education.art.culture.book&media

SECARIK KERTAS ADORASI IBU

Tak ada yang abadi kecuali kasih sayang seorang ibu, begitu pepatah bilang. Salah satu figur yang patut ditiru dan digugu, pemeran utama yang perannya tak bisa digantikan siapapun, ia adalah ibu kita. Sekali saja, tak pernah kudengar ibu meminta balas budi, bahkan untuk sekedar kaos oblong sekalipun.
Cerita ini bermula dari aku yang mencoba membahagiakannya. Kurajut satu persatu mimpi itu, mimpi memasangkan kedua mahkota untuknya sebagai bekal di jannah, membuat namanya bangga memiliki aku dan selalu berusaha mengukir senyum indah dipipinya. Meskipun keterbatasan ini menjadi dinding kebahagiaan, tak-apa. Selama nafas masih menghembus, petanda aku bisa. Rasa lelah pasti ada, terlebih lagi harus berhadapan dengan setumpuk tugas dan juga setimbun buku. Sadar sekali, orang yang berhasil berawal dari dia yang kehilangan jam tidur guna memanfaatkan waktu tersebut untuk belajar. Alhasil, aku mencoba mengikuti tahap demi tahap menuju keberhasilan, salah satunya meminta ridho dari ibu. Ustadz pernah berkata : “Ridho ibu adalah ridho Allah, jika ibumu tidak meridhoi setiap langkahmu. Maka jangan harap kamu dapat melakukannya karena Allah juga tidak meridhoimu.” Maka, pencapaian apapun yang aku dapatkan saat ini tidak lepas dari campur tangan ibu.
Sejak berusia enam bulan, takdir telah merenggut kasih sayang seorang ayah dari anaknya, membuat wanita paruh baya berjuang sendiri menghidupi lima orang anak yang tak lain termasuk aku.
Kebahagiaan ibu tidak terletak pada harta, benda, dan tahta. Melainkan keberhasilan atas anaknya. Ketika aku salah ibu menjadi maps kebenaran, jika aku gagal ibu menjadi peneduh, seindah itu memang sosok ibu. Tak adil memang jika selembar dua kertas ini mampu mendefinisikan prihal ibu, sebab perjuangannya begitu luas. Bahkan alam pun ‘kan malu bila harus menjadi objek definisi ibu.
Ibuku sekaligus pengganti ayah mengajarkan betapa kerasnya hidup ini, terlintas dalam benak bekerja sambil kuliah adalah hal yang menyenangkan. Namanya ibu, tidak akan tega bila melihat anak terlalu banyak kesibukan. Bukan main pergi pagi-pulang malam hanya mengais rezeki untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan kami, membuat aku tertampar menjadi anak yang selalu berusaha membahagiakannya hingga di hari tua. Dikarenakan hanya aku yang duduk dijenjang S1, pastinya memikul beban hebat. Salah satu usaha meringankan beban ibu yaitu program beasiswa. Alhamdulillah meski banyak drama dalam proses pengajuan beasiswa ini. Nyatanya Allah telah mengiyakan satu dari do’a dan usahaku selama ini. Pesan ibu “Tak apa bila ibu tak mengenal huruf, asal kamu tidak seperti ibu. Ibu bekerja siang malam hanya untuk anak-anak ibu.” Hal yang membuat aku giat belajar yaitu, petuah darinya. Berusaha memahami setiap materi yang disajikan, bila malam harus berkecamuk antara hati dan pikiran karena lelahnya belajar. Demi mewujudkan cita-cita ibu, semua terasa indah bila dikerjakan.
Kuharap segala asa yang sudah aku gantung, satu demi satu Allah kabulkan, termasuk tidak mengambilnya dariku sebelum aku membahagiakannya. Karena tujuan hidup selain beribadah yaitu membuatnya bahagia walau dengan amat sederhana. Seberapa besar usaha yang aku lakukan, semua takkan mampu membalas setiap peluh dari perjuangannya. Sehebat apapun diksi yang aku tuang, tentunya tidak akan mampu mewakilkan betapa indahnya sosok ibu. Sebagaimana pelajaran dulu, seorang anak rela menggotong ibunya yang sedang sakit untuk bertemu Rasulullah, perjalanan yang amat jauh dan hanya orang pilihan saja yang memiliki hati sebesar itu, siapapun ingin menjadi dia yang melukiskan senyum indah untuk ibu. Salah satunya, kita.

BIODATA

Nova Asari lahir di Lubuklinggau, 05 Februari 1999. Saat ini menempuh pendidikan di STKIP PGRI Lubuklinggau, prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Salah satu kader LDK Kemas STKIP PGRI Lubuklinggau dan KAMMI Sebiduk Semare.

Comments
Loading...