lebih mudah kami lalui di seberang. Lebih cepat dan tidak akan terlalu menguras tenaga. Pemerintah setempat sepertinya pernah menaruh perhatian pada tempat yang indah ini sebelum kemudian mengabaikannya kembali. Di dekat jalan setapak di seberang, terdapat beberapa meja dengan tenda dan kursi kayu panjang yang sudah lapuk. Lagi, sebagaimana kunjungan saya dan para pendamping ke air terjun Lumoli pada hari kedua, tidak ada pengunjung lain di sini. Hanya saya dan Bang Reimon. Kapan lagi kami bisa mendapatkan previlege ‘semahal’ ini?

“Kita sudah sampai!”

Saya tergeragap sejenak. Oh ternyata mereka benar. Letak gua ini bukan di atas bukit sebagaimana makam Syeikh Zainal Abidin di lingkaran utama Bukit Masahatu. Saya belum mengeluh kehausan atau terlalu lelah, tapi sebuah gua batu menganga di depan kami.

Pintu masuk gua

Laki-laki lokal yang lebih muda berbicara dalam bahasa setempat. Sepertinya ia sedang meminta izin kepada ‘penunggu’ gua. Entah bagaimana, ada ‘perasaan aman’ ketika menyaksikan hal itu. Oh, sejak kapan saya percaya pada hal-hal mistik?!

Ternyata gua itu tidak dalam. Baru tiga langkah saya masuk, pecahan piring-piring antik di sudut kiri menjadi pemandangan pembuka. Tiga meter ke dalam, kami pun tiba di tempat yang kami cari. Tumpukan tengkorak yang berada di dekat jalan keluar.

Sebelum kerusuhan pecah di Maluku pada tahun 1999, tengkorak-tengkorak di dalam gua jumlahnya ratusan. Tumpukan tengkorak itu seperti gunung. Namun, karena gua batu yang berbentuk semacam lorong pendek dan memiliki pintu masuk dan pintu keluar ini juga dimanfaatkan penduduk setempat sebagai tempat berlindung atau mengungsi, tengkorak-tengkorak itu pun ‘harus minggir’ karena menyebabkan ruang dalam gua terasa sempit. Sebagian tengkorak pecah dan hancur, separuhnya lagi diam-diam dibawa pulang penduduk yang percaya kalau benda mati itu sebenarnya tidak mati. Sampai di sini, kita semua bisa menebak, apa yang akan terjadi pada sekitar belasan tengkorak yang tersisa di dalam gua ini beberapa tahun ke depan apabila Pemda tidak lekas berinisatif mengambil alih pemeliharaannya. Ya, bagaimana jejak kakehan di Seram ini bisa diendus dengan hanya mengandalkan cerita semata?

Sebagaimana yang saya tulis di atas, awalnya saya mengira gua ini adalah sekadar lorong yang pendek. Namun ketika mata saya menangkap lubang yang hanya muat untuk dimasuki satu orang, saya sebenarnya baru tahu kalau kami sedang berada di semacam foye dari sebuah rumah. Kedua pendamping lokal itu sepertinya tidak menganjurkan saya masuk lebih dalam. Dulu, kata mereka, pernah ada yang masuk untuk mengetahui apa isi di dalamnya. Namun mereka tidak mendapatkan apa-apa setelah menyusur hampir 20 meter dalamnya.

“Artinya lorong gua sedalam …”

“Oh tidak!” sela yang penduduk yang lebih tua cepat. “Peneliti itu belum sampai di ujung. Kami tidak tahu mengapa ia berhenti. Katanya di dalam sangat gelap.” Ya, tentu saja sangat gelap sebab kami tidak menemukan tembusan jalan keluar di sekitarnya.

“Bagaimana tengkorak-tengkorak ini bisa berada di sini? Bukankah mereka seharusnya dipamerkan di tapuara?”

Tak ada yang bisa menjawab. Saya menyukai keadaan ini. Kalau memang ada sesuatu yang gagal ditemukan musababnya, diam lebih baik. Terus bercerita dalam ketakmengertian, hanya akan melahirkan kesesatan. Kesesatan demi kesesatan!

Kami pun turun. Saya tak sabar ingin melihat seperti apa tapuara itu. Saya makin bersemangat karena, kata David tadi, saya boleh masuk dan memotret isinya.

Di depan tapuara

Ternyata baileo Nunuiali tidak segagah lekewa di Kamarian. Bagian dalam tapuara ini hanya berukuran 2 x 5 meter. Beserta berada lepasnya, mungkin hanya bertambah satu meter saja lebarnya. Bagian bawah balai adat ini terbuat dari kayu kelapa, atapnya adalah rumbia sagu. Sebagaimana lekewa, kita tidak akan menemukan paku di tapuara. Penyangga dan dinding diikat dengan tali ijuk atau dalam bahasa setempat disebut gamutu, sedangkan ruas atap dan langit-langitnya diikat dengan loleba atau tali bambu.

Meskipun tampilannya sederhana, tapuara ini adalah baileo-nya orang-orang yang permukimannya dialiri batang air Sapalewa. Artinya, tapuara ini adalah balai adat induk yang biasa didatangi orang-orang Sapalewa dalam sejumlah acara adat. Ina Ama Ahunae, begitu Negeri Nuniali digelari dengan status Sapalewa induknya ini.

Di dalam tapuara, saya menemukan kamboti, tiga batu yang menjadi tungku masak, tempat sendok-piring dan gantungan makanan yang dianyam dari daun pandan hitam yang sudah kering, bangku kayu yang hanya boleh diduduki pemuka masyarakat dan baparaja dalam acara-acara adat. Sayang sekali saya lupa bertanya, di dinding atau langit-langit sebelah manakah tengkorak-tengkorak bawaan anak lelaki Suku Alifuru dulu digantung-pamerkan?*

Ambon, 29 April 2018

Comments
Loading...