education.art.culture.book&media

Mari Memancing

Mari kita mancing!” Satria datang tiba-tiba, berseru dan menepuk meja.
Toto kaget bukan kepalang. Dia mendorong tubuh Satria sambil berkata, “Bisa tidak
sih, kau satu kali saja tidak mengagetkan kami?”
Edwin mendelik, ulah Satria telah memotong ceritanya tadi. Aku sendiri mengusap
dada. Satria malah tersenyum lebar, bahagia melihat kami yang jengkel padanya. Satria
meniru cara Toto memanggil edwin. “Besok kan tanggal merah, jadi malam ini kita
berperahu ke hulu sungai, memancing.”
Kami bertiga diam saja, masih terbawa jengkel.
“Menurut hitung-hitunganku,” Satria berkata serius, “sekarang ini sedang banyak-
banyaknya ikan di sungai.”
“sejak kapan kau pandai berhitung?” Toto bertanya dongkol. Satria itu sudah
mengagetkan, malah sok pintar pula. Toto jelas meragukan hitungan Satria.
“Bukan hitungan matematika kawan. Ini hitungan-hitungan yang diwarisakan para
leluhur, berdasarkan letak bulan dan rasi bintang. Jauh lebih sukar daripada matematika.”
Penuh lagak Satria menerangkan.
Kau tau hitung-hitungan pelaut?” Aku dan Edwin hampir bersamaan bertanya.
Satria mengangguk mantap.
Kau tahu atau pura-pura tahu?” Toto masih sengit.
“ Oi, kalau kau ragu dengan kemapuanku, ikut saja nanti malam. Kita memancing!”
Satria mengeluarkan tantangan.
“ Aku ikut!”
“ Kau ikut, Di?” Toto memandangku tak percaya.
“ Aku mengangguk. Pengalamanku bulan-bulan lalu amat menyenangkan, saat aku
memancing bersama Bapak dan Fatah. Kami memancing sambil mendengarkan suara kodok,
jangkrik di pinggir sungai, dan suara burung hantu dari kejauhan. Jadi, dengan Satria ikut
memancing, aku bisa membuktikan apakah hitung-hitungannya tepat atau tidak.

Tidak perlu berlama-lama, kami sepakat memancing.
Maka, lepas makan malam aku bersiap. Bapak dan Mamak mengizinkan. Tidak ada
yang dikhawatirkan saat anak-anak kampung pergi memancing malam-malam.
Setelah memastikan semua perlengkapan sudah selesai siap, aku melangkah menuju
teras rumah. Aku menuruni tangga lalu menaiki perahu yang telah kusiapkan tadi sore.
“Lama sekali kau, Di.” Toto mengomel saat perahuku mulai merapat di dermaga..
Aku nyengir, tidak peduli. Satria berdiri, diikuti Edwin dan Toto. Mereka menuruni
tangga, menaiki perahu masing-masing.
Malam ini Satria menjadi pemimpin. Perahunya melaju paling depan, sengaja dia
dayung kuat-kuat. Perahu kami terus bergerak ke arah hulu. Kami mengambil jalur agak ke
tepi untuk menghindari aliran arus yang deras.
“ Ini tempatnya,” Malim membawa perahunya ke sisi dahan sebesar betis yang
melintang ke tengah sungai. Kami berada di ujung pohon tumbang yang memenuhi seperlima
lebar sungai. Pohon ini sudah lama tumbang, terbukti dari ranting-rantingnya yang sudah
tidak ada dan pokok kayu yang sudah kering.
Bleb! Suara kecil permukaan sungai yang dijatuhi mata pancing terdengar. Satria
menoleh ke arah kami. Satu telunjuknya didepan bibir, menyuruh kami diam.
Tiga puluh detik kemudian….
“Hebat!” Edwin berseru saat melihat Satria sudah mengentakkan gagang pancingnya,
kemudian tampak menggelepar seekor ikan berukuran sedang.
Satria tersenyum lebar. Dia melepas ikan dari mata pancingnya lalu memasukkannya
ke keranjang bambu yang telah disiapkan. Tak lama kemudian dia sudah melemparkan
kembali mata pancingnya kedalam sungai.
“Tarik, Di! Nanti ikannya bisa lepas!” Toto tampak gemas dengan apa yang aku
lakukan. Kalau saja dia bisa menjangkau pancingku, tentu dia sudah merampasnya.
Malam terus beranjak. Kami terus asyik memancing. Meski tidak seberuntung Satria,
aku, Toto dan edwin juga mendapatkan beberapa ekor ikan beberapa jam kemudian.

Tak terasa mentari pagi pun sudah mulai terlihat sinarnya dari balik pohon, kami pun
bergegas pulan dengan membawa ikan yang cukup banyak tapi terlihat lebih banyak ikan
yang didapatkan oleh Satria karena dia juaranya dalam memancing. Mata sembab dan
mengantuk mengirin perjalanan kami pulang kerumah.
# Ardi Kurniawan. STKIP PGRI LUBUK LINGGAU. Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia.

Comments
Loading...