education.art.culture.book&media

Nek ijah (Tugas BWC #3)

Bapak-bapak ini pun bergegas, melihat dari balik celah-celah jendela kamar nek ijah, dan betapa kagetnya, bapak-bapak ini melihat wajah pucat nek ijah yang sedang terlentang, dengan sigap bapak-bapak ini pun mendobrak pintu rumah nek ijah.

 

“Assalammualaikum nek ijah,” pedagang sayur menyapa.

“waalaikum salam,” nek ijah membalas.

Nek ijah sangat terkenal disana, karena sudah berpuluh-puluh tahun iya berkerja di pasar satelit, salah satu pasar yang ada di kota Lubuklinggau.

Nek ijah berusia hampir satu abad, tubuh nya sudah nampak bungkuk namun iya masih terlihat gagah, nek ijah hidup seorang diri, suaminya meninggal 50 tahun silam, tanpa buah hati. Nek ijah tinggal disebuah rumah kontrakan petak berukuran kecil.

Azan subuh berkumandang, nek ijah sudah bangun 1 jam sebelum nya, nek ijah sudah memasak air dan menanak secanting beras, setelah sholat subuh nek ijah mempersiapkan barang dagangan nya ke dalam sebuah keranjang yang nantinya akan ia gendong dan dibawa ke pasar, jarak nek ijah cukup jauh, namun nek ijah tetap semangat.

Sesampainya disana nek ijah mulai menjajakan dagangannya kepada setiap orang yang melintas didepan nya, namun sayang banyak yang tak tertarik dengan dagangan nya.

Nek ijah tak menyerah, iya tetap semangat meski hari sudah terik, terlihat pada jam usang bermerek orient yang hampir setengah abad yang iya kenakan, di jam tanggan nya terlihat jelas jarum jam menggarah tepat pukul 11 siang, namun belum ada satu pun yang tertarik untuk membeli barang dagangannya.

Nek ijah berdagang tas, tas ini iya ambil dari agen-agen disana, tepat jam 12 siang, ada seorang pemuda berjalan menghampiri dagangan nek ijah, menengok tiap-tiap tas yang telah di susun rapi oleh nek ijah.

“ tengoklah cong nak yang mano,” nek ijah menawarkan dagangannya.

“yang ini berapo nek?” sembari menunjuk salah satu tas berwarna coklat.

“yang itu 50 ribu cong,” kata si nenek.

“pacak kurang dag nek,” si pemuda berusaha menawar.

“ambeklah 45 cong.”

“35 lah yo nek?” nek ijah pun diam.

Pembeli ini beranjak hendak pergi. Nek ijah pun memanggil, “cong ambek lah 35.”

Si pemuda pun kembali, dan menggeluarkan selembar uang pecahan 50 ribu, nek ijah berusaha menukarkan uang itu, karna dari pagi tidak ada satu pun pembeli, nek ijah sangat senang sekali raut kebahagiaan nya terlihat di wajah nya, nek ijah pun kembali, memberikan uang kembalian dan tas yang  sudah di masukan kedalam kantong pelastik.

“terimo kasih yo cong, semoga berkah.”

“iyo nek, terimo kasih nek.”

Hari beranjak mulai gelap, nek ijah mulai merapikan dagangannya, dan bergegas kembali kerumah, iya sangat senang meski hanya 1 tas yang mampu terjual, sesampainya dirumah nek ijah langsung meletakan barang dagangannya, lalu menuju kamar dan menggambil sebuah kaleng kotak bekas wadah roti, nek ijah menyimpan sebagian hasil jualan nya disana, nek ijah rutin menabung setiap hari, kadang tidak sama sekali, karena barang dagangan nya tidak laku terjual.

Nek ijah berkeinginan berangkat ketanah suci dengan hasil jualannya, malam terasa sangat dingin sekali tak seperti yang biasa nek ijah rasakan, nek ijah menggigil sambil berbaring berselimutkan selembar kain, mata nek ijah pun terpejam dan berkurang nya getaran dibibir  akibat kedinginan, pagi itu nampak pukul 7 namun tak nampak terlihat aktivitas apapun yang di lakukan, rumah nek ijah nampak sepi, lampu masih menyala, tak ada sedikit pun suara yang terdengar, dipasar pun begitu lapak tempat iya berjualan pun kosong, yang setiap pagi hari selalu disapa oleh para penjual sayur namun kini tak terlihat.

Kemana nek ijah?, menjadi tanda tanya para penjual disana, namun mereka tiada yang tau, salah satu dari para penjual sayur itu pun berinisiatif untuk mengunjungi nek ijah.

Sesampainya  di rumah nek ijah, penjual sayur pun mengetuk pintu sembari berkata,        “assalam mualaikum nek, nek ijah, oy nek ijah,” semakin membuat nya penasaran, ibu penjual sayur ini pun memanggil bapak-bapak yang sedang berkumpul.

“kak boleh mintak tolong dag, tolong tengok ke rumah nyo nek ijah, dari tadi pagi dag tetengok dengan nyo.”

Bapak-bapak ini pun bergegas, melihat dari balik celah-celah jendela kamar nek ijah, dan betapa kagetnya, bapak-bapak ini melihat wajah pucat nek ijah yang sedang terlentang, dengan sigap bapak-bapak ini pun mendobrak pintu rumah nek ijah, dan terlihat nek ijah sudah tak bernyawa, mereka menangis, sebagian berusaha menahan air matanya.

Ibu penjual sayur melihat sebuah kaleng yang biasa nek ijah menabung uang nya disana, dan dibuka lah kaleng itu, dan terlihat banyak sekali uang yang telah dikumpulkan oleh nek ijah, namun didalam kaleng itu terlihat sebuah surat berisi kan sebuah wasiat.

“siapo bae yang bukak kaleng ini tolong, kalu aku mati, kuburke aku dengan layak, sumbangke duit ini ke panti asuhan” bunyi surat tersebut.

 

Comments
Loading...