education.art.culture.book&media

KAKEK KOLONG JEMBATAN (Tugas BWC #3)

Hujan begitu bersemangat membasahi bumi di akhir bulan Mei tahun ini. Rintiknya masih setia menghujani atap rumahku yang terbuat dari seng. Padahal ini masih bulan Mei, mengapa hujan masih turun? Bukannya aku tak menyukai hujan, salah besar bila ada yang mengatakan aku tidak menyukai hujan karena faktanya adalah aku begitu menyukai hujan setelah kejadian itu, suatu kejadian yang tak ingin kutuliskan dalam cerita ini sebab banyak yang bilang bahwa masa lalu jangan diingat kembali jika tidak ingin gagal move on. Gagal move on? Ya, gagal move on, kalian pasti tahu kan bila kata move on berarti kejadian tersebut adalah kejadian bersama mantan. Jadi, tolong jangan lagi membahas perihal mantan, intinya adalah aku menyukai hujan tapi kali ini hujan turun di saat yang tidak tepat. Lampu yang padam dilengkapi dengan gemuruhnya petir begitu terasa menyeramkan bagiku malam ini.

Namaku Milea, tapi aku bukanlah Milea dalam film Dilan 1990. Aku ini adalah Milea zaman milenial. Milea adalah nama panggilan yang diberikan oleh teman-temanku semenjak boomingnya film Dilan 1990 dengan tokoh Milea dan Dilan yang mampu memporak-porandakan perasan kalangan remaja seusiaku. Akibat film itu, nama tengahku diplesetkan menjadi Milea padahal nama lengkapku adalah Septa Mila Sari. Aku orangnya cuek dan galak, kegalakanku melebihi galaknya Kak Ros dalam film Upin dan Ipin, jadi kuperingatkan kepada kalian untuk tidak bertanya aku sekolah kelas berapa, sebab aku sudah cukup muak mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Aku telah berusia 18 tahun, sudah cukup tua bukan? Aku menempuh pendidikan di STKIP-PGRI Lubuklinggau yang biasa dikenal dengan sebutan Kampus Cemerlang Kota Lubuklinggau, dengan mengambil Jurusan Bahasa dan Seni tepatnya program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Malam ini aku terjebak dalam zona yang paling tak ingin kualami, jika dianalogikan dengan kamus anak alai zaman sekarang, mungkin istilah gabut sangat cocok untuk menggambarkan kondisiku saat ini. Dari selepas isya hingga jam dinding kamarku menunjukkan pukul 22.00 malam, aku hanya bergelung dengan selimut sembari memeluk guling berwarna biru kesayanganku. Tidak ada yang dapat kulakukan selain membuka aplikasi whatsapp dan instagram. Tapi, yang namanya jomblo ya begini. Membuka aplikasi whatsapp tapi tidak ada yang chat satu pun kecuali grup kelas dan grup HMJ Bahasa dan Seni.

Jari jempolku menari-nari di atas layar beberapa inchi milikku, berusaha untuk mengikuti alur pembicaraan dalam grup itu. Aku hanya dapat tersenyum ketika membaca isi percakapan kedua grup itu. Tak ada niat untuk bergabung sebab aku telah tertinggal jauh dari topik percakapan. Tarian jempolku akhirnya berhenti pada bulatan kecil yang dilengkapi dengan nama My Brother yang terpampang di deretan snap akun wa yang tersimpan. Dari bulatan kecil itu aku menebak bahwa saudaraku itu baru saja usai memposting sebuah photo. Rasa penasaran menyelimutiku, akhirnya aku menyentuh bulatan kecil itu. Dan hasilnya adalah, postingan sebuah photo kakakku bersama seorang kakek tua yang tersenyum lebar dengan sebuah karung putih di sebelah ia duduk. Keningku mengernyit, sepertinya aku tidak asing dengan wajah kakek itu.
“Ehh, bukannya kakek ini adalah kakek yang sering duduk di atas jembatan perbatasan?”

Sekelebat bayangan muncul di benakku. Ketika setiap pagi aku berangkat ke kampus, aku selalu menemukan sosok itu. Sosok kakek yang setia menenteng karung putih di pundaknya dan selalu duduk di atas jembatan perbatasan antara Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas ketika aku pulang ke rumah. Terkadang, aku mendapati kakek itu menunduk sembari memasukkan beberapa botol aqua ke dalam karung putih yang setia menemaninya atau sedang duduk sambil menatap lurus ke seberang jembatan yang sedikit retak di bagian pinggirnya itu, entah apa yang dipikirkannya. Tak mau ambil pusing, aku menarik selimut orange milikku sambil berusaha memejamkan mata agar jiwaku segera terbang ke dunia mimpi.

Fajar mulai menyingsing, dinginnya udara terasa begitu menusuk kulitku ketika tirai kamar tersibak. Rintik-rintik hujan sisa semalam masih menetes, menciptakan sebuah lobang di atas tanah berpasir di samping kamarku. Aku mengambil handphone yang biasanya kuletakkan di bawah bantal sebelah kanan. Setelah ketemu, aku langsung membuka aplikasi whatsapp dan langsung mencari snap akun wa milik kakakku. Sekali lagi, aku memperhatikan dengan lekat wajah tua yang terpampang di layar kecil depan mataku. Setelah puas, aku langsung bergegas mandi agar tak terlambat ke kampus sebab hari ini kampusku sedang mengadakan ujian akhir semester genap.

Kini pakaianku telah rapi untuk ke kampus, setelah memakai sepatu berbahan karet milikku, aku segera menunggu kereta kencana yang selalu mengantarku untuk menuntut ilmu. Beberapa menit menunggu, sebuah kereta kencana berwarna kuning yang biasanya dikenal dengan istilah angkot menghampiriku. Aku segera naik dan duduk di sisi kiri angkot yang ada jendelanya agar dapat melihat sosok kakek yang semalam sempat mengusik malamku. Ternyata dugaanku meleset, aku menduga kakek itu sedang mengumpulkan botol-botol aqua di pinggir jalan dekat jembatan, namun ternyata kakek itu sedang duduk di atas jembatan sambil memakan sesuatu dari dalam plastik berwarna hitam, di dekatnya ada sebuah karung plastik yang sepertinya telah terisi separuh. Esok harinya masih sama seperti hari kemarin, aku memperhatikan Sang kakek dari dalam angkot. Rasanya ingin sekali aku bertanya di mana kakek itu tinggal. Hal itu kulakukan selama beberapa hari, namun tidak pada hari ini, aku tidak menemukan sosok kakek tua renta yang telah berhasil menyita perhatianku ketika berangkat ke kampus, begitu pula dengan sore harinya. Kemanakah kakek itu?

Malam ini aku sangat mengantuk, mata kuliah yang mendapat jadwal ujian sore hari begitu melelahkan otakku. Namun aku belum hendak tidur sebab malam belum menyentuh waktu isya. Kubuka galeri dan aku mendapatkan sebuah video singkat yang entah darimana ku dapatkan, yang aku tahu video itu telah ada di galeriku dan video itu berisi percakapan antara dua laki-laki dengan kakek yang belakangan ini mencuri perhatianku. Mataku membulat ketika mengetahui bahwa kakek itu ternyata tinggal di kolong jembatan perbatasan itu. Bagaimana bisa ia tinggal di bawah jembatan yang dihiasi dengan sampah-sampah itu? Bagaimana jika ia sakit, siapa yang akan mengurusnya? Kemana keluarganya? Kemana istrinya? Kemana anaknya? Kemana pemerintah? Arghhh, semuanya berkecamuk dalam benakku. Lalu ku share video tersebut dengan harapan agar sampai kepada keluarganya, siapa tahu kan keluarganya selama ini mencari keberadaan kakek tua itu.

Respon positif kuterima dari postingan di snap wa ataupun dari grup-grup yang kubagikan video tersebut. Ada yang kasihan, ada yang langsung memposting video tersebut, ada pula yang langsung menggerakkan komunitas yang ia miliki untuk membantu kakek tersebut. Mengetahui itu, aku mengirimkan video tersebut ke grup twestter. Sebuah grup wa yang mulanya adalah grup kelas ketika kelas XII dulu. Sebuah ide muncul, bagaimana bila kami mengunjungi kakek itu untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupannya?

Sebelas Juni 2018, setelah diskusi yang pada akhirnya menemukan titik terang, kami mengunjungi kakek tersebut. Sang surya begitu kejam siang ini, panasnya menembus pakaian berwarna maroon yang menjadi dresscode buka bersama hari ini. Setelah puluhan langkah kaki diayunkan, tibalah kami di jembatan perbatasan. Kamera sudah siap, kami berencana akan memvideokan bagaimana suasana di kolong jembatan itu sekaligus bertanya seputar kehidupannya. Mataku mencari-cari keberadaan kakek tersebut dari tangga, namun yang kutemukan ialah bekas perapian dan karung yang berisi botol aqua serta beberapa botol minuman khas lebaran. Muncullah sebuah kepala dengan senyuman lebar menghiasi, rupanya itu adalah kakek yang kucari. Kami langsung menghampiri kakek tersebut. Bau yang begitu wangi bak semerbak mewangian bunga bangkai seketika menusuk hidung ketika kaki ini melangkah menuju anak tangga terakhir. Oh Tuhan, bagaimana bisa kakek ini bertahan dalam kondisi seperti ini?
“Assalamualaikum, Nek ”
“Waalaikumussalaam”
“Namelan, Nek?”
“Col, dang ngolek. Palakku peneng”
“Nah ngape, Nek? Puase dak?”
“Dak, dak puase ku dak tan”
“Bedu makan lom, Nek?”
“Dem pagi di”
“Padeklah men dem. Kak nah ade makanan, Nek. Kami beli gok belete.”
“Oy mekaseh ya, benyak leh yang njok ku kak makanan selame kak. Alhamdulillahnya”
“Ao, Nek. Men boleh tau, ngape laju acak tinggal gok hikak? Ape col umah, Nek?”
“Ade umahku bilek ni, dak halah-halah umahku beso a tapi lah dijual homaku”
“Mek kak mane homa Nenek?”
“Lahai ye, ye mek kak gok Taba Pingin, sen a diunde a gele, yang dinjok nganku dikitnya”
“Ya Allah, keluargo yang lain mane, Nek? Ade anak ape col, Nek?”
“Ade, sepoloh anakku kak entah di mane, keluargo yang lain col yang peduli a. Lah lime taon ku gok hikak, ilek ni gok herang jembatan tu a, tapi men ayo meluap besah gale laju pindah hikak”
“Ay ya Allah, laju men ayo nyerap mijo tido, Nek?”
“Men ayo nyerap, ku naek ke tangge, men nak mandi kayo. Hitu a jalan a men nak kayo. Terval ngan tikar ku unde ke tangge”

Begitulah percakapan singkat yang begitu mengiris hati, hampir saja buliran bening menetes tanpa permisi. Setelah berpamitan kami beranjak meninggalkan kolong jembatan yang menjadi saksi perihnya kehidupan ini. Esok harinya aku kembali mengunjungi kakek Kadir, namun kali ini dengan orang-orang yang berbeda. Cerita-cerita yang begitu menyayat sanubari mengalir dari mulut kakek Kadir. Bagaimana ia berjuang mempertahankan hidupnya hanya dengan hasil bekerja sebagai memulung atau dari pemberian orang lain. Apalagi ketika tiada rezeki yang ia dapatkan maka kakek tua itu akan memakan makanan yang telah dibuang di tempat pembuangan sampah. Ini bukanlah sebuah cerita rekayasa, sebab ketika kami di sana ada sebuah plastik yang berisi gorengan yang sudah berulat. Kakek tua renta itu menceritakan kehidupan yang ia alami selama tinggal di kolong jembatan. Tentang kesedihannya ketika ia ingin ke masjid, sebab anak-anak akan ketakutan kemudian berlari menjauhinya atau tentang keinginan kakek Kadir yang begitu mendambakan sebuah sajadah. Ya Tuhan, apakah harus begini pedihnya kehidupan kakek ini?

“Nek, kak ade behas untuk Nenek masak nasi men lapo, ade boxer ngan handuk leh untuk mandi. Ade sabun colet untuk nyesah beju, kak ade tikar untuk tido”
“Ao mekaseh ya, kak a unde lah minoman same roti kak a, ku dak cak makan a”
“Ay dak usah Nek, kami puase. Kak ada beju muslim, ade celano, ade peci leh. Nah dipakai untuk lebaran kak lek ye, ade teropa leh, Nek . Men lah dipakai lek, col ade gi wang belehai men temu ngan Nenek”
“Ao mekasehnya, sajadah a ade dak?”
“Nah sajadah a lom beli, Nek”
“Ay ku naknya sajadah tu kan acak heyang men lebaran lek”

Tuhan, rasanya hatiku begitu tersayat mendengar permintaan sederhana kakek itu. Ingin ku berikan sajadah padanya, namun apalah daya, uang pun ku tak punya sementara uang yang telah dikumpulkan teman-temanku hanya bersisa Rp 5.000,- lagi. Namun, rupanya Tuhan tidak pernah membiarkan hambanya terlalu larut dalam kesedihan, entah muncul angin darimana atau mungkin ini yang disebut sebuah keajaiban. Ketika dirundung kebingungan atas permintaan sederhana dari Kakek Kadir, ada saja cahaya yang mampu melengkungkan senyum ini. Rp 100.000,- diberikan oleh temanku yang baru datang ketika ia mendengar bahwa kakek Kadir begitu menginginkan sebuah sajadah untuk hari raya nanti. Akhirnya sajadah bewarna cokelat menjadi milik kakek Kadir. Senyumnya semakin lebar, pertanda bahwa ia bahagia. Namun, satu pertanyaan yang memenuhi rongga kepalaku, lebaran nanti kakek Kadir merayakannya dengan siapa?
Raja siang mulai mengundang senjanya, pertanda waktu kami bercengkrama sudah berada pada tanda titik. Kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia yang tiada tertakar jumlahnya. Esok harinya ketika melewati jembatan perbatasan, ku dapati kakek Kadir sedang duduk sambil mengenakan seragam lebarannya yang masih baru, tersenyum sambil menatap lurus ke seberang jembatan. Nampaknya kakek itu begitu menyukai seragam lebarannya. Aku pun tersenyum, tak menyangka bahwa hal sederhana yang kami lakukan mampu ciptakan kebahagiaan.

Seminggu berlalu, sore ini aku berniat membeli bahan-bahan untuk membuat kue lebaran bersama saudaraku. Dari kejauhan aku melihat kakek Kadir yang dalam bahasa sindang kami panggil Nenek itu duduk di atas jembatan. Ketika melewatinya, aku melambai sambil berteriak memanggilnya, berharap ia masih mengingatku. Tapi ternyata kakek Kadir membalas lambaianku dengan melambaikan tangannya sembari tersenyum lebar, mungkin itu adalah senyum yang sama dengan senyuman bahagia ketika ia mendapatkan sajadah waktu itu. Begitu bahagianya, Tuhan. Rupanya ia masih mengingatku. Malam ini aku tiba-tiba mengingat senyuman kakek itu. Penyesalan menghantuiku, mengapa ketika lebaran aku sama sekali tak mengingat sosok kakek yang sempat menyita perhatianku? Mengapa aku terlarut dalam kesenangan bersama sahabat-sahabatku dan melupakan sosok tua renta yang sebatang kara di kolong jembatan itu? Arghh Kakek, maafkan aku.

Pagi ini aku akan ke kampus, ada urusan yang harus diselesaikan. Seperti biasanya, aku akan duduk di dekat jendela angkot agar dapat melihat kakek Kadir, namun jembatan itu sepi. Tiada sosok kakek tua renta yang biasa duduk di atasnya. Kucoba untuk berpikir positif, mungkin kakek Kadir masih di kolong jembatan. Beberapa hari berlalu, setiap berangkat ke kampus aku tak pernah mendapatkan sosok kakek yang biasanya menghiasi jembatan perbatasan. Belakangan ini bayangan kakek itu tersenyum selalu muncul dalam mimpiku, termasuk malam ini. Entah mengapa bayangannya ketika tersenyum lebar saat mendapatkan sajadah itu tiba-tiba muncul dalam benakku.

“ *Polsek Lubuklinggau Selatan mengevakuasi kakek Akbar yang ditemukan meninggal di bawah jembatan* *Lubuk Kupang. Minggu, 29 Juli 2018. Sumber: Kapolsek* *Lubuklinggau Selatan. #linggauterkini”*

Bagai ditikam dengan belati, screenshoot berisi postingan di akun instagram linggauterkini yang dikirimkan temanku itu mampu meneteskan buliran bening yang selama ini kutahan. Bagaimana tidak? Sosok kakek yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku dinyatakan meninggal dunia. Segala memori bersama kakek itu menyeruak, memenuhi kepalaku yang sedikit pusing akibat menangis. Bayangan raut wajahnya yang sedih ketika meceritakan kehidupannya seakan muncul di depan mataku. Senyuman lebarnya ketika mendapatkan sajadah baru untuk lebaran seakan terasa begitu nyata. Rasanya aku tak percaya, namun puluhan orang mengucapkan belasungkawanya atas kepergiaan kakek Kadir membuatku harus menerima kenyataan bahwa kakek yang biasa duduk di jembatan perbatasan itu telah tiada. Aku tak mengenalnya, apalagi memiliki hubungan kekerabatan dengannya tapi entah mengapa kepergian kakek ini begitu sulit untuk diikhlaskan. Mungkin setelah ini, jembatan perbatasan akan terasa sepi bagiku.

Kepergiaan sosok kakek yang bernama lengkap Ahmad Kadir yang lahir 68 tahun silam di daerah Rantau Serik ini menimbulkan tanda tanya besar akan misteri dan kebenaran cerita kehidupannya. Sosoknya yang sudah tua dengan perangai yang suka bercanda itu pernah menampar perasaan masyarakat Kota Lubuklinggau dan sekitarnya. Satu pelajaran yang dapat kupetik dari kehidupan kakek ini adalah kasih sayang orang tua tiada mampu untuk diukur dan kasih sayang orangtua tiada sanggup dibalas, satu ayah mampu menghidupi sepuluh anak namun sepuluh anak belum tentu mampu menghidupi satu sosok ayah.

Pedang, 30 November 2018

Comments
Loading...