education.art.culture.book&media

BAIT RINDU

Berdua denganmu, pasti lebih baik

Aku yakin itu

Bila sendiri, hati bagai langit

Berselimut kabut

            Lirik tersebut sepertinya pas dengan situasi saat ini. Rindu yang tak kunjung terungkapkan.

‘Apa kabarnya, Gian? disana….

            Tak ingin pulang ke kotamu. Atau sengaja tak memberitahu. Aku yakin pasti kau sering pulang ke rumah. Mengunjungi ibu dan kedua adik tersayang. Segitunya tidak peduli. Ingin rasanya mengulang kembali momen ketika akrab. Saat Fia bertanya dan kau membalas dengan jawaban yang bijak. Diskusi panjang lebar tentang banyak hal hingga bingung mau menulis apa lagi. Baiknya diskusi itu tatap muka biar nyambung dan otak bisa berpikir lebih kreatif. Namun apa mau dikata, jarak memisahkan.

‘Bagaimana, masih menulis status berisi opini tentang suatu hal?’   

            Berupa kritik secara halus. Fia mafhum, penerapan ilmu. Bukankah jurusan kuliahmu sosiologi. Pernah ku bertanya, apakah nanti jika lulus akan menjadi guru. ‘bukan, dek. Sosiologi kakak ini murni, jika ingin menjadi guru ada universitas khusus di Padang’. ‘Oh, begitu aku mengerti, balasku di messenger. Ia bilang sosiolog itu bisa menjadi pembantu presiden. Takjub aku mendengarnya.

            Masih suka memakai jaket. Ingat sekali setiap kali pergi ke sekolah, jaket tak pernah ketinggalan. Mengendarai motor dengan kaca helm ditutup. Dari jauh aku selalu tahu bahwa yang akan lewat itu dirimu. Walaupun kakak tak pernah memperhatikan, tak mengapa. Jika pun saat ini kakak melakukan hal yang sama atau berbeda aku pasti bisa mengenalnya. Hanya, konyolnya aku tidak hafal atau sungguh tak pernah lihat nomor polisi motor kakak. Kota ini sudah banyak berubah, dan kau juga sudah sarjana. Tidakkah kau ingin mengabdi pada kota kelahiran. Aktivis mungkin. Khayalanku ingin selalu bersamamu, berharap menyapa, mengingatkan tentang sesuatu yang aku anggap penting. Perhatianmu yang takkan tergantikan. Namun sekarang kita putus komunikasi, semuanya kabur, hilang bahkan. Kau tak tahu kabar beritanya. Apa masih di kota ini atau sudah pindah. Secara aku bisa mengerti mengapa memilih pindah meskipun tak bercerita.

Aku merindukan kamu yang dulu,

            Kalimat itu selalu terucap setiap terbayang dirimu. Dan seketika ingin tumpah air mata karena tak kunjung bertemu. Keyakinanku padamu akankah berujung setia. Kita memang tak mengorbankan apapun, aku hanya berharap kau kembali meskipun sekejap. Mungkin meluruskan kesalahanku. Memperejelas sesuatu yang belum terjawab. Setelah itu biarkan takdir yang mengambil alih. Waktu akan menjawab pada hari yang tepat. Aku menunggu seraya tetap melanjutkan hidup. Aku siap pada apapun keputusan.

            Namun kenangan akan tersimpan manis. Bahwa kau pernah hadir di hidupku, pernah mengisi lembaran hari-hariku. Seseorang yang pernah singgah dalam hidupmu baik hanya sementara takkan bisa dilupakan. Karena takdir telah menentukan jalannya seperti itu. Bersyukur jika ia bisa terus berada disampingmu, melangkah bersama mengarungi hidup. Seperti orang tua yang akan selalu bersama anaknya hingga maut memisahkan. Tetap menyayangi.

            Hingga dua tahun ini, perasan itu masih terus berdebar. Aku tak mampu membukanya untuk orang lain, sampai kepastian itu datang. Entah kapan. Kau tahu saat ini sungguh aku dilema. Ada seseorang yang memberi perhatian namun aku tak menghiraukannya. Tak ingin dianggap sebagai pemberi harapan palsu. Akan menyakitkan, bukan. Satu orang lagi, dimana aku nyaman ketika berada didekatnya. Seperti sosok dirimu yang saat ini tak bersamaku. Maka, segera kembali. Setia menanti kehadiranmu. Salam Rindu.

                                                                                                             

Comments
Loading...