education.art.culture.book&media

Menyimak Hujan (yang) Turun dari Bawah di Aceh Corner

OLEH BENNY ARNAS

Membaca Benny di Aceh Corner

 

Salah satu kegembiraan kreator adalah mendapati karyanya diapresiasi khalayak. Namun, khalayak kadangkala susah mengukurnya, terlalu luas, cenderung bias. Kalaupun ada, ukurannya relatif matematis dan tentu saja materialistis—jumlah buku yang terjual, misalnya. Oleh karena itu, tak jarang sebuah acara (khusus) apresiasi pun digelar. Seperti yang diiniasi sebuah perkumpulan penulis sastra FOKUS UMSU bekerjasama dengan Aceh Corner, salah satu kafe yang cukup diminati anak muda Medan dan sekitarnya, petang itu (23-1-2019).

Berfoto bersama Bang Hasan dan Pemilik Aceh Corner

 

Aceh Corner agak spesial bagi saya. Sejak Hasan al Banna mengajak saya beberapa kali nyanger alias minum sanger di kafe tersebut dalam kunjungan saya pada September 2018, saya curiga kalau peracik minuman sejenis kopi-susu khas Aceh (?) yang melalui proses penyaringan berulang kali itu melarutkan sihir di dalamnya. Ya, ketika saya berkesempatan ke Medan awal 2019, salah satu yang membayang dalam benak saya adalah nyanger di Aceh Corner. Rasa khas cokelat yang diketengahkan sanger bukan hanya berhasil memperdaya indera pencecap saya, tapi juga kuasa bercokol dalam ingatan dan kenangan. Mati Maaak!

Acara yang diberi tajuk “Membaca Benny Arnas di Sela-sela Aceh (Corner)” itu menghadirkan lima penulis muda di bawah 25 tahun—Ubai Dillah Al Ansyori, Ayyu Harahap, Dedi Kurniawan, Dimar, dan Titan Sadewo. Dipandu Hasan al Banna, majelis itu agak melenceng dari judul. Kelima apresiator tidak membaca Benny Arnas, tapi membaca Hujan Turun dari Bawah, buku puisi kedua sekaligus karya tunggal saya paling mutakhir. Namun, tentu saja itu bukan substansi. Lagipula, apa yang perlu dibedah-bincangkan dari saya yang saleh, baik hati, dan tetap tamvan meski anak sudahlah tiga ini, bhuahhaha!

Seperti biasa, Bang Hasan, begitu saya biasa memanggil si moderator, memantik diskusi dengan celetukan-celetukan yang dalam beberapa hal menjelma anekdot dan humor yang gelap. Tak jarang, beberapa audiens terdiam dalam ketakmengertian karena sejumlah perumpamaan yang keluar dari mulut Bang Hasan tak mampu ia cerna. Tapi … namanya juga gelaran apresiasi. Selain meriah dan suka cita, ia memang harus mampu membuat siapa pun yang hadir untuk berpikir dan kemudian ikut berapresiasi.

Suasana Bincang Hujan Turun dari Bawah di Aceh Corner

 

Diberi kesempatan pertama, Ayyu Harahap menyampaikan hasil pembacaan yang ia  juduli Menemukan Wajah dalam Puisi Benny Arnas. Baginya, meskipun Hujan Turun dari Bawah berhasil memproduksi keruwetan di dalam kepalanya, tak urung penulis kumpulan puisi Masa Lalu Rahimmu itu mengakui kalau buku itu memberinya asupan diksi-diksi arkaik yang baginya justru terasa baru.

Titan Sadewo lain lagi. Ia justru menyororoti banyaknya “binatang” yang saya seret dalam puisi panjang itu. Gajah, kangguru, ular naga, kutu, dan cacing—sekadar mengabsen beberapa nama—tak luput dari perhatiannya. Ulasannya bertajuk Kebun Binatang Benny Arnas itu kemudian membandingkan Hujan Turun dari Bawah dengan kumpulan puisi Rusa Berbulu Merah-nya Ahda Imran yang menjadikan Rusa sebagai tokoh. “Dalam bukunya, Benny menjadikan binatang sebagai penguat latar,” pungkasnya.

Penulis kumpulan puisi Setungkul Benang, Ubai Dillah Al Ansyori, justru menyoroti ketiadaan (diksi) “Aku” dalam puisi panjang 70 halaman itu. Menariknya, pembacaannya yang berjudul menyeret pembahasan ke wilayah yang tidak semiotik sebagaimana puisi, ia justru menyebut penulis buku puisi yang sedang ia ulas sebagai pencerita yang andal. Ia memang mencoba pembacaan dengan pendekatan yang prosaik atau memang ia cenderung memosisikan Hujan Turun dari Bawah sebagai karya puisi cum prosa, sila baca ulasan lengkapnya Tanpa Aku: Benny Arnas, Pencerita Andal dengan Bahasa Tubuh.

Seperti tak ingin kalah otentik, Dimar menyuguhkan Mengupas Pisang Ayam dan Pisang Batu saat Hujan Turun dari Bawah. Gadis kelahiran 1999 itu mengungkapkan keraguannya akan identitas” tokoh utama” dalam buku tersebut. “Ia bisa saja Nabi Muhammad, tapi Ahmad yang lain juga mungkin,” ujarnya bersemangat. Keragu-raguannya itu berangkat dari keberagaman warna dalam diksi yang hadir dalam Hujan Turun dari Bawah. Menurutnya, bagaimana bisa tokoh yang dihadirkan adalah Nabi Muhammad, sementara di Arab sana pisang batu dan pisang ayam (dua diksi terkait tanaman yang ada dalam buku) justru tidak tumbuh.

Dari kesekian apresiator, Dedi Kurniawan tampil paling beda. Tanpa esai tertulis di tangan, Dedi mempertanyakan pilihan penulis dalam menggiati sastra. “Tiap bait dan baris puisi dalam buku ini begitu kuat dan potensial disukai banyak orang apabila ia tidak hidup di bawah payung bernama puisi panjang seperti buku ini. Kenapa penulis tidak mengeluarkan tiap bagian dan mengolahnya jadi karya-karya yang tidak kaya tafsir seperti Hujan Turun dari Bawah?” Jujur, saya bingung bagaimana menanggapi  telaah Dedi—meskipun saya memang tidak harus menanggapi. “Sudahlah, kenapa tidak menulis biasa-biasa saja!” pungkasnya untuk kemudian membuat suasana gerr.

Buku Puisi Hujan Turun dari Bawah

 

Mendengarkan pembacaan-pembacaan yang serius dan putus asa (tentu Anda tahu ke mana label ini saya tujukan. Dedi, peace ah!) sungguh mengayakan saya sebagai pengarang, sebagai kreator, sebagai ibu yang melahirkannya. Pembacaan-pembacaan model di atas sungguh layak diapresiasi sebagai wujud perayaan intertekstualitas anak muda atas keragaman perspektif yang berangkat dari puisi yang kadangkala kerap ditarik ke wilayah yang lebih homogen untuk memudahkan analisis, menyambung tiap anak rantai, atau mencari benang biru.

Secangkir sanger yang baru disajikan

 

Selintas saya berandai-andai hidup di zaman mereka. Bersastra di usia muda, mendapat mentor yang memaksa mereka menemukan diri sendiri macam Bang Hasan, plus memiliki tempat ngumpul yang asyik seperti Aceh Corner. Sayang sekali, kalaupun saya memundurkan masa, kenyataannya tetap berbeda. Saya baru mulai menulis di usia 25 alias beberapa tahun setelah menggondol gelar S.P. (P = Pertanian, bukan “Penulisan”, huahaha!), itu pun ketika saya sudah kembali ke Lubuklinggau, kampung halaman yang tak menyediakan mentor tempat saya mengadu, plus saya juga memang tak suka nongkrong di kafe sebab waktu itu tak ada kafe di Lubuklinggau. Tapi, baiklah, untuk urusan yang terakhir, anggap saja ada kafe, tapi buat apa pula saya ke kafe kalau tak ada sanger nikmat macam di Aceh Corner—eaaa!***

Bennyinstitute, 29-1-2019

Comments
Loading...