education.art.culture.book&media

Sepenggal Kisah Persahabatanku

Langit senja mulai berselimut mendung tipis tampak gerimis lembut berjatuhan membasahi senja yang masih belia. Aku yang tengah menikmati suasana itu, dikejutkan dengan dering ponselku di atas meja. Aku pun bergegas mengambil handphone yang beberapa kali berdering, sebuah panggilan masuk.

“Hallo Sari, apa kabar?”

“Hallo, Re. Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar?”

Alhamdulillah, baik juga Sar.”

“Oh iya, kamu lagi sibuk atau tidak?”

“Tidak Sar. Ada apa?”

“Aku mau cerita sama kamu. Sebenarnya, aku sama dia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.” ujar Sari dengan nada sedih.

“Mengapa? Ada masalah apa, bukannya hubungan kalian baik-baik saja?” tanyaku penasaran.

Dia menceritakan segala keluh kesahnya kepadaku. Menjadi pendengar yang baik, itulah yang kulakukan saat itu. Aku berusaha untuk menghibur dan menguatkannya. Bagaimana tidak? Aku dan dia bersahabat sejak lama. Sari Riyani, itulah namanya. Dia baik, cantik, dan biasa dikenal sebagai gadis yang pendiam. Dia sosok sahabat yang baik yang pernah aku kenal. Banyak orang bilang kami kembar tapi tidak seiras, bahkan teman-teman yang lain sering tertukar dalam memanggil nama kami. Padahal sangat jelas bahwa nama kami berbeda. Rere dan Sari, kedua nama yang tidak ada kemiripan, bukan? Namun karena kedekatan kami, itulah sebabnya aku sering dipanggil dengan sebutan Sari oleh teman-teman yang lain. Begitupun sebaliknya.

Mentari pagi telah menampakkan wajahnya di ufuk timur, ketika itu kami harus memulai hal yang baru. Hari pertama duduk di kelas VII SMP. Adaptasi? Tentu saja, itu hal pertama yang harus dilakukan. Namun kebetulan aku dan Sari, satu kelas. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk duduk sebangku. Sejak SD, Sari selalu duduk sebangku denganku. Ya! Dapat dikatakan, kami memang seperti saudara kembar. Bosan? Tentu saja tidak, kami merasa bahagia jika harus duduk sebangku. Suatu ketika, salah seorang teman menyapa kami saat hendak masuk ke kelas.

“Kalian kembar, ya?” tanyanya.

“Kembar tapi tidak seiras, mempunyai ibu dan ayah yang berbeda.” jawabku sambil tersenyum.

Lagi-lagi, kami dibilang kembar. Bagaimana tidak? Pakaian kami sama persis, mulai dari baju, jilbab, sepatu, tas, dan sebaginya. Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Terkadang, aku menjadi seseorang yang gila saat bersamanya. Kami selalu bertukar cerita tentang suka duka yang pernah kami alami. Lambat laun silih berganti, aku dan Sari telah lulus SMA. Ketika itu juga, kami harus berjauhan demi menggapai cita-cita. Aku melajutkan pendidikan tinggi, begitupun dengan Sari.

Awal masuk kuliah, Sari masih sering cerita tentang keluh kesah yang pernah ia alami di kehidupannya sekarang. Lima bulan berlalu, aku dan Sari tidak pernah bertemu. Rindu? Tentu saja aku merindukannya. Aku selalu menunggu kedatangannya, hingga akhirnya kami bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Begitupun dengan Sari, ia selalu menyapa dan pergi ke tempat ku meski ia baru saja tiba di rumahnya.

Suatu ketika, Sari mengajakku ke sebuah tempat. Tanpa memikirkan hal apapun, aku langsung mengiyakannya. Hingga akhirnya, aku dan Sari pergi ke tempat yang telah dijanjikan.

“Rere.” (tiba-tiba sudah di depan pintu kamarku)

“Eh Sari, ada apa?” tanyaku sambil tersenyum.

“Besok, kita pergi yuk! Mau kan?” tanya Sari seolah memaksaku, untuk mengiyakannya.

“Tentu saja aku mau.” jawabku sambil tersenyum.

“Siap, besok aku kabari lagi ya.”

“Siap, cerewet.” ujarku sambil tertawa, dan Sari pun ikut tertawa.

Aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama sahabatku. Sesampainya di tempat itu, kami tidak lupa untuk mengambil foto dan mengabadikan moment yang indah tersebut. Tanpa terasa langit senja mulai tiba, aku dan Sari segera pulang. Beberapa bulan kemudian, kami kembali berpisah. Meski harus terhalang oleh jarak, semuanya berjalan baik-baik saja hingga memasuki awal tahun ke lima belas persahabatan kami. Namun siapa sangkah dia berubah, tidak seperti sabahat yang dulu pernah aku kenal. Beberapa bulan terakhir ini, semua terasa begitu berbeda. Tentu aku paham tentang hal ini, setelah meninggalkan bangku sekolah, kami mempunyai kesibukan masing-masing. Bertemu? Hal yang sangat sulit dilakukan, bahkan membalas pesan pun butuh beberapa waktu.

Di suatu waktu, dia pulang ke kampung halaman. Kali ini berbeda, tidak seperti biasanya. Dia tidak menyapaku, bahkan tidak ke rumah untuk bertemu denganku. Sedih? Sudah pasti itu yang aku rasakan. Kamu tahu, apa yang lebih tidak aku sukai dari dia? Setiap berkumpul dengan teman-teman yang lain, dia tidak pernah lagi mengajakku. Bahkan beberapa hari yang lalu, mereka pergi ke sebuah tempat tanpa memberitahu dan mengajakku. Padahal, aku tentu ingin ikut bersama mereka. Namun, aku tidak tahu apa-apa tentang rencana yang mereka buat. Mereka dengan sengaja tidak mengajakku, dan hal ini sering mereka lakukan. Kecewa? Tentu saja, tangisku pecah di sebuah sudut kamar. Aku tidak percaya mereka melakukan semua ini kepadaku, terutama Sari. Dia berubah! Apa salahhku? Mengapa mereka seperti menjauhiku? Lantas, apa yang harus aku lakukan? Aku merasa telah kehilangan sahabatku. Ini sangat mengganggu pikiranku, namun aku berusaha untuk menerima segala realita yang ada. Kamu tahu apa yang lebih sakit? Ketika berada dalam posisi yang entah benar atau salah. Tapi percayalah, aku hanya ingin semuanya baik-baik saja dan aku akan tetap merindukan kalian, terutama dia sahabat kembarku.

 

SELESAI

 

Bio: Lia Fuchia adalah nama pena dari pemilik nama asli Julia Santi. Putri bungsu dari tiga bersaudara. Biasa dikenal sebagai gadis sederhana, yang mencoba mengekspresikan diri dalam dunia sastra. Dan menempuh pendidikan di STKIP PGRI Lubuklinggau dengan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

 

Comments
Loading...