education.art.culture.book&media

Ketika Hari Perpisahan Itu Tiba

Apa itu menikah? Apa artinya hidup bersama? Jika akhirnya kita saling meninggalkan. Banyak yang ingin aku tanyakan, tetapi ketika aku melihat kenyataanya. Aku memilih untuk tidak beranya lagi.

Dikejauhan tampak seorang wanita mudah, yang kesusahan berjalan. Karena seperti sedang hamil tua. Ku ikuti terus dengan kedua mataku. Ketika perempuan itu menyandarkan bahunya kepada lelaki, yang baru saja memporak-porandakan hatiku.

Sebenarnya jauh hari aku telah benar-benar ikhlas, Jika memang sampai disini saja pernikahan ku dengannya. Namun bukan hanya kehilangan suami saja putraku juga meninggalkanku. Dengan alasan Ayahnya hanya meninggalkan aku saja, tapi tidak dengannya. Ku pikir anakku akan menjadi kekuatan ku satu-satunya disaat aku kehilangan gairah hidupku. Namun ia juga ikut mejadi senjata yang menyerang perasaanku tanpa ampun.

Mungkinkah putraku masih terlalu remaja? Sehingga ia tak paham apa itu perpisahan, apa itu kehilangan, dan apa itu penghianatan. Sungguh sakit sekali rasanya. Ayahnya jelas-jelas melukaiku, namun putraku terus terang membelanya.

“Bunda, Alfin mohon jangan tuntut Ayah, dan Alfin mohon jangan tuntut hak asuh. Kasihan Ayah Bunda.”

Ya aku memang sengaja datang, kerumah ini. Rumah wanita yang telah mengambil suamiku. Andai sakit hati ku turutkan tak akan sudi aku kemari, namun ada putra ku disini bagaimana bisa aku tak memaksa diri ke sini?

“Sayang Bunda rindu. Alfin apa kabar?”

Ku rentangkan kedua tanganku berharap putraku akan memelukku, seperti saat-saat manis sebulan yang lalu sebelum badai datang. Sebelum aku tahu seamiku tercinta telah menikah lagi secara diam-diam dibelakangku.

Anakku, dia mundur menghindariku. Air mata yang sekuat tenaga ku tahan, akhirnya lolos sederas-derasnya.

“Alfin……” Suara ku terasa tercekat. Dijauhi anak rasanya jauh lebih sakit dari dikhinati suamiku.
“Berjanji dulu sama Alfin. Kalau Bunda tidak akan menuntut ayah, berjanji dulu sama Alfin kalau bunda tidak akan merebut hak asuhku dari Ayah, dan yang terakhir jangan sakiti mama Tiara.” Alfinku berbicara sedikit berteriak. Seumur hidup baru kali ini ia membentakku..

Secepat itukah manusia berubah? Bahkan putraku yang ku lahirkan dengan bertaruh nyawa mati-matian ku cukupi kebutuhannya hingga 14 tahun usianya sekarang, karena nafkah dari Ayahnya sungguh tak mencukupi di jaman yang super canggih ini. Sakit perih dan luka ini yang semakin menganga aku menanggis sejadi-jadinya, namun putraku hanya diam menatapkku.

“Alfin! Sebegitu tega alfin terhadap Bunda? Alfin tahu, bersusah payah Bunda bisa meyakinkan diri menginjakkan kaki ditempat yang menjijikan ini, tapi apa yang bunda dapatkan? Alfin seperti tak ingin bunda disini ?”

“Ini bukan tempat menjijikan Bunda! Ini rumah Ayah, ini rumah mama. Karena Bunda mengusir Ayah, makanya Ayah memilih tinggal di rumah mama Tiara!”

“Mama??? Kau memanggil wanita itu mamamu? Lalu kau mengabaikan orang yang telah melahirkanmu? Alfin sadar, wanita itu telah menghancurkan keluarga kita kamu bukan anak kecil lagi, mengapa kau tak mengerti juga hah?!!!”

Ku tunjuk wanita murahan itu yang sedari tadi sibuk mengawaasi gerak-gerik ku. Padahal aku hanya menemui putraku, namun mereka seperti memperlakukanku seperti orang jahat, dan mereka menjelma layaknya orang baik yang keamanannya sedang terancam.

Sungguh berat , Tuhan menguji hambanya.

“Selama ini bunda mati-matian untuk hidupmu agar kau tak kekurangan satupun, tapi ini balasannya? Kau tak jauh beda dengan Ayahmu Alfin, Bunda kecewa! Sangat kecewwa!”

Reflek aku sedikit mendorong anakku. Amarah dan kecewa sungguh tak bisa ku tahankan.
Alfin berlari menjahuiku.

“Pergi Bunda, pergiiiiiiii! Aku tak mau melihat Bunda lagi”

Pandangan lebih menyakinkan lagi, ketika putraku meluapkan tangisnya dipelukan wanita itu. Ingin rasanya ku tarik paksa tubuh anakku dan ingin rasanya ku cakar-cakar wanita itu.

Tapi sebuah tangan kasar menyeretku!

“Pergi dari sini, bahkan anakku tak menginginkan mu lagi. Pergi ke rumah mewah mu Rena pergi ketempat yang tak pantas kami menginjaknya. Ini bukan tempatmu!”

Laki-laki yang masih berstatus sebagai suamiku itu mendorongku sangat keras sehingga aku terjatuh. Sementara kutatap putraku yang masih terisak dipelukan wanita itu. Sungguh sakit sekali rasanya, bahkan dalam mimpi pun aku tak sanggup membayangkannya jika hidupku akan seperti ini.

Putraku, suamiku dan kebahagianku di rampas tanpa belas kasihan. Oleh makhluk tuhan yang derajatnya sama denganku. Wanita yang tk pernah berfikir, sesama wanita tidakkah ia merasakan bagaimana rasanya menjadi aku?????

Biodata Penulis
Nama : Amelia
TTL : Sukamerindu, 20 Oktober 2001

Saat ini menepuh Pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia Lubuklinggau ( STKIP PGRI LUBUKLIGGAU) Bercita-cita menjadi guru yang profesional.

Comments
Loading...