education.art.culture.book&media

SERIBU DELAPAN RATUS HARI (Tugas BWC #3)

  Awan putih mulai menghitam, angkasa yang biru merubah ronanya menjadi kelabu. Nampaknya sebentar lagi istana sederhanaku akan kedatangan tamu yang biasanya mampir ketika hujan turun. Segera ku amankan barang-barang yang berserakan di lantai, ku letakkan beberapa baskom yang lumayan besar di beberapa titik rumah, termasuk di bagian kiri kasur kecil yang menjadi tempatku melepaskan penat. Biasanya ketika hujan mengguyur bumi, aku selalu berharap ada orang baik yang meletakkan bakso, model ikan ataupun makanan berkuah di depan pintu kontrakanku, sehingga aku dapat merasakan hangat meskipun udara yang menusuk kulitku begitu dingin. Namun kali ini harapanku tidak muluk-muluk, kali ini aku hanya berharap untuk dapat tidur nyenyak dan terbangun dengan keadaan yang tidak basah kuyup seperti beberapa hari yang lalu.
Namaku Sari, lengkapnya Intania Putri Sari. Usiaku saat ini telah menginjak kepala dua, tepatnya 22 tahun dua bulan dua puluh tiga hari. Sekarang aku sedang memperjuangkan masa depanku melalui pendidikan di salah satu fakultas kedokteran yang ada di Kota Bandung. Aku lahir di sebuah desa yang bertengger di ketinggian 2.150 meter di atas permukaan laut, desa Ngadas namanya. Sebuah desa yang merupakan desa tertinggi di pulau Jawa dengan panorama alamnya yang begitu memanjakan netra, sebuah desa yang diapit oleh ngarai di lereng Gunung Bromo, Jawa Timur. Di desaku, dapat ditemukan kabut yang melayang dengan begitu anggunnya, keindahan angkasa seolah-oleh terpahat jelas dari desaku, hal itu menjadikan desaku bak mengapung di antara awan.
Aku adalah seorang anak rantau yang tak pernah berhenti bermimpi, sebab bagiku semua orang berhak dan wajib bermimpi dalam hidupnya. Entah itu bermimpi menjadi dokter selayaknya mimpiku, bermimpi menjadi penyanyi terkenal, bermimpi menjadi dosen di luar negeri, bermimpi menjadi saudagar kaya raya, bermimpi menjadi penulis, ataupun bermimpi menjadi presiden, semua orang berhak. Guruku semasa SMA sering mengatakan padaku agar bermimpilah setinggi mungkin selagi mimpimu masih kalah tinggi oleh tingginya langit. Kalimat sederhana namun penuh arti itu menjadi penyemangat untukku menggapai mimpi menjadi seorang dokter, tak perduli apa yang orang katakan tentang mimpiku, sebab yang aku tahu ini adalah hidupku, ini adalah mimpiku, dan mimpiku akan kupersembahkan untuk saudara-saudara setanah airku yang berasal dari golongan kurang mampu sepertiku.
Meski banyak yang mengatakan bahwa wajahku sama sekali tidak terlihat wajah-wajah orang yang akan menjadi seorang dokter atau mengatakan bahwa otakku tak akan mampu menampung pelajaran tentang kedokteran sebab dokter bagi mereka adalah orang-orang yang cerdas dan dianggap sebagai kaki tangan Tuhan dalam penyembuhan. Bagi mereka, aku tak layak menyandang gelar itu. Tapi tidak bagiku, aku yang keras kepala dan dilengkapi dengan perangai yang tak ingin diremehkan menjadikanku terdampar di sini, sebuah rumah kontrakan sederhana yang menjadi saksi perjuanganku menggapai mimpi sekaligus membungkam mulut-mulut yang sempat meremehkanku seribu delapan ratus hari yang lalu. Rumah kontrakan yang merekam segala hal tentangku selama menjadi mahasiswa dan buruh cuci untuk menyambung nyawaku di tanah rantau ini.

   Tetesan-tetesan banyu penuh berkah mulai berjatuhan, tanah yang kering perlahan-lahan menjadi basah, udara yang dingin terasa menusuk tubuhku yang mungil. Jalan setapak di samping kamarku begitu sepi, memberikan kedamaian dalam hatiku. Ku ulurkan tangan melewati jendela kayu, kurapatkan sepuluh jariku di bawah derasnya hujan agar dapat menangkapnya, padahal aku tahu bahwa air itu akan tetap mengalir ke bumi melalui sela-sela jariku. Sejumput memori yang terjadi dua pekan sebelum seribu delapan ratus hari yang lalu berkelebat dalam pikiranku. Sejumput memori tentang pertengkaran hebat antara aku, Ibuku dan Ayahku. Pertengkaran yang bermula dari penyampaian keinginanku melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi yang ditentang keras oleh ibuku. Ibu menginginkanku menjadi pedagang makanan seperti yang digelutinya saat ini di desaku, mengingat desaku menjadi salah satu tempat wisata di Jawa Timur.
Hinaan tetangga akan mimpiku yang dianggap terlalu tinggi mampu menanamkan rasa enggan untuknya membiarkanku ke Bandung. Ditambah dengan kondisi ekonomi yang hanya berada pada angka pas-pasan membuat Ibu seakan mendapatkan alasan yang tepat agar aku tetap di desa dan melupakan mimpiku menjadi seorang dokter. Aku sempat menyerah akan cita-citaku ketika melihat raut wajah tuanya yang meneteskan air mata ketika mendengar hinaan dari tetanggaku. Namun, ayah melarangku untuk mengikuti keinginan ibu yang berarti bahwa aku menyerah untuk menggapai mimpiku dan mengaku kalah akan keadaan. Ayah ingin aku dapat hidup lebih baik, tidak menjadi sepertinya yang hidup susah di masa tua. Ayah ingin aku melanjutkan pendidikanku ke jenjang lebih tinggi agar menjadi wanita terhormat, berpendidikan, dan mampu mengangkat martabat keluargaku.
Aku sangat bingung saat melihat kedua orangtuaku bertengkar setiap hari karena keinginanku. Kebimbangan melanda, di satu sisi aku tak hendak berada jauh dari ayah dan ibu namun di sisi lain aku harus memperjuangkan mimpiku. Hal itu membuatku membulatkan tekad untuk kabur dari rumahku sebab aku tak sanggup untuk berpamitan, aku takut tekadku runtuh ketika nanti berhadapan dengan ibu. Saat itu jam menunjukkan pukul 23.20, mendekati tengah malam. Bermodalkan tekad dan pakaian secukupnya di ranselku aku membuka pintu rumah perlahan-lahan.

“Kamu mau kemana ndok?”
Suara yang tak asing terdengar di telingaku, suara serak khas ayahku membuatku menghentikan kegiatanku untuk membuka pintu. Ku harap tak ada ibu di samping ayah.

“Pak, Sari izin ke Bandung yo. Bapak sama Ibu jogo diri baik-baik yo”
“Bapak izinkan, belajar yang rajin yo ndok, jangan buat malu Bapak karo Ibumu. Jangan pulang sebelum jadi dokter yo, ndak usah pikiri Bapak karo Ibu, insha allah kami iso jogo diri. Jogo kesehatan, ojo lali sholat, mangan ojo telat yo ndok”
“Iyo, Pak. Bapak ojo telat mangan ne yo, Sari pamit. Assalamualaikum”
“Waalaikumussalaam”

Suara dering handphone menyelamatkanku dari kenangan masa lalu yang selalu berhasil membangkitkan rasa rindu. Nampaknya hujan sudah puas membasahi bumi, namun tanganku masih terulur ke luar jendela seperti tadi. Segera ku tarik tanganku dan ku keringkan dengan rok abu-abu yang kukenakan, jari jempolku menari-nari di pipi kiri dan kananku, menyesap buliran bening yang tanpa permisi menjelajahi pipi gembilku. Nama Riska Sipit tertera di layar handphone, arghh rupanya gadis asal Medan ini yang menyelamatkanku dari rindu.
“Assalamualaikum”
“Kesasar yuhuuuuu”
“ Jawab salam dulu sipit”
“Eh iya, waalaikumussalaam kesasar yang suka nyasar di pasar”
“ Rubah namaku siap-siap potong kambing”
“Huwaaa opung, Saridon ngamuk”
“Sekali lagi ganti namaku, siap-siap tanganmu terkena jurus cubitan maut”
“Bahh sadis kali kau, gadis tua nanti kau ini”
“ Udah deh Medan, mau ngomong apa?”
“ Informasi penting lah ini, kau harus ucapkan selamat denganku kalau dengar ini”
“To the point atau auto matiin telepon”
“Gadis tua kau nanti, baru rasa”
“1..2..”
“ Oke fine, tadi aku dapat kabar kalau wisudaku dipercepat”
“Hah? Serius?”
“ Lah iya, wisudaku jadi akhir bulan April . Bayangkan, namaku nanti akan menjadi Riska Dwi Putri, SP.PD. Bahagia ya Allah, bahagia banget”
“Alhamdulillah ya, akhirnya mimpimu sebentar lagi terwujud”
“Iyaa kesasar. Congrates juga ya atas wisudanya tadi, selamat menyandang gelar baru. Yuhu udah dulu ya, mau ngabarin orang tua ni. See you bye bye”

Ku letakkan handphone itu dengan lemah, sudut mataku menangkap potret seorang gadis yang sedang mengenakan toga, jubah kebesaran, dilengkapi dengan selempang yang bertuliskan DENGAN PUJIAN, seketika rindu melanda. Kubuka buku diary berwarna merah jambu milikku, terpasang dengan rapi potret kedua orangtuaku di lembar pertama. Ku elus dan ku dekap diary itu, seolah-oleh diary itu adalah kedua orangtuaku. Rasanya ingin sekali ku kabarkan berita bahagia ini kepada bapak di desa, namun aku telah berjanji tak akan pulang ataupun menghubungi bapak dan ibu sebelum ku gapai mimpiku. Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untukku kembali ke kampung halaman.

    Tetesan air mata basahi lembar demi lembar halaman diary, perlahan ku goreskan tinta hitam di lembar yang masih suci. Ku curahkan perasaanku melalui puisi dengan diksi-diksi sederhana.

SERIBU DELAPAN RATUS HARI
-Intania Putri Sari-

Ingin ku dekap bayangmu yang melambai
Namun jemariku terlalu pendek tuk menggapai
Kelebat desiran angin di kaki gunung
Menuntunku tuk setia merenung

Melalui rintik-rintik hujan
Ku titip doa untuk malaikat di kampung halaman
Sekalian kabar bahagia dibalik pahitnya kenangan
Yang mungkin telah mengakar dalam ingatan

Seribu delapan ratus hari
Ku tahan rindu yang begitu menggemuruh
Seribu delapan ratus hari
Ku lewati dengan nyanyian-nyanyian pilu

Seribu delapan ratus hari
Aku bak tualang yang kehilangan kompas
Seribu delapan ratus hari
Bayang wajahmu tak hendak lepas

Seribu delapan ratus hari
Derajat mulia telah tersematkan
Tanpa ada kalimat selamat
Tanpa ada sosok malaikat

Seribu delapan ratus hari

Cukup sudah atmaku menahan pedih

Kini aku kan kembali

Ke pangkuan Ayah dan Bunda terkasih

Bandung, 07 Desember 1999

    Seribu delapan ratus hari telah kulalui, beragam nada-nada pedih anak rantau telah terhafalkan, suka dan duka menjadi buruh cuci telah ku kenyam. Intania Putri Sari, SP.PD. menjadi namaku mulai hari ini. Namun aku tetaplah anak ibu yang akan kembali ke pangkuan ibu dan aku tetaplah sosok Sari yang sederhana yang berasal dari desa dan akan mengabdikan diri ke desa, sebab itu adalah mimpiku. Mimpi seorang anak pedesaan yang dianggap tak layak menjadi seorang dokter. Mimpi seorang anak pedagang yang dianggap terlalu tinggi. Namun satu hal yang pasti, bermimpi adalah hak untuk siapa saja sebab mimpi adalah kunci untuk meraih kebahagiaan bersama orang-orang yang kita sayangi.

Pedang, 07 Desember 2018

Comments
Loading...